Sunday, September 6, 2020

SEDIKIT TENTANG LOGIKA KUANTUM

Suatu ketika, Anda masuk ke warung makan Pecel Lele di pinggir jalan, untuk makan malam. Anda dihadapkan pada pilihan nasi putih dengan lauk lele goreng atau tempe goreng. Itu berarti bahwa Anda makan nasi putih dengan lele goreng, atau Anda makan nasi putih dengan tempe goreng. Namun, di dalam sistem kuantum, kejadiannya lain.

Perjalanan kemunculan logika kuantum diawali oleh temuan-temuan di bidang fisika semenjak awal abad 20. Fisika klasik tidak lagi memadai untuk menjelaskan dunia subatomik, sehingga diperlukan fisika kuantum. Hal-hal penting yang disajikan oleh fisika kuantum di antaranya adalah dualitas gelombang-partikel, prinsip ketidakpastian (misal, akurasi posisi dan momentum tidak bisa diukur secara simultan), dan prinsip superposisi.

Semenjak itu pula, matematika, dalam hal ini aljabar, merasa perlu membuat model-model baru untuk menjelaskan perilaku fisik di level subatomik. Bersamaan dengan itu, terjadi perkawinan antara aljabar dengan logika. Rumusan aljabar atas perilaku mekanika kuantum berarti pula menandai rumusan logisnya. 

Prinsip-prinsip teori kuantum pada mekanika kuantum diambil dan diformulasikan ke dalam perangkat aturan penalaran. Matematikawan dan logikawan berusaha membaca perilaku sistem kuantum dan berusaha mengekspresikan perilaku tersebut ke dalam rumusan-rumusan matematis dan logis. Sejalan dengan tidak memadainya penjelasan fisika klasik, maka demikian pula ada aspek di mana formulasi logika klasik mengalami kekurangan ketika diterapkan pada perilaku semesta kuantum.

Realitas mikroskopik yang diterjemahkan oleh fisika kuantum memerlukan rumusan logika baru. Dalam beberapa hal penting, logika kuantum berbeda terhadap logika klasik. Perbedaan ini dituliskan oleh Birkhoff dan Neumann di dalam paper berjudul “The Logic of Quantum Mechanics”, yang terbit tahun 1936 di jurnal “Annals of Mathematics”.

Salah satu hal yang dinyatakan oleh Birkhoff dan Neumann di dalam paper tersebut adalah soal perbedaan berlakunya aturan distributifitas pada logika klasik dan logika kuantum. Aspek distributifitas ini merupakan letak perbedaan paling penting antara logika kuantum dengan logika klasik. 

Diawali dari persoalan prinsip ketidakpastian Heisenberg, bahwa terdapat batas-batas terhadap kemampuan untuk mengukur data tertentu secara simultan, seperti posisi dan momentum partikel. Prinsip ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa posisi dan momentum partikel tidak bisa diukur secara simultan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Jika posisi diketahui secara pasti, maka momentum tidak bisa diketahui secara pasti. Juga sebaliknya.

Untuk mengakomodasi prinsip ketidakpastian Heisenberg, maka dirumuskan aturan logika kuantum. Aturan logika klasik diperluas. Dengan kata lain, logika kuantum bersifat lebih luas (lebih umum) daripada logika klasik. 

Secara simbolik — menggunakan notasi yang sama dengan yang digunakan Birkhoff dan Neumann pada paper mereka — aturan distributif bisa dituliskan sebagai berikut.

a ᴜ (b ∩ c) = (a ᴜ b) ∩ (a ᴜ c) dan a ∩ (b ᴜ c) = (a ∩ b) ᴜ (a ∩ c)

Hanya saja, tafsiran mekanika kuantum atas proses fisika menyatakan bahwa aturan distributif yang berlaku pada logika klasik ini tidak berlaku bagi logika kuantum. Logika kuantum tidak mengambil aturan distributif tersebut sebagai kebenaran.

“Subjek bisa mengetahui secara pasti terkait posisi dan momentum partikel.”

Pernyataan ini berlaku benar pada logika klasik, namun tidak pada logika kuantum. Hukum distributif tidak selalu berlaku pada mekanika kuantum, hanya berlaku pada mekanika klasik.

Dengan kata lain:

p ∩ (q ᴜ r) = adalah benar

Namun

(p ∩ q) ᴜ (p ∩ r) = adalah salah

Bagi logika klasik, pernyataan “Nasi putih dengan lele goreng atau tempe goreng” adalah sama dengan pernyataan “Nasi putih dengan lele goreng atau nasi putih dengan tempe goreng”. Namun, bagi logika kuantum, aturan distributif ini tidak berlaku mutlak.

Saat ini, salah satu upaya pemanfaatan fisika kuantum dan logika kuantum dilakukan oleh bidang komputer. Prinsip superposisi pada mekanika kuantum (penggabungan kondisi-kondisi yang berlawanan: suatu partikel bisa secara sekaligus berada di dalam dua keadaan yang berlawanan) mengilhami ide tentang komputer kuantum. Komputer digital saat ini (komputer konvensional) bekerja dengan menggunakan sistem biner, atau sistem angka berbasis dua (0 dan 1), yang dikenal dengan nama bit (binary digit). Sementara itu, komputer kuantum bekerja dengan qubit 0, 1, dan superposisi 0 dan 1. Komputer kuantum melakukan proses secara simultan sehingga melakukan kerja hitungan lebih cepat dari komputer digital yang melakuan proses secara linear.

Di dalam literatur berbahasa Indonesia, kajian logika kuantum telah dilakukan salah satunya oleh Agustinus Kemali, melalui tulisan skripsi S1 di jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, di tahun 2005, berjudul “Logika Kuantum Sebagai Perluasan Logika Klasik”. Di dalam karya tersebut, ia memperlihatkan bahwa tautologi pada logika klasik belum tentu tautologi pada logika kuantum. Tulisan tersebut bisa diunduh di: https://repository.usd.ac.id/25296/