Thursday, January 31, 2008

SOEHARTO: PAHLAWAN DAN PENJAHAT

Korupsi dan kejahatan kemanusiaan di berbagai daerah adalah argument yang digunakan untuk membendung usulan pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. Timor Leste merupakan salah satu tempat praktek politik represi Soeharto. Jika Soeharto diberi gelar pahlawan, apakah makna yang sama juga diterima rakyat Timor Leste?


Sebagaimana diberitakan media massa, menurut dokumen intelejen pemerintah Amerika Serikat (AS), yang dibuka Senin (28/1), tentang hubungan AS dengan Indonesia kurun 1966-1998, dan juga dokumen rahasia yang dikeluarkan Gerald R Ford Library tahun 2002, menyebutkan tentang pertemuan Soeharto dengan Presiden Gerald Ford tahun 1975 yang menyinggung rencana Soeharto menganeksasi Timor Leste, demi membendung pengaruh komunis. (Kedaulatan Rakyat 30/1/2008)

Invasi militer tahun 1976 yang dilakukan Soeharto terhadap Republica Democratica de Timor Leste, sebuah negara yang baru merdeka dari Portugal, segera menumpahkan darah. Semenjak itu pula tragedi kemanusiaan susul menyusul, termasuk peristiwa Santa Cruz 1991 yang monumental. TAP MPR No. VI/MPR/1978 tentang pengukuhan Timor Timur sebagai provinsi ke-27, merupakan landasan legal yang dibuat Soeharto untuk kolonisasi Indonesia di Timor Leste, yang akhirnya dihentikan referendum berdarah 1999 yang (kembali) memerdekakan Timor Leste. Selama 24 tahun pendudukan militer, diperkirakan sekitar 250.000 penduduk Timor Leste terbunuh.

Dengan invasinya ke Timor Leste, Soeharto telah melakukan pelecehan setidaknya dua konsensus mendasar. Pertama, pelecehan terhadap UUD 1945, yang pada alinea pertama preambule menyatakan: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan."

Kedua, pelecehan Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia, yang disahkan dan disiarkan PBB 10 Desember 1948 dan dijadikan hukum internasional pada 1976. Argumen "demi membendung pengaruh Komunis" merupakan dasar tafsiran sewenang-wenang yang seolah-olah memberi hak kepada Soeharto sendiri untuk mengadakan suatu kegiatan atau tindakan yang bertujuan meniadakan sesuatu dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dicantumkan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia tersebut.

Menurut para pendukungnya, Soeharto berjasa membangun Indonesia, termasuk merebut Timor Leste. Bagi masyarakat Timor Leste, Soeharto adalah simbol kolonialisme Indonesia. Pemberian gelar pahlawan pada Soeharto tentu akan berdampak psikologis pada para korban perang kemerdekaan Timor Leste, dan mungkin akan mempengaruhi hubungan kenegaraan Indonesia-Timor Leste.

Sebagai pembanding, multi tafsir simbol kebangsaan-kenegaraan yang memicu ketegangan bilateral dapat kita temui pada kasus Tiongkok-Jepang menyangkut kuil Yazukuni. Bagi pemerintah Jepang, kuil Yazukuni dipersembahkan sebagai penghormatan jasa-jasa serdadu Jepang yang gugur pada Perang Dunia II. Sebaliknya, Tiongkok memandang Yazukuni merupakan simbol kekejaman dan kebrutalan penjajahan Jepang. Maka, setiap kali Perdana Menteri Jepang berkunjung dan berdoa di kuil Yazukuni, pasti akan memicu protes Tiongkok pada Jepang dan memunculkan ketegangan di antara keduanya.

Pemberian gelar kepahlawanan oleh Negara melalui Presiden merupakan bentuk apresiasi formal kenegaraan pada orang bersangkutan yang dianggap pahlawan. Penyanjungan masyarakat adalah apresiasi non formal. Sedangkan vonis hukum bersalah pengadilan merupakan kondemnasi formal kenegaraan. Hujatan masyarakat adalah kondemnasi non formal oleh masyarakat.

Jika Soeharto diberi gelar pahlawan tanpa divonis secara hukum bersalah oleh pengadilan (perdata dan atau pidana), maka ia telah mendapat apresiasi formal dari negara dan apresiasi non formal dari masyarakat pendukungnya, serta kondemnasi non formal dari penentangnya. Jika Soeharto secara hukum divonis bersalah oleh pengadilan, dan tidak diberi gelar pahlawan, maka ia mendapat kondemnasi formal dan non formal, serta apresiasi non formal dari pendukungnya.

Jika Soeharto diberi gelar pahlawan dan divonis secara hukum bersalah oleh pengadilan, maka ia mendapat apresiasi formal dan non formal, serta kondemnasi formal dan non formal. Jika Soeharto tidak diberi gelar pahlawan dan tidak divonis secara hukum bersalah di pengadilan, maka ia mendapat apresiasidan kondemnasi non formal, namun tidak mendapat apresiasi dan kondemnasi formal.

Keputusan berdasar logika di atas harus menyertakan aspek keadilan bagi para korban kemanusiaan rezim Soeharto. Korban harus dilihat atas dasar inti kemanusiaannya, bukan atas dasar ras, etnik, suku, agama, kelompok, dan kewarganegaraan. . Artinya, korban dipandang sebagai ke-manusia-annya. Sehingga, juga terpenuhi rasa keadilan para korban yang bukan warga Indonesia.

Pada masa hidupnya, kasus hukum Soeharto tak pernah di selesaikan dengan alasan tidak ada bukti dan sakit permanen. Kejahatan Soeharto sulit diajukan ke pengadilan karena ia selalu menggunakan berbagai macam alat hukum sebagai sarana kebijakan dan tindakannya. Bagi Soeharto, negara adalah dirinya, sehingga seluruh produk perundang-undangan diabdikan untuk kepentingannya. Ia pahlawan bagi dirinya sendiri.

Tindakan invasi Soeharto ke Timor Leste adalah fakta dilanggarnya UUD 45 dan Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia PBB. Dokumen National Security Archieve Amerika tentang aksi Soeharto terhadap Timor Leste merupakan salah satu data awal yang otentik tertulis tentang fakta kejahatan rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Akhirnya, pihak yang getol mengusulkan pemberian gelar pahlawan pada Soeharto adalah mereka yang pernah diuntungkan oleh Soeharto. Soeharto adalah pahlawan bagi mereka, karena telah memungkinkan mereka dapat menjadi seperti apa saat ini. Di pihak lain, Soeharto adalah penjahat di mata para korban penindasan Orde Baru, termasuk rakyat Timor Leste.

Di Jerman, Hittler merupakan patriot yang mampu membangun dan membangkitkan Jerman dari keterpurukan Perang Dunia I, menjadi negara imperium yang berjaya secara ekonomi, teknologi, dan militer. Namun Hittler tidak dianggap pahlawan. Ia dianggap penjahat, karena mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan demi tujuan megalomania***

Yogyakarta, 31 Januari 2008