Friday, June 21, 2024

PENGORBANAN IBRAHIM, PERSOALAN EUTHUFRON

Ibrahim secara tiba-tiba memperoleh perintah dari Tuhan untuk membunuh anaknya. Di dalam tradisi Yahudi-Kristen, anak tersebut adalah Ishak. Di dalam Islam, adalah Ismail.

Terlepas dari perbedaan tersebut, Ibrahim mengadapi persoalan yang sulit. Bagaimanapun, Ibrahim akhirnya memutuskan untuk mengikuti perintah Tuhan. Hendak membunuh anaknya, meski kemudian dihentikan oleh Tuhan, melalui malaikat, dan diganti domba.

Sebagai seorang terkemuka, Ibrahim lebih memahami moralitas dibanding orang-orang lain di jamannya. Ia merupakan pemandu etika bagi masyarakatnya, bagi manusia yang lain.

Etika tradisional melarang pembunuhan terhadap manusia yang tidak bersalah, apalagi seorang bapak terhadap anak kandungnya. Meski perintah Tuhan pada Ibrahim tidak konsisten dengan etika tradisional, namun Ibrahim memilih untuk menuruti perintah tersebut.

Divine command theory (teori perintah Tuhan) menyatakan bahwa sesuatu yang etis adalah perintah Tuhan. Etika tidak mendahului Tuhan, tidak berada di atas Tuhan. Artinya, etika tunduk pada Tuhan. Namun hal ini memiliki persoalan, sebagaimana dikemukakan oleh Platon, filosof Yunani, di dalam karya tulisnya yang berbentuk dialog antara Sokrates dan Euthufron (Inggris: Euthyphro).

Sokrates bertanya pada Euthufron tentang apakah hal yang bersifat suci (atau saleh) disenangi oleh Tuhan karena hal tersebut bersifat suci, ataukah sesuatu menjadi bersifat suci karena hal tersebut disenangi oleh Tuhan.

Di dalam dialog tersebut, Platon menempatkan persoalan Euthufron dalam tema kesalehan (piety), atau ketakziman pada Tuhan. Pada perkembangannya kemudian, para filosof menempatkan persoalan Euthufron pada konteks etika secara umum.

Apakah sesuatu bersifat etis dikarenakan disenangi (disetujui) oleh Tuhan? Ataukah sesuatu disenangi (disetujui) oleh Tuhan karena sesuatu tersebut bersifat etis? Apakah Tuhan bisa memerintahkan apa saja menjadi etis? Ataukah Tuhan tidak berkuasa atas apa yang etis?

Di satu sisi, jika Tuhan menyenangi (menyetujui) sesuatu karena sesuatu tersebut bersifat etis, maka Tuhan tidak berkuasa atas apa yang bersifat etis. Sesuatu yang etis telah jelas sebelum Tuhan menentukan apa yang etis. Tuhan tidak menciptakan apa yang etis. Tuhan baru tahu kemudian tentang apa yang etis, atau Tuhan mencari apa yang etis di suatu tempat lain, bukan di diri Tuhan. Etika tidak berasal dari Tuhan.

Di sisi lain, jika apa yang etis adalah ciptaan Tuhan, berdasar kesenangan Tuhan, maka tidak ada ukuran lebih tinggi selain apa yang disenangi oleh Tuhan. Bagaimana jika Tuhan menyenangi praktek perbudakan manusia atau diskriminasi terhadap wanita? Perbuatan-perbuatan tersebut akan bersifat etis. Di samping itu, Tuhan bisa berubah pikiran. Etika kemudian bersifat arbitrer dan tanpa prinsip.

Implikasi dari persoalan Euthufron adalah bahwa jika Tuhan memerintahkan sesuatu karena sesuatu tersebut bersifat etis, maka hal ini membuat “teori perintah Tuhan” menjadi salah. Sedangkan jika sesuatu bersifat etis dikarenakan disenangi oleh Tuhan, maka hal ini menjadi absurd.

Lantas, apa yang membawa Ibrahim pada keputusan hendak membunuh anak sendiri? Di dalam tafsiran populer, Tuhan sengaja menguji keimanan (kepatuhan, kesetiaan) Ibrahim melalui perintah pembunuhan tersebut. Ibrahim lulus ujian.

Soren Kierkegaard, seorang filosof Denmark, di dalam bukunya “Takut dan Gemetar” (Frygt og Baeven), berusaha melihat lebih jauh tentang situasi yang dialami Ibrahim. Di dalam salah satu tafsirnya, Kierkegaard melihat ujian bagi Ibrahim sebagai cara untuk mengetahui bahwa Tuhan sama sekali tidak terikat dengan etika.

Etika sering merupakan anjuran-anjuran virtue (keutamaan), hal-hal yang baik. Agama menganjurkan manusia untuk menghindari dosa (vice). Kehidupan etis dan kehidupan relijius tampak selalu berbarengan.

Namun, di dalam situasi Ibrahim, tarikan pada virtue (menjadi ayah yang baik) justru membawanya pada dosa (tidak patuh pada perintah Tuhan). Di sini, virtue dan penghindaran dosa tidak terhubung. Kadang-kadang memang perlu dipisah. Tuhan bisa menghentikan etika beberapa saat. Kierkegaard menyebutnya “penangguhan teleologis atas apa yang etis”. Pembatalan etika universal untuk suatu tujuan lebih tinggi.

Suara nalar (voice of reason) memerintahkan untuk mengutamakan etika. Jika Ibrahim menganggap bahwa suara perintah yang mengaku dari Tuhan tersebut tidak masuk akal karena tidak konsisten dengan etika, maka hubungan antara Ibrahim dan Tuhan dimediasi oleh etika. Dengan kata lain, Tuhan tersubordinasi oleh etika. Ibrahim memutuskan untuk mematuhi perintah Tuhan, menempatkan Tuhan di atas etika.

Kierkegaard, yang saat ini sering dujuluki “Bapak Eksistensialime”, menyebut tindakan Ibrahim sebagai pasrah-diri-tanpa-batas (menjadi “ksatria pasrah-diri-tanpa-batas”) dan gerakan iman (menjadi “ksatria iman”). Ibrahim mengutamakan kepatuhan (iman), mengesampingkan etika.***