Pada
tanggal 30 April 2015, Sri Sultan Hamengku Buwono X
mengeluarkan Sabdaraja yang di antaranya berisi tentang penggantian nama Buwono menjadi Bawono dan penghilangan gelar “kalifatullah”. Sultan HB X mengatakan bahwa
Sabdaraja tersebut merupakan kehendak Tuhan, yang mungkin disampaikan melalui
pesan leluhur HB X (Tribun Jogja,
10 Mei 2015).[1]
Pada
sejarah Mataram
Islam, gelar kalifatullah
pertama kali dipakai oleh Amangkurat IV, dan kemudian dipakai oleh para raja Kasultanan
Ngayogyakarta. Namun gelar ini tidak dipakai
oleh para raja Surakarta.[2]
Gelar kalifatullah itu sendiri
memiliki konsep yang secara serupa juga dimiliki oleh penguasa-penguasa politik
di negara-negara theokrasi berbasis agama-agama Ibrahim lainnya, termasuk di
Eropa, bahwa raja (penguasa politik) adalah wakil Tuhan di bumi.
Pada masa Jawa
pra-Islam, raja dianggap sebagai perwujudan atau titisan Tuhan. Hal ini juga banyak
terjadi pada raja-raja di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara sebelum
datangnya agama-agama Ibrahim di daerah tersebut. Misal, di Babilonia dan Mesir. Setelah raja-raja di Jawa menjadi Islam,
konsep raja berubah menjadi wakil Tuhan di bumi, bukan titisan atau penjelmaan Tuhan. Termasuk yang
terjadi pada dinasti Mataram Islam.
Di dalam cerita
populer, berdirinya kerajaan Mataram Islam didahului oleh kisah turunnya “Wahyu
Gagak Emprit”, yang kemudian mengantarkan terjadinya perjanjian antara Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pamanahan terkait berdirinya negara
Mataram Islam.
Perlu diingat bahwa ketika terjadi pertemuan antara Giring
dan Pamanahan ini, bumi Mataram masih merupakan bagian dari negara Pajang.
Perjanjian Giring-Pamanahan
(jika memang ada!) sebenarnya melanggar kesepakatan antara Sultan Pajang dengan Ki Ageng Pamanahan.
Sultan Pajang memberikan bumi Mataram kepada Pamanahan – atas jasanya menumpas Arya Penangsang
– hanya sebatas hak untuk mengelola bumi Mataram dan tidak untuk mendirikan negara baru yang
bernama Mataram Islam. Pelanggaran terhadap kesepakatan antara Sultan Pajang dan
Pamanahan tersebut kemudian mendapat pembenaran dan
legitimasi supranatural berupa “Wahyu Gagak Emprit” yang
diterima Giring, dan kemudian disusul perjanjian Giring-Pamanahan.
Legitimasi
supranatural juga terjadi menjelang dinobatkannya Dorodjatun sebagai HB IX. Sebelum dapat dinobatkan sebagai HB IX, Dorodjatun terlebih
dahulu harus bersedia
menandatangani kontrak politik dengan pemerintah Hindia Belanda, yakni “Surat Perjanjian antara Pemerintah
Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta”. Legitimasi
supranatural tersebut dikisahkan berupa suara ghaib yang menyuruh Dorojatun agar menandatangani
kontrak politik dengan pemerintah Hindia Belanda.
Isi kontrak politik
tersebut di antaranya adalah: Pasal 1 ayat (1) Kesultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda
dan karenanya berada di bawah kedaulatan Sri Baginda Ratu Belanda yang diwakili
oleh Gubernur Jenderal. Ayat (2) Kekuasaan atas Kesultanan diselenggarakan oleh
seorang Sultan yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. Selain itu, di dalam pasal 12 ayat (1) disebutkan: Bendera
Kesultanan, Sri Sultan, dan penduduk Kesultanan adalah bendera Negeri Belanda.
Menurut buku “Tahta
Untuk Rakyat: Celah-Celah
Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX” (Kompas Gramedia), dikisahkan di suatu petang
bulan Februari 1940, Dorodjatun sedang tidur-tiduran dan mendengar bisikan
ghaib. Mungkin suara seorang leluhur. Suara tersebut meminta agar Dorodjatun segera menandatangani kontrak
politik dengan Belanda karena Belanda sebentar lagi akan segera pergi. Setelah peristiwa
tersebut, Dorodjatun menandatangani perjanjian atau kontrak politik dengan pemerintah
Hindia Belanda tertanggal 18 Maret 1940, namun ditandatangani 29 April 1940.
Dorodjatun dinobatkan menjadi Sri Sultan HB IX.
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia Agustus 1945, keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
menyatakan dukungan ke Republik Indonesia melalui Amanat
Seripaduka Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Jogjakarta tanggal 5 September 1945. Perlu diketahui bahwa para bangsawan dan kerajaan-kerajaan di nusantara yang menyatakan
dukungan pada negara Indonesia selamat
dari amukan badai revolusi kemerdekaan 1945. Demikian pula
keraton
Yogya. Sebagaimana pendapat Selosoemarjan, yang
kurang lebih mengatakan bahwa revolusi tidak mungkin dapat
mendobrak pintu-pintu istana di
Yogyakarta, karena pintu-pintu itu sudah terbuka lebar.[3] Pada tahun 1950, status Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat, bersama Kadipaten Pakualaman, diturunkan menjadi daerah istimewa
yang setingkat provinsi.
Ujaran
HB X tentang kehendak Tuhan dan pesan leluhur – terkait Sabdaraja yang
dikeluarkannya – merupakan salah satu bentuk komunikasi kekuasaan yang dapat memberi legitimasi
supranatural atas tindakan-tindakan yang dibuat oleh HB X. Pada setiap
perubahan politik yang cukup signifikan di Mataram Islam dan dinasti-dinasti keturunannya,
sering diiringi kemunculan cerita-cerita supranatural. Wahyu Gagak Emprit, gelar
kalifatullah, bisikan ghaib HB IX tahun
1940 serta pesan leluhur HB X tahun 2015, semua terjadi di dalam suasana
perubahan-perubahan politik yang cukup penting.
Narasi-narasi
legitimasi kekuasaan tersebut kemudian direproduksi dan disebarluaskan oleh aparat-aparat
ideologi keraton, di antaranya adalah para pujangga, pemuka agama, sastrawan,
seniman, dan sekarang termasuk akademisi, yang pro keraton.
Jaman telah berubah.
Pikiran orang juga berubah. Mitologi-mitologi lama telah banyak yang kehilangan
daya dan efek sakralnya. Narasi-narasi lama telah diganti oleh narasi-narasi
baru yang sesuai dengan syarat-syarat sejarah, termasuk perkembangan pikiran
manusia.
Argumentasi HB X –
tentang kehendak Tuhan dan pesan leluhur – yang mendasari Sabdaraja 30 April
2015, bisa saja masih dipercaya oleh sebagian orang. Namun, sebagian orang
lainnya akan menganggapnya sebagai lelucon belaka. Seperti tragedi yang menjadi
komedi.***
Catatan:
[1] “Romo
Tirun Sanksikan Sultan Terima Wahyu”. Tribun Jogja, 10 Mei 2015. Hlm 1 &
11. Romo Tirun adalah nama panggilan Kanjeng
Raden Tumenggun Jatiningrat, yang menjabat sebagai Penghageng Tepas
Dwarapura Keraton Ngayogyakarta.
[2] Denys
Lombard. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya,
Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (jilid 3). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, Forum Jakarta-Paris, Ecole Francaise d’Extreme-Orient. (Asli: Le
Carrefour Javanais: Essai d’historie Globale: III. L’heritage des royaumes
concentriques. Penterjemah: Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat,
Nini Hidayati Yusuf). Hlm. 65.
[3]
Selosoemardjan, Social Changes,
dikutip dari M.C. Ricklefs. Hlm 330.
No comments:
Post a Comment