Perpustakaan Alexandria (300 SM-700 M) merupakan tempat
penyimpanan terbesar koleksi karya-karya tulis Yunani di dunia kuno. Banyak hal
yang masih diperdebatkan terkait perpustakaan Alexandria, misal tentang
pendiri, lokasi, hubungannya dengan Mouseion
(Museum) Alexandria, dan sebagainya. Salah seorang yang pernah memimpin Museum
dan perpustakaan Alexandria adalah Theon, ayah Hypatia (filosof-saintis
wanita).
Kota Alexandria yang terletak di pantai utara Mesir
didirikan oleh Alexander Agung (Iskandar Zulkarnaen yang Agung) di tahun 331 SM. Kota Alexandria berada di tepi utara benua
Afrika dan menghadap lautan Mediterania. Kota Alexandria kemudian berkembang
menjadi salah satu kota besar terpenting di kawasan Mediterania.
Pada tahun 300 SM, Ptolemy I mendirikan museum dan
perpustakaan di Alexandria. Perpustakaan Alexandria disebut-sebut berada di
Serapeum (kuil Sarapis). Konsep museum itu sendiri adalah gabungan antara
lembaga sekolah dengan lembaga penelitian.
Semenjak imperium Roma menaklukkan dunia Helenis (kebudayaan
Yunani yang diluaskan oleh Alexander Agung), Mesir menjadi bagian
dari wilayah imperium Roma, dan akan menjadi bagian wilayah imperium Timur pada
abad 4 M.
Perpustakaan Alexandria dikabarkan pernah terbakar di tahun
48 SM pada masa Julius Caesar. Julius Caesar memerintahkan pembakaran armada
laut Mesir, namun api merambat ke dermaga dan gudang-gudang pelabuhan, hingga
ke perpustakaan Alexandria. Sebagian dari kerugian atas terbakarnya
perpustakaan Alexandria kemudian diganti oleh Marc Anthony dengan memberikan
200.000 volume tulisan dari perpustakaan Pergamon pada Cleopatra (Barnes, 2010:
72).
Pada tahun 391 M, setelah agama Kristen berkembang pesat di
Alexandria, uskup Alexandria, Theophilus, dikabarkan memimpin orang-orang
Kristen melakukan penyerbuan ke Serapeum, dan kemungkinan juga
termasuk menghancurkan ruang perpustakaan yang dibangun di tempat itu
(Sienkewicz, 2007: 56-57). Juga dikabarkan, tidak sedikit sarjana Museum yang
dibunuh di jalanan. Pada peristiwa tersebut, sekitar
300.000 gulungan manuskrip karya-karya kepustakaan ratusan tahun yang ada di
perpustakaan Alexandria menjadi sasaran pengrusakan (Burton 2011: 233).
Pada awalnya, uskup Theophilus hendak mengubah salah satu
kuil pagan di Alexandria menjadi gereja (Istilah “pagan” merujuk pada agama-agama
Mesir, Yunani, Romawi. Istilah “pagan” memang bisa membawa makna pejoratif).
Setelah mendapat tentangan dari para penganut pagan dan terjadi
keributan-keributan, kemudian Theophilus mendapat persetujuan dari Kaisar
Theodosius I untuk menutup seluruh kuil pagan di Alexandria dan mengusir
sejumlah filosof dan sarjana yang beragama pagan keluar dari Alexandria
(Barnes, 2010: 73).
Pada tahun 392 M, Kaisar
Theodosius I mengumumkan penutupan seluruh kuil pagan di wilayah Imperium Roma
dan melarang segala praktek upacara pagan, bahkan yang dilakukan secara pribadi
di rumah-rumah penduduk. Pada saat kematian Theodosius
I, tahun 395 M, Imperium Roma telah secara resmi beragama Kristen (Burton, 2011: 216).
Sekitar tahun 641-642 M, Mesir jatuh ke tangan Arab-Islam. Ketika
Amr ibn al-As, Gubernur Militer Arab, mengambil alih Alexandria, ia mendapati
keadaan perpustakaan Alexandria tidak sebagaimana yang dahulu pernah ada, dan
hanya menjumpai sedikit tulisan yang menarik.
Dikisahkan, Amr ibn al-As kemudian meminta pendapat ke Mekah tentang apa yang
harus dilakukan dengan buku-buku di perpustakaan Alexandria.
Khalifah Umar, menurut Macleod (2010), menjawab: “Jika isi buku-buku tersebut
berkesesuaian dengan kitab Allah, kita tidak membutuhkan buku-buku tersebut,
karena, kitab Allah lebih dari cukup. Sebaliknya, jika buku-buku tersebut
berisi materi yang tidak sesuai dengan kitab Allah maka tidak perlu untuk
memeliharanya. Hancurkan buku-buku tersebut”.
Sedangkan Barnes (2010: 74) menulis jawaban Umar: “Peganglah buku yang kamu sebutkan, jika apa yang
tertulis di buku-buku tersebut sesuai dengan Kitab Allah, mereka tidak diperlukan;
jika buku-buku tersebut bertentangan dengan Kitab Allah, mereka tidak diinginkan.
Oleh karenanya, hancurkan buku-buku tersebut”.
Menurut kisah yang masih diperdebatkan, ribuan buku yang tersisa
di perpustakaan Alexandria kemudian dibagikan pada masyarakat untuk dijadikan
bahan bakar, termasuk dibuang ke bak mandi warga, sebagai bahan bakar penghangat.
Dikabarkan pula, hanya tulisan karya Aristoteles yang selamat
(Macleod, 2010: 10; Sienkewicz, 2007: 56-57).
Menurut Sagan (1997), perpustakaan
Alexandria, – dari saat pembuatannya di abad ke-3 SM hingga kehancurannya tujuh abad kemudian – adalah
otak dan jantung dunia kuno. Jantung perpustakaan itu adalah kumpulan bukunya.
Perpustakaan Alexandria adalah tempat di mana manusia pertama kali mengumpulkan
pengetahuan dunia secara sungguh-sungguh dan sistematik. Suatu kebudayaan
saintifik yang cemerlang.
Namun, Sagan menambahkan, perkembangan
sains di Alexandria hanya diabdikan untuk melayani kepentingan para penguasa politik.
Penyelidikan dan penemuan saintifik yang dilakukan di dalam museum dan
perpustakaan tidak pernah dibawa keluar untuk disebarkan kepada rakyat banyak.
Rakyat umum tidak pernah menerima manfaat dari berbagai aktifitas saintifik di
dalam museum dan perpustakaan (kecuali Archimedes). Sains
tidak pernah sampai pada imajinasi banyak orang. Tidak ada perjuangan melawan
stagnasi, pesimisme, dan penyerahan diri pada mistik. Tidak ada sarjana yang secara serius menantang asumsi-asumsi politik,
ekonomi, dan agama masyarakat mereka. Sains dan kegiatan belajar menjadi hak
istimewa sedikit orang saja.
Pada jaman Ptolemy II (309 SM - 246 SM), seorang filosof
bernama Thimon (± 320 SM – 230 SM) memberi
komentar yang dapat menjadi gambaran tentang bagaimana
kedudukan para intelektual di Alexandria pada saat itu. Ia mengatakan bahwa di
Mesir yang padat penduduk, terdapat sejumlah kutu buku yang diberi makan dan
berdebat tanpa akhir di dalam “kandang ayam para Muse”. Apa yang dimaksud
“kandang para Muse” adalah Museum (Barnes, 2010: 62).
Para filosof-saintis Alexandria relatif
tidak mempersoalkan keadaan sosial masyarakat Alexandria. Persoalan di Alexandria bukan semata ketidakrasionalan
rakyat umum Alexandria [yang dikarenakan tidak disebarkannya tradisi saintifik ke rakyat banyak], atau tidak
populernya tradisi berpikir saintifik di kalangan masyarakat umum, namun juga
soal struktur sosial yang menciptakan kesenjangan ekonomi, yang menciptakan
kesadaran sosial yang berbeda di antara klas-klas sosial yang ada.
Para filosof-saintis di Alexandria menikmati privilege yang disediakan oleh struktur
masyarakat dan dijamin oleh penguasa politik. Sebagai imbal-balik, para
filosof-saintis tersebut mengabdikan pengembangan pengetahuan mereka untuk
keperluan para penguasa politik saat itu.
Para filosof-saintis beraktivitas di dalam museum dan
perpustakaan Alexandria yang termasyur. Penguasa politik sering datang ke
museum untuk makan malam serta berdiskusi tentang persoalan filsafat (sains)
dan sastra. Terjadi hubungan saling menguntungkan
antara para filosof-saintis dengan penguasa politik.
Sementara itu, di luar Museum terdapat masyarakat yang memikul berbagai persoalan kehidupan sosial-ekonomi.
Sebagai suatu kota kosmopolitan, Alexandria tidak lepas dari
persoalan-persoalan sosial, terutama yang dialami oleh masyarakat lapisan
bawah. Persoalan-persoalan sosial rakyat jelata relatif luput dari penelitian dan permenungan para filosof-saintis Alexandria. Bahkan, beberapa pemikiran sosial warisan para
filosof besar era kejayaan Athena, misal Plato, memandang perbudakan sebagai
hal yang alami dan wajar. Menurut Sagan, perbudakan telah mengisap vitalitas
kebudayaan klasik di kota Alexandria.
Para filosof-saintis di Alexandria
sibuk mempersoalkan fenomena alam, namun tidak kritis terhadap persoalan
sosial. Para filosof-saintis gagal membaca pikiran dan
perasaan rakyat klas bawah Alexandria terkait persoalan sosial. Tuntutan pada
adanya perubahan keadaan sosial di Alexandria datang dari rakyat jelata,
masyarakat umum, bukan datang dari para filosof-saintis. Potensi kekuatan berontak rakyat klas bawah di
Alexandria belum
mendapat saluran tunggal dan alat
konsolidasi
hingga datangnya agama Kristen ke Alexandria.
Seseorang boleh
saja mengutuk tindakan penghancuran perpustakaan Alexandria sebagai tindakan anti
rasionalitas, anti sains, yang dilakukan oleh bigot Kristen dan kemudian Islam. Namun, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa
perpustakaan Alexandria juga pernah menjadi simbol elitisme dan kesombongan
kalangan filosof-saintis, yang asyik dengan dunia mereka sendiri tanpa peduli pada
ketimpangan sosial di luar perpustakaan. Para
filosof-saintis Alexandria berada di menara gading. Pertentangan terjadi bersamaan di Alexandria: kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar, rakyat membutuhkan
makan dan layanan sosial, filosof-saintis membutuhkan kebebasan berpikir dan
berekspresi. Pertentangan yang akhirnya
dimenangkan oleh perut lapar rakyat Alexandria. Meski kemudian harus dibayar
dengan dikekangnya kebebasan berpikir dan
berekspresi di
Alexandria, untuk tunduk pada dogma-dogma agama baru.***
DAFTAR PUSTAKA
Barnes,
Robert. 2010. “Cloistered Bookworms in the Chicken-Coop of the Muses: The
Ancient Library of Alexandria”. Di dalam Roy Macleod, (ed.). The Library of Alexandria, Centre of
Learning in the Ancient World. London and New York: I.B. Tauris & Co
Ltd.
Burton,
David M. 2011. The History of
Mathematics, An Introduction (seventh edition). New York: McGraw-Hill.
Macleod,
Roy. 2010. “Introduction: Alexandria in History and Myth”. Di dalam Roy Macleod, (ed.). The Library of Alexandria, Centre of
Learning in the Ancient World. London and New York: I.B. Tauris & Co
Ltd.
Sagan,
Carl. 1997. Kosmos. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. (Judul asli: Cosmos. Penerjemah: Bambang Hidayat, Djuhana Widjajakusumah, dan
S. Maimoen).
Sienkewicz,
Thomas J (ed.). 2007. Ancient Greece,
Volume 1. Pasadena, California: Salem Press, Inc.
No comments:
Post a Comment