Korupsi dan kejahatan kemanusiaan di berbagai daerah adalah
argument yang digunakan untuk membendung usulan pemberian gelar pahlawan bagi
Soeharto. Timor Leste merupakan salah satu tempat praktek politik represi
Soeharto. Jika Soeharto diberi gelar pahlawan, apakah makna yang sama juga
diterima rakyat Timor Leste?
Sebagaimana diberitakan media massa, menurut dokumen
intelejen pemerintah Amerika Serikat (AS), yang dibuka Senin (28/1), tentang
hubungan AS dengan Indonesia kurun 1966-1998, dan juga dokumen rahasia yang
dikeluarkan Gerald R Ford Library tahun 2002, menyebutkan tentang pertemuan
Soeharto dengan Presiden Gerald Ford tahun 1975 yang menyinggung rencana
Soeharto menganeksasi Timor Leste, demi membendung pengaruh komunis. (Kedaulatan
Rakyat 30/1/2008)
Invasi militer tahun 1976 yang dilakukan Soeharto terhadap
Republica Democratica de Timor Leste, sebuah negara yang baru merdeka dari
Portugal, segera menumpahkan darah. Semenjak itu pula tragedi kemanusiaan susul
menyusul, termasuk peristiwa Santa Cruz 1991 yang monumental. TAP MPR No.
VI/MPR/1978 tentang pengukuhan Timor Timur sebagai provinsi ke-27, merupakan
landasan legal yang dibuat Soeharto untuk kolonisasi Indonesia di Timor Leste,
yang akhirnya dihentikan referendum berdarah 1999 yang (kembali) memerdekakan
Timor Leste. Selama 24 tahun pendudukan militer, diperkirakan sekitar 250.000
penduduk Timor Leste terbunuh.
Dengan invasinya ke Timor Leste, Soeharto telah melakukan
pelecehan setidaknya dua konsensus mendasar. Pertama, pelecehan terhadap UUD
1945, yang pada alinea pertama preambule menyatakan: "Bahwa sesungguhnya
Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan."
Kedua, pelecehan Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia,
yang disahkan dan disiarkan PBB 10 Desember 1948 dan dijadikan hukum
internasional pada 1976. Argumen "demi membendung pengaruh Komunis"
merupakan dasar tafsiran sewenang-wenang yang seolah-olah memberi hak kepada Soeharto sendiri
untuk mengadakan suatu kegiatan atau tindakan yang bertujuan meniadakan sesuatu
dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dicantumkan dalam Deklarasi Universal
Hak-hak Azasi Manusia tersebut.
Menurut para pendukungnya, Soeharto berjasa membangun
Indonesia, termasuk merebut Timor Leste. Bagi masyarakat Timor Leste, Soeharto
adalah simbol kolonialisme Indonesia. Pemberian gelar pahlawan pada Soeharto
tentu akan berdampak psikologis pada para korban perang kemerdekaan Timor
Leste, dan mungkin akan mempengaruhi hubungan kenegaraan Indonesia-Timor Leste.
Sebagai pembanding, multi tafsir simbol kebangsaan-kenegaraan
yang memicu ketegangan bilateral dapat kita temui pada kasus Tiongkok-Jepang
menyangkut kuil Yazukuni. Bagi pemerintah Jepang, kuil Yazukuni dipersembahkan
sebagai penghormatan jasa-jasa serdadu Jepang yang gugur pada Perang Dunia II.
Sebaliknya, Tiongkok memandang Yazukuni merupakan simbol kekejaman dan
kebrutalan penjajahan Jepang. Maka, setiap kali Perdana Menteri Jepang
berkunjung dan berdoa di kuil Yazukuni, pasti akan memicu protes Tiongkok pada
Jepang dan memunculkan ketegangan di antara keduanya.
Pemberian gelar kepahlawanan oleh Negara melalui Presiden
merupakan bentuk apresiasi formal kenegaraan pada orang bersangkutan yang
dianggap pahlawan. Penyanjungan masyarakat adalah apresiasi non formal.
Sedangkan vonis hukum bersalah pengadilan merupakan kondemnasi formal
kenegaraan. Hujatan masyarakat adalah kondemnasi non formal oleh masyarakat.
Jika Soeharto diberi gelar pahlawan tanpa divonis secara
hukum bersalah oleh pengadilan (perdata dan atau pidana), maka ia telah
mendapat apresiasi formal dari negara dan apresiasi non formal dari masyarakat
pendukungnya, serta kondemnasi non formal dari penentangnya. Jika Soeharto
secara hukum divonis bersalah oleh pengadilan, dan tidak diberi gelar pahlawan,
maka ia mendapat kondemnasi formal dan non formal, serta apresiasi non formal
dari pendukungnya.
Jika Soeharto diberi gelar pahlawan dan divonis secara hukum
bersalah oleh pengadilan, maka ia mendapat apresiasi formal dan non formal,
serta kondemnasi formal dan non formal. Jika Soeharto tidak diberi gelar
pahlawan dan tidak divonis secara hukum bersalah di pengadilan, maka ia
mendapat apresiasidan kondemnasi non formal, namun tidak mendapat apresiasi dan
kondemnasi formal.
Keputusan berdasar logika di atas harus menyertakan aspek
keadilan bagi para korban kemanusiaan rezim Soeharto. Korban harus dilihat atas
dasar inti kemanusiaannya, bukan atas dasar ras, etnik, suku, agama, kelompok,
dan kewarganegaraan. . Artinya, korban dipandang sebagai ke-manusia-annya.
Sehingga, juga terpenuhi rasa keadilan para korban yang bukan warga Indonesia.
Pada masa hidupnya, kasus hukum Soeharto tak pernah di
selesaikan dengan alasan tidak ada bukti dan sakit permanen. Kejahatan Soeharto
sulit diajukan ke pengadilan karena ia selalu menggunakan berbagai macam alat
hukum sebagai sarana kebijakan dan tindakannya. Bagi Soeharto, negara adalah
dirinya, sehingga seluruh produk perundang-undangan
diabdikan untuk kepentingannya. Ia pahlawan bagi dirinya sendiri.
Tindakan invasi Soeharto ke Timor Leste adalah fakta
dilanggarnya UUD 45 dan Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia PBB. Dokumen
National Security Archieve Amerika tentang aksi Soeharto terhadap Timor Leste
merupakan salah satu data awal yang otentik tertulis tentang fakta kejahatan
rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Akhirnya, pihak yang getol mengusulkan
pemberian gelar pahlawan pada Soeharto adalah mereka yang pernah diuntungkan
oleh Soeharto. Soeharto adalah pahlawan bagi mereka, karena telah memungkinkan
mereka dapat menjadi seperti apa saat ini. Di pihak lain, Soeharto adalah
penjahat di mata para korban penindasan Orde Baru, termasuk rakyat Timor Leste.
Di Jerman, Hittler merupakan patriot yang mampu membangun dan
membangkitkan Jerman dari keterpurukan Perang Dunia I, menjadi negara imperium
yang berjaya secara ekonomi, teknologi, dan militer. Namun Hittler tidak
dianggap pahlawan. Ia dianggap penjahat, karena mengorbankan nilai-nilai
kemanusiaan demi tujuan megalomania***
Yogyakarta, 31 Januari
2008