Monday, October 26, 2020

KEHENDAK BEBAS: TEORI EFEKTIF

Hasil eksperimen Benjamin Libet tahun 1983 disambut oleh banyak kalangan sebagai dukungan penting bahwa kehendak bebas (free will) tidak ada. Meski demikian, ada kalangan lain yang juga berpendapat bahwa terjadi cacat interpretasi pada penelitian Libet. 

Kehendak bebas, berpasangan dengan determinisme, merupakan tema persoalan yang memiliki perjalanan cukup rumit. Agama, filsafat, dan sains membicarakan persoalan kehendak bebas ini. Perdebatan persoalan kehendak bebas juga melahirkan kubu kompatibilisme dan inkompatibilisme. Usaha menolak, mengakui, dan mendamaikan.

Pada agama, perdebatan kehendak bebas terutama di sekitar kaitannya dengan kekuasaan Tuhan, dan sejauh mana relevansi hukuman (dosa) dan ganjaran (pahala) pada manusia. Ada konsep determinisme theologis. Tuhan telah menetapkan takdir segala sesuatu, tanpa kecuali, yang itu justru memposisikan kekuasaan Tuhan bertentangan terhadap perbuatan moral dan tanggung jawab manusia. Secara ringkas bisa dinyatakan: Tuhan memuji diri sendiri dan menghukum diri sendiri melalui manusia, atau Tuhan tidak maha-kuasa.

Pada filsafat, di masa-masa awal, persoalan kehendak bebas terutama terkait pandangan tentang hakekat manusia, sebagai entitas yang memiliki rasio, mampu berpikir. Salah satu implikasinya adalah di bidang etika, tentang perbuatan moral dan tanggung jawab moral. Jika kehendak bebas —atau kebebasan— tidak ada, maka moralitas menjadi tidak bermakna. Juga gagasan determinisme logis. Namun, diskursus kehendak bebas pada filsafat kemudian juga mengalami perkembangan, terutama dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi. 

Sains, yang difasilitasi oleh perkembangan teknologi, semakin percaya diri dalam mengomentari persoalan kehendak bebas, dengan determinisme saintifik. Bagi sains, manusia adalah bagian dari alam. Kejadian pada manusia adalah kejadian alam. Sains membicarakan apa yang terjadi di alam melalui “cause” dan “effect” secara fisikal (determinisme fisikal). Rantai sebab-akibat yang saling terhubung, anteseden-konsekuen. Termasuk perilaku manusia.

Secara biologis, manusia adalah mesin gen-gen, yang dijelaskan oleh Dawkins di dalam buku “The Selfish Gene”. Dawkins juga berkata:

“We are built as gene machines and cultured as meme machines, but we have the power to turn against our creators. We, alone on earth, can rebel against the tyranny of the selfish replicators”.

Oleh beberapa orang, pernyataan tersebut dianggap memberi ruang bagi adanya kehendak bebas di atas (mendahului) aspek biologis. Dengan demikian, Dawkins dianggap inkonsisten, kembali ke dualisme Cartesian. Kritik juga datang dari kalangan sosiobiolog doktriner, yang menekankan pentingnya pengaruh genetik.

Pada buku edisi 1989, Dawkins menjawab singkat kritik-kritik tersebut. Menurutnya, gen-gen menggunakan pengaruh statistikal pada perilaku manusia. Namun, pengaruh tersebut bisa dimodifikasi oleh pengaruh-pengaruh yang lain. Gen-gen menggunakan pengaruh statistikal pada setiap pola perilaku yang berevolusi dengan seleksi alamiah. Tidak ada yang dualis, menurutnya, bagi otak kita untuk memberontak melawan tirani replikator-replikator yang selfish. Dawkins memberi contoh kecil perlawanan terhadap gen-gen, semisal penggunaan kontrasepsi. 

Banyak orang yang berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua entitas yang terpisah, yakni tubuh dan pikiran (atau roh), ala dualisme Cartesian. Tubuh tidak sepenuhnya diatur oleh determinisme fisikal, melainkan juga bisa dikendalikan oleh kehendak roh. Sementara itu, cukup banyak orang pula yang memandang manusia di satu sisi sebagai organisme biologis yang tunduk pada determinisme alam, namun di sisi lain memiliki kehendak bebas yang mendahului proses fisik tubuh, suatu entitas (mental) yang memiliki properti-properti tersendiri.

Pandangan dualitas tubuh-pikiran (atau tubuh dan roh) berbeda terhadap pandangan sains, terutama disiplin neurosains. Kehendak bebas dianggap sebagai ilusi. Gagasan kehendak bebas muncul dari ketidakmampuan untuk menjelaskan di level detil pada peristiwa biologis, kimiawi, dan fisikal. Kehendak bebas disusun sebagai “teori efektif”, sebagaimana disinggung Hawking dan Mlodinow di buku “The Grand Design”. Di dalam sains, teori efektif digunakan untuk memodelkan suatu fenomena tanpa perlu menjelaskan semua detil proses-proses yang mendasarinya. Disiplin kimia dan ekonomi adalah contoh dari teori efektif ini. 

Pemahaman tentang otak manusia terus diperbarui oleh sains. Difasilitasi oleh perkembangan teknologi. Membawa pandangan baru tentang otak dan pikiran, terkait kerja otak di dalam kepala. 

Biologi molekular menjelaskan proses biologis otak sebagai kerja molekul-molekul yang tunduk pada hukum fisika dan kimia. Teknologi pemindai otak, misal, membantu mengungkapkan jaringan-kerja neuron. Jaringan-jaringan neuron tersebut, menurut para saintis, dibentuk oleh gen maupun lingkungan. Aktifnya neuron-neuron menentukan semua pikiran-pikiran, termasuk mimpi-mimpi. 

Pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan kita muncul dari rangkaian tidak terputus aktifnya neuron-neuron. Satu neuron aktif menyebabkan neuron-neuron lainnnya aktif. Sehingga, untuk bisa memprediksi perilaku seseorang, maka salah satu yang diperlukan adalah pemahaman tentang kimia dan struktur otak orang tersebut.

Hanya saja, perilaku manusia ditentukan oleh banyak variabel dan rumit. Ada trilyunan molekul di tubuh manusia. Untuk bisa memprediksi perilaku manusia, maka perlu menghitung persamaan-persamaan matematis trilyunan molekul tersebut, dan mengetahui keadaan awalnya. Persamaan-persamaan matematis yang mengatur perilaku atom-atom dan molekul-molekul yang rumit, interaksi antar partikel (trilyunan partikel) yang ada pada manusia, untuk memprediksi apa yang akan dilakukan oleh manusia bersangkutan. 

Dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk melakukan penghitungan-penghitungan matematis yang rumit tersebut. Akan ada keterlambatan waktu antara ketika hasil hitungan telah selesai dan ketika tindakan manusia telah terjadi. Untuk praktisnya, dan mudahnya, maka diadopsi suatu teori efektif yang bernama “kehendak bebas”, utuk menjelaskan perilaku manusia. Manusia dikatakan memiliki kehendak bebas. 

Seandainya penghitungan matematis tersebut bisa dilakukan tanpa ada keterlambatan waktu, masih akan ada potensi persoalan lain, yang berkaitan dengan gagasan sistem khaotik, atau khaos deterministik. Misal, ketika seseorang bisa memprediksi secara pasti tentang masa depan dirinya sendiri, maka orang tersebut akan bereaksi terhadap prediksi tersebut, yang mengakibatkan prediksi gagal terwujud. Bagaimana jika reaksi terhadap prediksi tersebut juga bisa diprediksi? Dan seterusnya. Sistem khaotik ini juga merupakan karakter sejarah, sebagaimana disinggung Harari, di buku “Sapiens”, sebagai khaotik level dua.

Determinisme kausal seolah juga mendapat beban persoalan baru semenjak dikemukakannya teori fisika kuantum. Fisika kuantum membawa ketidakpastian di level sub-atomik. Fisika kuantum membawa determinisme sekaligus indeterminisme. Meski demikian, fisika kuantum ini disebut mengantarkan pada determinisme bentuk baru. Tetap sebagai bagian dari determinisme. 

Sekitar tiga dekade sejak temuan Libet, para saintis tampaknya masih belum puas. Masih ada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Usaha untuk menyingkap persoalan kehendak bebas tidak berhenti dan terus berlanjut. Misal, pada 2019 lalu, di Amerika Serikat, dimulai sebuah proyek penelitian yang melibatkan 17 universitas. Dibiayai oleh dua yayasan swasta dengan nilai lebih dari US$ 7 juta. Melibatkan delapan neurosaintis dan sembilan filosof. Salah satu harapannya adalah terciptanya satu lapangan baru di dalam studi tentang otak: neurophilosophy of free will.*


Endnotes:

*) lihat: