Suatu peristiwa atau fenomena terjadi dengan proses sebab (cause) dan akibat (effect). Untuk lebih memahami rangkaian sebab-akibat suatu peristiwa atau fenomena, perlu terlebih dahulu memahami konsep syarat cukup (sufficient condition) dan syarat perlu (necessary condition).
Syarat Cukup dan Syarat Perlu
Syarat cukup merupakan suatu keadaan (circumstance) yang mana jika keadaan ini hadir, maka peristiwa atau
fenomena tertentu harus hadir (terjadi). A adalah syarat cukup bagi B jika
terjadinya (kehadiran) A mengharuskan terjadinya (kehadiran) B.
1) Hujan adalah syarat cukup bagi mendung. Kebenaran hujan selalu mengimplikasikan kebenaran mendung.
2) Menjadi sapi adalah syarat cukup menjadi hewan. Menjadi
sapi mengharuskan menjadi hewan.
3) Kehabisan darah adalah syarat cukup bagi kematian. Kebenaran terjadinya kehabisan darah mengimplikasikan kebenaran terjadinya kematian.
Sebaliknya, A bukan syarat cukup bagi B jika A terjadi
(hadir) ketika B absen. Dengan kata lain, jika A terjadi (hadir) dan B tidak
terjadi (tidak hadir), maka A bukan syarat cukup bagi B. Contoh:
1) Mendung bukan merupakan syarat cukup bagi hujan. Mendung bisa hadir tanpa kehadiran hujan.
2) Hewan bukan syarat cukup bagi sapi. Menjadi hewan bisa
terjadi tanpa harus menjadi sapi, semisal menjadi kuda, kambing, atau ayam.
3) Kematian adalah bukan syarat cukup bagi kehabisan darah. Kematian bisa terjadi tanpa terjadinya kehabisan darah.
Syarat perlu merupakan suatu keadaan (circumstance) yang mana jika keadaan ini absen (tidak hadir), maka
peristiwa atau fenomena tertentu tidak bisa terjadi (tidak bisa hadir). A
adalah syarat perlu bagi B jika kejadian B menghendaki kejadian A. Terjadinya
(kehadiran) B tidak bisa tanpa terjadinya (kehadiran) A. Namun, kehadiran A
tidak berarti bahwa B pasti terjadi.
1) Mendung merupakan syarat perlu bagi hujan. Hujan tidak akan ada bila mendung tidak ada. Namun, kehadiran mendung tidak berarti bahwa hujan pasti terjadi.
2) Menjadi hewan adalah syarat perlu untuk menjadi sapi. Menjadi
sapi menghendaki menjadi hewan. Menjadi sapi tidak bisa terjadi tanpa menjadi
hewan.
3) Kematian adalah syarat perlu bagi kehabisan darah. Kebenaran terjadinya kehabisan darah menjamin kebenaran terjadinya kematian. Adalah tidak mungkin kebenaran terjadinya kehabisan darah tanpa kebenaran terjadinya kematian.
Sebaliknya, A bukan syarat perlu bagi B jika A absen ketika
B hadir. Dengan kata lain, jika B terjadi (hadir) dan A tidak terjadi (tidak
hadir), maka A bukan syarat perlu bagi B. Contoh:
1) Hujan bukan syarat perlu bagi mendung. Kebenaran terjadinya hujan menjamin kebenaran terjadinya mendung. Namun, kehadiran mendung bisa terjadi tanpa kehadiran hujan.
2) Sapi bukan syarat perlu bagi hewan. Sapi sudah pasti
hewan, namun hewan belum tentu sapi. Di sini, menjadi hewan bisa hadir tanpa
kehadiran menjadi sapi.
2) Kehabisan darah bukan syarat perlu bagi kematian. Kehabisan darah menjamin terjadinya kematian. Namun, kematian bisa terjadi tanpa kehabisan darah. Misal, terjadi karena kehabisan oksigen, kerusakan organ vital, dll.
Dimungkinkan, suatu peristiwa atau fenomena memiliki
beberapa syarat perlu. Tidak hanya satu syarat perlu. Syarat-syarat perlu
tersebut kemudian menjadi kesatuan syarat cukup. Dengan kata lain, semua syarat-syarat
perlu tersebut harus termasuk di dalam syarat cukup.
Misal, bagi terjadinya api, kehadiran oksigen memang merupakan syarat perlu. Namun, oksigen saja tidak cukup. Untuk terjadinya api, ada syarat-syarat perlu lainnya yang juga harus hadir, semisal gesekan antar materi-materi tertentu dan tingkat temperatur tertentu pada suatu substansi.
Pada terjadinya suatu peristiwa atau fenomena, semua
syarat-syarat perlu harus hadir, dan setidaknya ada satu syarat cukup yang
bersifat hadir. Konjungsi syarat-syarat perlu merupakan syarat cukup yang
memproduksi peristiwa atau fenomena bersangkutan.
Selain syarat cukup dan syarat perlu, masih ada satu kategori lagi, yakni syarat cukup-dan-perlu. Di sini, syarat cukup sekaligus merupakan syarat perlu. Syarat perlu bersifat identik dengan syarat cukup.
Di dalam interpretasi kondisional material (kondisional truth-functional), hubungan antara
syarat cukup dan syarat perlu bisa dituliskan secara simbolik dengan
menggunakan operator kondisional “→”.
C → P
Syarat cukup (C) berada pada posisi anteseden, dan syarat
perlu (P) berada pada posisi konsekuen. Jika dan hanya jika pernyataan
kondisional material C → P ini benar, maka P adalah syarat perlu bagi C, dan
dengan demikian kebenaran C menjamin kebenaran P.
Pernyataan kondisional material ini bernilai salah hanya ketika anteseden bernilai benar dan konsekuen bernilai salah. Dengan kata lain, bernilai salah hanya ketika syarat cukup (C) bernilai benar dan syarat perlu (P) bernilai salah.
“Jika ada api, maka ada oksigen.”
Api adalah syarat cukup bagi oksigen. Oksigen adalah syarat perlu bagi api. Pernyataan ini bernilai salah hanya ketika ada api bernilai benar dan ada oksigen bernilai salah. Dengan kata lain, bernilai salah ketika api hadir dan oksigen tidak hadir. Tiga situasi lainnya bernilai benar semua: 1) Ada api, ada oksigen. 2) Tidak ada api, ada oksigen. 3) Tidak ada api, tidak ada oksigen.
Sedangkan bagi syarat cukup-dan-perlu, hubungan antara
syarat cukup dan syarat perlu berupa bikondisional C ↔ P. Di sini, suatu pernyataan
bernilai benar hanya ketika syarat cukup dan syarat perlu memiliki nilai
kebenaran yang sama, benar semua atau salah semua. Contoh: untuk semua bilangan
bulat, kemampuan dibagi 2 adalah syarat cukup-dan-perlu untuk menjadi bilangan
genap.
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua pernyataan kondisional berkarakter kausal (penyebaban). Penggunaan operator kondisional “→” bisa jadi tidak tepat ketika terjadi konflik antara interpretasi bahasa biasa (ordinary liguistic) dengan interpretasi kondisional material atas suatu pernyataan kondisional. Jika operator kondisional tetap digunakan, mungkin akan ada makna yang hilang. Konflik ini tejadi karena interpretasi kondisional material mengabaikan hubungan inferensial antara anteseden dan konsekuen.
Operator kondisional “→” merujuk pada kondisional material.
Pada pernyataan kondisional material, nilai kebenaran bergantung pada kebenaran
atau kesalahan anteseden dan konsekuen, dan tidak bergantung pada hubungan
inferensial antara anteseden dan konskuen. Sementara itu, banyak pernyataan
kondisional dalam bahasa biasa menyatakan hubungan inferensial antara anteseden
dan konsekuen. Contoh:
“Jika kota Yogya berada di pulau Bali, maka kota Yogya berjarak dekat dengan kota London.”
Dalam interpretasi bahasa biasa, pernyataan tersebut bernilai salah. Bali jauh dari London. Sedangkan dalam interpretasi kondisional material, pernyataan tersebut bernilai benar karena memiliki anteseden yang bernilai salah. Kota Yogya tidak berada di pulau Bali.
Terkait Penggunaan
Kata “Sebab”
Di dalam bahasa biasa sehari-hari, kata “sebab” sering
digunakan dengan cara beragam dan kadang menimbulkan ambiguitas atau kekaburan. Untuk itu,
perlu penjernihan konteks penggunannya.
Kata “sebab” biasanya digunakan dalam arti syarat perlu jika kita hendak mencegah atau menghilangkan suatu peristiwa atau fenomena yang tidak diinginkan. Di sini berarti sebab perlu (necessary cause). Misal, Virus SARS-Cov-2 dikatakan sebagai penyebab Covid-19. Virus SARS-Cov-2 merupakan syarat perlu bagi Covid-19.
Kata “sebab” biasanya digunakan dalam arti syarat cukup jika
kita hendak menghasilkan sesuatu yang diinginkan ketimbang mencegah atau menghilangkan
sesuatu yang tidak diinginkan. Di sini berarti sebab cukup (sufficient cause). Misal, satu sendok
makan gula akan menjadi penyebab terciptanya rasa manis pada secangkir air
tawar. Satu sendok makan gula merupakan syarat cukup bagi terciptanya rasa
manis pada secangkir air tawar.
Kata “sebab” memiliki arti yang dekat dengan syarat cukup jika suatu peristiwa atau fenomena bersangkutan cenderung memiliki peran penyebaban dalam terproduksinya hasil-hasil tertentu. Misal, frasa “merokok menyebabkan kanker paru-paru”. Kata “sebab” di dalam frasa ini bermakna “cenderung menyebabkan”, bukan “pasti menyebabkan”. Merokok tidak bisa dikatakan sebagai syarat cukup. Hanya dekat dengan syarat cukup.
Kata “sebab” juga kerap digunakan dalam arti sebagai faktor
kritis dalam terjadinya suatu peristiwa tertentu. Misal, seorang perampok mati tertembak
disebabkan melawan menggunakan senjata api ketika hendak ditangkap polisi.
Melawan adalah faktor kritis yang menghasilkan kematian. Jika tidak melawan,
perampok tidak mati.
Di sini, kata “sebab” memiliki sub-divisi. Ada rangkaian kausal, rantai peristiwa di mana A menyebabkan B, B menyebabkan C, dan C menyebakan D. Hasil D dianggap sebagai efek dari salah satu peristiwa-peristiwa sebelumnya. Dibedakan antara sebab jauh D dan sebab dekat D.
Melakukan penyimpulan sebab dari akibat hanya berlaku ketika
kata “sebab” memiliki arti syarat perlu. Contoh: Seseorang yang mengidap AIDS disebabkan
telah terinfeksi HIV. Kehadiran AIDS tidak bisa terjadi tanpa kehadiran HIV. HIV,
sebagai syarat perlu, menyebabkan AIDS.
Melakukan penyimpulan akibat dari sebab berlaku hanya ketika kata “sebab” berarti syarat cukup. Contoh: Kehabisan darah menyebabkan kematian seseorang. Kehabisan darah adalah syarat cukup bagi seseorang untuk mati. Akan tetapi, kematian tidak semata disebabkan oleh kehabisan darah.
Ketika penyimpulan ditarik dari sebab ke akibat dan sekaligus dari akibat ke sebab, maka kata “sebab” digunakan dalam arti syarat perlu-dan-cukup. Contoh: Agus adalah kakaknya Ibas sebab lebih tua. Menjadi lebih tua adalah syarat cukup sekaligus syarat perlu untuk menjadi kakak.
Penutup
Manusia berusaha membuat penjelasan kausal atas segala peristiwa atau fenomena yang terjadi di alam. Pada jaman dahulu, penjelasan tersebut bersifat supranatural ataupun fantastis. Tuhan-tuhan, roh-roh, manusia-manusia, dan hewan-hewan dianggap sebagai penyebab terjadinya sesuatu, dan juga dibebani sebagai penanggung jawab. Bukan peristiwa, objek, ataupun proses-proses fisik tak hidup.
Ketika manusia mulai mencipta peralatan (teknik) yang
membantu kelangsungan hidup, penjelasan kausal mulai berubah. Objek-objek fisik
tak hidup, dan proses-proses tak hidup, mulai memperoleh karakter kausal. Dibutuhkan
penjelasan yang lebih berguna terkait kerja sistem peralatan tersebut. Agen-agen
kausal yang baru ini mulai mengambil alih beberapa karakteristik agen-agen
kausal sebelumnya, atau Tuhan-tuhan, roh-roh, manusia-manusia, atau hewan-hewan.
Alam mulai dilihat memiliki daya, kehendak, dan tujuan, yang salah satunya
tergambar dalam pemikiran Aristoteles.
Aristoteles mengemukakan empat “aitia”, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi empat “causes”. Penjelasan yang lengkap dan memuaskan terkait mengapa sesuatu adalah sesuatu, menurut Aristoteles, adalah penjelasan terkait telos (final cause). Merupakan tujuan akhir penyelidikan.
Pemikiran Aristoteles ini kemudian banyak diserang di masa
Renaisans. Galileo, salah satu tokoh Renaisans, melakukan revolusi dengan dua pokok
pandangan. Pertama, mendahulukan pengetahuan deksripsi (how) daripada eksplanasi (why).
Kedua, deskripsi dinyatakan dalam bahasa
matematika, yakni persamaan-persamaan.
David Hume membawa pandangan pertama Galileo lebih ekstrim. Eksplanasi tidak hanya nomor dua setelah deskripsi, tapi malah berlebih-lebihan. Hume berpendapat bahwa pengetahuan tentang kausalitas merupakan produk observasi, secara empiris, aposteriori. Diperoleh dari pengembangan kebiasaan pikiran, di mana dua tipe objek atau peristiwa diasosiasikan selalu berhubungan dan terjadi satu mendahului yang lain.
Ide Hume ini bukannya tanpa kesulitan. Pengalaman-pengalaman
kita selalu bersifat partikular. Lantas, bagaimana kita bisa sampai pada
generalisasi hubungan kausal? Juga terkait soal hubungan asli dan hubungan
palsu. Selain itu, jika informasi kausal memiliki makna empiri, pada
kenyataannya ada banyak persamaan hukum fisika yang tidak membawa karakter
kausal. Misal, persamaan Einstein E=mc² bersifat dua arah.
Bertrand Russell menganggap bahwa hukum kausalitas -- yang dibayangkan oleh banyak filosof sebagai salah satu aksioma fundamental sains -- adalah peninggalan jaman kuno. Di dalam sains-sains maju, kata “sebab” tidak pernah terjadi. Menurutnya, hubungan kausal dan persamaan-persamaan fisika bersifat tidak cocok. Hubungan kausal bersifat satu arah, sedangkan persamaan-persamaan fisika bersifat simetri.
Akan tetapi, pandangan Russell ini tidak sesuai dengan apa yang
terjadi di disiplin Statistika. Di dalam Statistika, tuntutan pembedaan antara
hubungan kausal dengan hubungan-hubungan yang lain mengemuka sangat jelas.
Hubungan kausalitas -- satu arah sebab-akibat -- dimungkinkan oleh asimetri. Berbeda
dengan sifat simetri yang dipikirkan Russell.
PUSTAKA
Copi, Irving M., Cohen, Carl., McMahon, Kenneth., 2014. Introducton to Logic. Essex: Pearson.
Hurley,
Patrick J., 2015. A Concise Introduction
to Logic. Stamford: Cengage Learning.
Pearl, Judea., 2009. Causality: Models, Reasoning, and Inference. New York: Cambridge University Press.