Sunday, May 15, 2022

KISAH-KISAH PILU DARI MATARAM

Antigone, Medeia, Hekabe, Elektra, juga Klutaimnestra adalah beberapa karakter wanita terkemuka di dalam drama Tragedi Yunani. Sedangkan di era Mataram Islam, ada kisah-kisah sedih yang melibatkan sosok-sosok wanita seperti Putri Pambayun, Rara Lembayung, Rara Mendut, Ratu Malang, dan Rara Hoyi. Berbeda dari Tragedi Yunani yang untuk sebagian besar didasarkan pada mitos-mitos yang hidup di tengah masyarakat Yunani, maka kisah-kisah sedih dari Mataram yang secara populer dituturkan secara oral di tengah masyarakat tersebut besar kemungkinan merupakan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.

 

Pambayun dikirim ke desa Mangir oleh ayahnya, Panembahan Senapati, raja Mataram, untuk memikat Mangir Wanabaya. Sebuah operasi intelijen. Setelah Pambayun berhasil memikat dan menikah dengan Wanabaya, ia mengajak suaminya sowan ke mertua di keraton Mataram. Di dalam keraton, Wanabaya dibunuh. Perlawanan desa Mangir berhasil ditumpas.

 

Wanabaya mati dibunuh oleh kekuasaan politik Senapati, ayah kandung Pambayun. Pambayun memulai dengan kepatuhan pada ayah, sekaligus penguasa negara. Pada perjalanannya, setelah bertemu dan hidup dengan Wanabaya, Pambayun mungkin tidak bisa menolak tumbuhnya perasaan cinta kepada suami sekaligus calon ayah dari bayi yang dikandungnya.

 

Episode penaklukan desa Mangir diakhiri dengan kematian Wanabaya. Ada kehilangan besar pada Pambayun. Kematian suami sekaligus ayah dari anak yang dikandungnya. Aspek ini mungkin bagian terberat pada Pambayun. Bukan ketika ia mematuhi perintah ayahnya untuk berangkat menjalankan misi penaklukan ke desa Mangir.

 

Dalam rangka politik  ekspansionistis, Senapati siap menempuh berbagai jalan, termasuk menjadikan putri kandungnya sebagai umpan yang dikirim ke sarang musuh. Senapati harus menang, meski itu kemudian mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri, juga merenggut masa depan cucunya untuk bisa dibesarkan oleh ayah kandung. Demi kejayaan negara Mataram. Demi kejayaan Senapati, karena negara Mataram adalah Senapati.

 

Rara Lembayung tidak berterus terang ketika putranya, Jaka Umbaran, bertanya tentang siapa ayah kandungnya. Ia hanya memberi teka-teki petunjuk, yakni pemilik alun-alun kotaraja. Setelah Jaka Umbaran bertemu Panembahan Senapati, di kotaraja, ia diberi sebilah keris ligan (tanpa wrangka/sarung), dan sebuah teka-teki pasemon tentang wrangka keris tersebut, untuk disampaikan pada Ibunya.

 

Rara Lembayung paham bahwa wrangka keris adalah isyarat permintaan kematian dirinya dari Panembahan Senapati, yang merupakan ayah kandung Jaka Umbaran. Wrangka keris tersebut adalah tubuh Rara Lembayung sendiri. Terlepas dari bagaimana teknisnya, Rara Lembayung menusukkan keris ligan ke tubuhnya. Mati, bunuh diri. Dimakamkan di Sada, Gunung Kidul.

 

Pada Rara Lembayung, ada konflik antara keharusan memberi tahu Jaka Umbaran tentang siapa ayahnya, dan keharusan untuk mematuhi larangan yang dibuat Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati) untuk tidak memberitahu siapa ayah kandung Jaka Umbaran. Larangan yang seolah menandakan dianutnya shame-culture bentuk ekstrim oleh Senapati.

 

Rara Lembayung mencoba menempuh langkah moderat. Tidak berterus terang pada Jaka Umbaran, namun juga tidak membohongi Jaka Umbaran. Terhadap larangan atau janji dengan Danang Sutawijaya, Rara Lembayung melanggar secara moderat pula. Namun balasan yang diterimanya bersifat ekstrim, kematian. Meski juga kemuliaan bagi putranya, yang kemudian diakui sebagai anak kandung oleh Panembahan Senapati. Kelak, Jaka Umbaran -- bergelar Pangeran Purbaya -- setelah tewas dalam perang penumpasan pemberontakan Trunajaya, dimakamkan di Wotgaleh, Sleman.

 

Pada masa Sultan Agung, Mataram menumpas perlawanan Pragolo II di Pati. Rampasan perang dibawa ke Mataram, termasuk para wanita. Salah satunya adalah gadis Rara Mendut, yang kemudian hendak dijadikan selir oleh Tumenggung Wiraguna. Rara Mendut menolak, kemudian dihukum dengan beban pajak. Pranacitra, kekasih Rara Mendut, menyusul ke Mataram. Mereka berdua berusaha melarikan diri keluar dari Mataram. Namun gagal, dan tertangkap tentara Mataram.

 

Pranacitra mati, dibunuh alat-alat kekuasaan politik, anak buah Tumenggung Wiraguna. Tidak lama kemudian, Rara Mendut juga mati, dengan tetap tidak diperistri Tumenggung Wiraguna. Ada yang menyebut dibunuh, dan ada yang menyebut bunuh diri. Jenazah Rara Mendut dan Pranacitra dimakamkan di Gandu, Sleman.

 

Rara Mendut hidup di jaman dan di masyarakat dengan ukuran moralitas yang mengijinkan wanita diperlakukan sebagai barang rampasan perang. Rara Mendut adalah wanita penduduk wilayah kalah perang, yang itu berarti boleh diperlakukan sebagai harta rampasan perang. Diperlakukan sebagai barang milik. Diboyong dari Pati ke Mataram.

 

Di sisi lain, Rara Mendut menolak tunduk pada kemauan pejabat negara pemenang politik. Sebagai barang rampasan perang, ia melawan pihak pemenang. Menolak diperistri, sembari melakukan perlawanan ekonomi-politik dengan bekerja mencari uang untuk membayar hukuman pajak. Rara Mendut memilih mempertahankan kemandirian dan mempertahankan perasaannya terhadap kekasihnya.

 

Amangkurat I, raja Mataram era Kerta-Plered, memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil seorang gadis cantik, yang telah bersuami, dan membawanya ke keraton. Selanjutnya, dinikahi dan diberi nama Ratu Malang. Ketika dibawa ke keraton, gadis tersebut dalam keadaan hamil, mengandung anak dari suami terdahulu.

 

Setelah anak lahir, Amangkurat I memerintahkan untuk membunuh suami terdahulu Ratu Malang, atau bapak dari bayi yang baru dilahirkan oleh Ratu Malang. Setelah mengetahui suaminya terdahulu mati, Ratu Malang kemudian jatuh sakit. Mungkin nelangsa. Hingga meninggal dunia. Jenazah Ratu Malang dikubur di Gunung Kelir (Bukit Sentana), sebelah timur laut Plered. Ia meninggalkan bayi yang masih kecil, anak hasil hubungannya dengan suami pertama.

 

Ratu Malang tidak mau atau tidak bisa menolak keinginan raja untuk memperistrinya, dan memboyongnya ke istana. Ia meninggalkan suami pertamanya. Ratu Malang juga tidak bisa melupakan begitu saja suami pertamanya, bapak dari bayi yang dikandungnya. Masih mencintainya.

 

Raja merampas istri orang, tidak menghormati hubungan pernikahan sepasang suami-istri. Bukan karena diawali perselingkuhan saling cinta. Juga bukan dalam suasana kemenangan perang, yang berkaitan dengan ide-ide harta atau wanita rampasan perang. Tapi karena hasrat sexual pemilik kuasa tidak boleh dihalangi. Ratu Malang merupakan kasus ketidakberdayaan wanita bersuami ketika dihadapkan pada serakahnya keinginan penguasa politik.

 

Di lain waktu, seorang gadis di bawah umur, bernama Rara Hoyi, dijadikan simpanan calon selir Amangkurat I. Ketika beranjak dewasa, ia justru terlibat hubungan asmara dengan Putra Mahkota (kelak menjadi Amangkurat II). Raja marah, memerintahkan pembunuhan terhadap Rara Hoyi dan para pengasuh Rara Hoyi sekaligus. Jenazah Roro Hoyi dikuburkan di makam Banyu Sumurup, Imogiri.

 

Ironisnya, atas perintah raja, Rara Hoyi mati di tangan Putra Mahkota, orang yang mungkin Rara Hoyi sendiri memiliki perasaan cinta padanya. Putra Mahkota tidak bisa menyelamatkan nyawa orang yang mungkin dicintainya, harus kehilangan, dan justru mati di tangannya sendiri. Mungkin membekas sebagai luka.

 

Rara Hoyi tidak mau atau tidak bisa menolak uluran kasmaran Putra Mahkota. Mungkin karena jatuh cinta, sama-sama muda. Atau mungkin karena takut. Rara Hoyi merusak rencana raja untuk memperistrinya, juga menghancurkan harapan orang tua atau keluarganya tentang naiknya status sosial Rara Hoyi beserta keluarga kelak jika dinikahi raja pada waktunya. Akibatnya, tidak hanya kematian dirinya, namun juga kematian para pengasuhnya.

 

Rara Hoyi tidak berdaya berada di tengah-tengah konflik politik dan asmara yang melibatkan raja dan Putra Mahkota. Konflik antara ayah dan anak. Antara pemegang kekuasaan politik dan pemilik potensi pemegang kekuasaan politik.

 

Meski apa yang menimpa Putri Pambayun, Rara Lembayung, Rara Mendut, Ratu Malang, dan Rara Hoyi adalah peristiwa sedih,  namun peristiwa-persitiwa sedih tersebut tidak bisa begitu saja disebut sebagai tragedi, sebagaimana pengertian drama Tragedi Yunani. Dilihat dari norma moralitas modern, apa yang menimpa para wanita tersebut merupakan fragmen-fragmen kisah brutal kekuasaan politik di Jawa era feodal dan patriarkhi.

 

Bagi sebagian kalangan, peristiwa-peristiwa tersebut mungkin memperkuat pendapat bahwa hidup tidak adil. Akan tetapi, pendapat yang suram ini mungkin kemudian ditenangkan dengan keyakinan bahwa takdir telah ditentukan oleh Tuhan, dan keadilan sejati ada di kehidupan setelah mati nanti, bukan di kehidupan sekarang. Di akhirat, bukan di  bumi. Lebih merupakan harapan karena ketidakberdayaan.