Sunday, May 4, 2008

PETANI SELALU JADI KORBAN


Pada kunjungan kerja dan panen padi di Grabag, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah 17/04/2008, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengatakan saat ini Indonesia tidak akan ekspor beras, lebih memilih mempertahankan swasembada dan setelah itu baru ekspor (Kedaulatan Rakyat 18/4/08). Sepuluh hari sebelumnya (7/4/08), pada acara panen padi di Trirenggo, Kabupaten Bantul Yogyakarta, Wakil Presiden Jusuf Kala mengatakan pemerintah tidak akan impor beras, bahkan optimis Indonesia akan swasembada beras pada tahun depan (Kedaulatan Rakyat 8/4/08).



Dua pernyataan tersebut dapat dibaca bahwa saat ini ketersediaan dan keterjangkauan harga beras dalam negeri sebenarnya tidak bisa dikatakan "aman-aman saja," meski tidak mengalami kekurangan. Oleh karenanya, pemerintah tidak mungkin ekspor beras, walau harganya mahal di pasaran internasional, yang sebenarnya dapat mendatangkan keuntungan. Di sisi lain, saat ini daya beli masyarakat sangat rendah, sehingga tidak mungkin mampu membeli beras impor yang harganya naik dua kali lipat dalam dua bulan terakhir.


Politik Pangan Pemerintah

Bagi pemerintah, ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan bagi masyarakat perkotaan adalah menjadi prioritas utama. Masyarakat kota tidak dapat memproduksi bahan makanan sendiri, harus membeli dari petani pedesaan. Karena bahan pangan adalah kebutuhan paling pokok, maka kelangkaan persediaan dan ketidakterjangkauan harga pangan dapat menimbulkan instabilitas sosial pada masyarakat perkotaan.

Di sisi lain, bagi pemerintah, masyarakat pedesaan dianggap lebih fleksibel dalam menghadapi gejolak harga dan persediaan pangan. Selain produsen pangan menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat desa, bahan pangan di pedesaan tersedia di dalam berbagai macam dan di berbagai tempat, misal di persawahan, ladang, kebun halaman rumah, bahkan di sungai dan hutan. Jikapun terjadi kenaikan harga dan kelangkaan persediaan satu-dua macam bahan pangan, maka masyarakat desa relative fleksibel beralih mengkonsumsi alternative pangan yang lain. Selain itu, sebagian besar bahan pangan tersebut dapat diperoleh tanpa proses jual beli, sehingga diangap relative kurang terpengaruh pergerakan harga di pasaran.

Untuk konteks saat ini, anggapan terhadap realitas masyarakat desa tersebut di atas sebenarnya dapat diperdebatkan. Namun yang jelas, kebijakan pemerintah terhadap ekonomi politik pangan selama ini didasarkan pada anggapan fleksibilitas masyarakat desa terhadap alternative pangan, serta potensi instabilitas sosial masyarakat kota jika terjadi kelangkaan persediaan dan ketidakterjangakuan pangan. Pemerintah lebih mendahulukan ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan bagi masyarakat perkotaan dari pada menaikkan nilai tukar petani, meskipun sebenarnya keduanya dapat dilakukan secara simultan.

Masyarakat desa pada umumnya, dan petani pada khususnya, selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dikorbankan, sehingga sebagian besar penduduk miskin berada di pedesaan. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan prosentasi persebaran penduduk miskin pada 2006 adalah 13,47% di Kota, dan 21,81% di Desa. Angka tersebut naik dari tahun 2005, yang 11,68% di Kota, dan 19,98% di Desa. Itu pun dengan parameter pendapatan yang dibedakan, yakni Rp. 150.799 di Kota, dan Rp. 117.259 di Desa pada tahun 2005. Sedangkan tahun 2006, Rp. 174.290 di Kota, dan Rp. 130.584 di Desa. Sebenarnya, pembedaan parameter kesejahteraan ini pun dapat diperdebatkan, mengingat di dalam sistem ekonomi global saat ini wilayah pedesaan dibanjiri produk-produk industri perkotaan, dan dipaksa mengkonsumsi gaya hidup perkotaan dengan segala produknya, yang tentu dengan harga relative seragam.


Problem HPP

Melalui Instruksi Presiden No. 1/2008 tentang Kebijakan Perberasan, mulai berlaku 22 April 2008, pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras Rp. 200/Kg, atau sekitar 10%. Meski memberi sedikit tambahan pendapatan petani, namun nilai kenaikan HPP tersebut tidak sebanding dengan nilai biaya produksi dan distribusi, yang bahkan juga naik, seperti harga pupuk dan bahan baku pupuk yang terus naik di pasar internasional. Selain itu, keluarnya kebijakan kenaikan HPP tersebut diangap terlambat, mengingat Maret-April merupakan masa akhir panen, dan padahal petani telah terikat kontrak dagang ( juga tebas) dengan para tengkulak pada bulan-bulan sebelumnya, sehingga tengkulak-lah yang akan mendapatkan keuntungan dari kenaikan HPP.

Lebih celaka lagi jika kenaikan HPP dijadikan alasan pembenar oleh tengkulak dan pedagang untuk menaikkan harga jual beras lebih tinggi dari prosentase kenaikkan HPP itu sendiri. Maka masyarakat miskin pada umumnya dan petani miskin pada khususnya, akan mengalami penurunan daya beli, karena prosentasi antara inflasi dengan tingkat pendapatan yang tidak sebanding. Apalagi hampir 80% pengeluaran rumah tangga miskin habis digunakan untuk kebutuhan pangan. Petani termasuk korban pemiskinan struktural ini, mengingat sekitar 60% petani Indonesia adalah net consumer pangan (konsumsi lebih besar dari produksi).


Inflasi dan Kemiskinan

Menurut kajian Econit Advisory Group, kenaikan harga barang kebutuhan pokok tidak akan tercermin sepenuhnya dalam angka inflasi yang diumumkan BPS, meski faktanya sangat memukul daya beli rakyat. Hal ini dikarenakan perhitungan inflasi yang didasarkan pada Survei Biaya Hidup telah terjadi bias pada pemilihan sample, yakni kelompok menengah atas di 44 ibu kota propinsi dan dalam keluarga responden harus ada anggota yang minimal tamat SMA (ECONIT' Economic Outlook 2008). Maka pengaruh inflasi terhadap masyarakat klas menengah ke bawah di perkotaan, serta masyarakat pedesaan pada umumnya tidak akan muncul dalam data BPS.


Beras Komersial Bulog di Atas HPP

Pada suatu kesempatan, Dirut Perum Bulog, Mustafa Abu Bakar mengatakan bahwa tahun ini pihaknya siap melakukan pengadaan beras dari dalam negeri secara komersial, yakni dengan membeli gabah di atas HPP, dengan volume pembelian yang tidak dibatasi, karena diharapkan akan mampu meningkatkan stok beras Bulog. Namun, beras komersial ini digunakan bukan untuk pelayanan publik (Kedaulatan Rakyat 21/4/08). Di lain waktu, ia mengatakan bahwa Bulog hanya mampu menampung 20% gabah dari petani (Kedaulatan Rakyat 24/4/08).

Jalur komersialisasi beras Bulog akan memberatkan masyarakat, terutama masyarakat miskin, karena harga beras akan naik demi tujuan profit Bulog. Sementarar bagi petani produsen beras, pembelian beras di atas HPP oleh Bulog kurang berpengaruh bagi peningkatan pendapatan mereka, mengingat selama ini beras petani dibeli oleh para tengkulak yang langsung mendatangi petani. Dari para tengkulak, beras dibeli oleh Bulog dengan harga komersial, sehingga tengkulak beruntung untuk kesekian kalinya.


Perlunya Ekonomi-Politik Pro Rakyat Miskin Dalam Negeri

Pada 2008 ini, penduduk Indonesia, terutama rakyat miskin, tercekik oleh sekaligus inflasi harga pangan dan energi. SBY berkali-kali mengatakan, termasuk pada pidato resmi di Istana Merdeka 30/4/08, bahwa inflasi ini merupakan peristiwa internasional.

Memang, kenaikan harga pangan dan energi di dalam negeri saat ini terpengaruh imported inflation, yang berperan juga menghadirkan cost-push inflation (misal kenaikan harga tempe akibat naiknya harga kedelai impor dari Amerika). Namun, demand-pull inflation sungguh kongkret dialami rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, kita patut bertanya apakah pernyataan SBY berarti pemerintah menginsyafi adanya persoalan pada tata ekonomi internasional di datu sisi dan tata ekonomi nasional di sisi lain saat ini? Kenaikan harga pangan dan energi internasional yang justru malah menjadi ancaman bagi sebuah negara yang kaya sumber daya alam menunjukkan adanya persoalan serius ekonomi politik dalam negeri pada Negara bersangkutan. Atau jangan-jangan pernyataan SBY tersebut merupakan upaya cuci tangan pemerintah atas ketidakmampuan mengatasi persoalan pangan dan energi dalam negeri dengan cara menimpakan semua sebab persoalan tersebut pada dunia internasional.

Sedangkan pernyataan SBY di Purworejo dan JK di Bantul merupakan isyarat kekhawatiran terhadap fluktuasi harga dan persediaan pangan dalam negeri saat ini. Dua pernyataan tersebut juga dapat bermakna politis, yakni sebagai peredam gejolak masyarakat konsumen agar tenang. Di sisi lain, kenaikan HPP dilakukan pemerintah untuk memberi kompensasi minimal pada petani, mengingat harga beras international yang terus naik, selain juga untuk menutupi rencana Bulog mengkomersilkan beras demi profit dan agar sesuai pasar international. Padahal, fluktuasi pasar internasional sangat berbahaya bagi penduduk miskin dalam negeri, mengingat tajamnya perbedaan tingkat pendapatan dibanding penduduk Negara maju. Apa yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah sistem ekonomi politik nasional yang mandiri sehingga tidak vulnerable oleh fluktuasi internasional***

Yogyakarta, 4 Mei 2008