Sunday, January 27, 2008

KEPERGIAN SOEHARTO


"TOLAK INTRUKSI HARI BERKABUNG 7 HARI! TOLAK GELAR KEPAHLAWANAN BUAT DIKTAKTOR SOEHARTO!" demikian isi sms yang masuk ke handphone-ku sore tadi. Sebuah provokasi menyusul kematian Soeharto siang harinya. Setelah berperang selama berhari-hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta, akhirnya sang Jendral Besar kalah, tak mampu melawan malaikat maut yang merampas nyawanya.

Meski telah tiada, Soeharto masih meninggalkan berbagai masalah yang belum selesai. Kematian Soeharto tidak lantas menghentikan semua kontroversi persoalan yang terjadi selama 32 tahun pemerintahannya. Tarik ulur masih terjadi dari berbagai pihak yang saling bersebrangan menyangkut diri Soeharto, pembela dan penentangnya.

Di atas semua itu, bagaimanakah nasib reformasi yang digulirkan sejak 1998? Reformasi yang telah berjalan selama 10 tahun tersebut memang telah menggelar panggung politik yang lebih liberal dibanding kehidupan politik era rezim Orde Baru. Namun apakah itu cukup? Apakah kesejahteraan dan keadilan rakyat bawah akan lantas diperoleh dari liberalnya politik semata? Bagaimana segi kehidupan lainnya?

Seperti yang dapat disaksikan saat ini, kelompok yang paling merayakan reformasi adalah klas borjuasi, dengan ekspansi modal mereka tanpa harus takut berhadapan dengan kapitalis kroni Soeharto sebagaimana zaman Orde Baru. Lebih dari itu, Klas borjuasi telah menggandeng dan merangkul sisa-sisa Orde Baru yang masih banyak bertebaran di panggung ekonomi dan politik nasional, dengan satu alasan yang dipaksakan oleh mereka: demokratisasi! Ya, demokrasi borjuasi yang sedang mereka bangun, dan pembangunan itu dengan menindas demokrasi rakyat. Maka yang mereka tonjolkan hanyalah aspek formal dan prosedural semata: berbagai institusi dan perundang-undangan ditumbuhkan dan disebar, yang merupakan makanan empuk bagi intelektual-intelektual borjuis klas menengah yang mengkais-kais rejeki kucuran dana lewat berbagai proyek penelitian dan pengembangan. Semua agenda demokratisasi borjuis tersebut diproyeksikan untuk meliberalkan pergerakan kapital.


Orde Baru dibangun Soeharto dengan berlandas pada perkawinan Kapitalisme-Feodalisme dan berbaju Militerisme. Ketiganya membentuk sebuah kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan yang bersifat represif, eksploitatif, dan koruptif-hegemonik. Soeharto memang merupakan simbol sebuah rezim, baik rezim struktural dan rezim kultural yang kompleks. Namun tujuan reformasi bukanlah hanya menjatuhkan dan mengadili Soeharto semata, melainkan lebih besar dari itu, yakni menggusur rezim hegemonik-nya, negara Orde Baru.

Setiap upaya upaya hukum untuk mengadili kejahatan Orde Baru adalah omomg kosong jika tidak terlebih dahulu dilakukan pengambil alihan alat-alat politik dan hukum yang saat ini masih dikuasai orang-orang Orde baru dan kaum oportunis (demokrat borjuis). Hukum merupakan produk konsensus politik. Sebagai contoh sederhana, ketentuan pengadilan Hak Asasi Manusia HAM Adhoc di dalam UU HAM No. 26/2000 membebankan syarat dan prosedur yang ketat untuk bisa membawa kasus pelanggaran HAM ke pengadilan HAM Adhoc, yang di antaranya adalah bahwa suatu kasus hanya bisa diproses ke pengadilan HAM Adhoc jika ada indikasi telah dilakukannya pelanggaran HAM berat. Penentuan ada tidaknya indikasi pelanggaran HAM berat tersebut merupakan kewenangan DPR. Selain itu, pembentukan pengadilan HAM hanya bisa dilakukan kalau ada usulan dan rekomendasi DPR. Padahal, mayoritas anggota DPR berisi orang-orang Orde Baru, ditambah para oportunis demokrat borjuis. Maka setiap keputusan politik hukum yang dikeluarkan DPR pasti dalam rangka melindungi kelompok mereka. Tak heran jika kasus pelanggaran HAM tak pernah jelas penyelesaiannya, seperti kasus peristiwa Semanggi, Trisakti, Peristiwa 27 Juli 96, Kerusuhan Mei 98, dan kasus-kasus lainnya. Apalagi terhadap kasus Soeharto!

Kelemahan reformasi 98 adalah karena hanya terjadinya pemindahan mesin birokrasi dan militer dari satu tangan ke tangan lainnya tanpa ada penghancuran negara lama. Padahal yang harus dilakukan adalah merusak mesin birokrasi dan militer negara Orde Baru, dan membuat yang benar-benar baru yang dikuasai kekuatan demokrasi rakyat.

Soeharto dianggap telah berjasa besar pada negeri ini, maka ia diberi gelar "Bapak Pembangunan." Namun sederhana saja, Si Suto, Noyo, Waru, dan Dadap pun tentu juga akan berjasa jika diberi kesempatan menjadi presiden dan memimpin negri ini. Mereka pasti juga akan melakukan sebagaimana yang dilakukan Soeharto: membangun gedung-gedung, jalan raya, jembatan, bendungan, dan sebagainya. Juga memajukan pertanian, industri, perikanan, dan lain-lain. Hanya saja tentu ada perbedaan di antara mereka di dalam menempuh jalan pembangunan tersebut. Soeharto menggunakkan strategi pembangunan berlandaskan paradigma developmentalism dan teori-teori perubahan yang berjalan di atas platform Kapitalisme-Liberalisme, dan konsisten dengan hutang luar negeri yang sampai sekarang tidak bisa lunas. Belum lagi biaya kemanusiaan yang dikorbankan Soeharto, dengan tumbal jutaan rakyat Indonesia. Dengan arsitek ekonomi para mafia Berkeley (lima sekawan: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Mohammad Sadli dan Soebroto, serta dibantu SoemitroDjojohadikusumo, Frans Seda, dan Radius Prawiro), Soeharto menancapkan doktrin "Trilogi Pembangunan" yang berisi ayat-ayat pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas.

Pada 21 Februari 1967, Soeharto secara resmi membawa Indonesia sebagai anggota IMF, dan sejak itu peran IMF menjadi lebih dominan dalam perekonomian Indonesia. IMF yang merupakan saudara kembar World Bank dibentuk untuk mendikte arah perekonomian negara-negara miskin dan berkembang, dengan alasan stabilisasi nilai tukar, moneter, liquiditas dan perdagangan internasional. IMF sebenarnya merupakan alat perangkap utang bentukan negara-negara maju. Maka, Soeharto telah menjadi alat dari Kapitalisme internasional yang bertugas membuka dan mempersiapkan jalan bagi masuknya modal internasional ke Indonesia. Soeharto didikte untuk menghancurkan struktur ekonomi yang dibangun Soekarno, dan menggantinya secara bertahap dengan struktur ekonomi yang diproyeksikan untuk mengabdi pada sistem ekonomi Kapitalisme-Liberalisme. Pada tahun 1988, berdasar dikte IMF dan sekutunya, Soeharto mengeluarkan Paket Oktober 1988 (Pakto 88) yang merupakan kebijakan liberalisasi sektor perbankan dan finansial (dan kelak merupakan salah satu faktor terpenting penyebab kehancuran moneter Indonesia pada krisis kapitalisme internasional pada tahun 1997). Meski pada awalnya berinovasi dengan mengawinkan Kapitalisme-Feodalisme dan Militerisme, akhirnya Soeharto menyerah pada gempuran Kapitalisme-Liberalisme, yang telah berujud Neo-Liberalisme, dan ditandai dengan penandatanganan Leter of Intens (LoI) dengan IMF pada 15 Januari 1998 di Jakarta. Di depan Michael Camdessus, Direktur pelaksana IMF, Soeharto menandatangani LoI yang berisi komitmen Indonesia pada program liberalisasi perekonomian nasional.

Kepergian Soeharto hanyalah satu babak di dalam perjuangan memenangkan reformasi untuk rakyat. Bukan untuk klas borjuasi, dan bukan untuk sisa-sisa Orde Baru. Alat-alat politik, ekonomi, dan kebudayaan harus direbut dan dikuasai rakyat. Jika klas borjuasi dan sisa-sisa Orde Baru berhasil melakukan konsolidasi, maka jalannya reformasi pasti akan dibelokkan dari tujuan semula. Perjuangan masih panjang dan melelahkan***

Yogyakarta, 27 Januari 2008