Di bidang kehutanan, ide Perdagangan
Karbon (carbon
trading) berawal
dari munculnya paradigma baru tentang peran hutan sebagai
penyimpan karbon. Hutan dianggap
mampu menjadi tempat cadangan
karbon yang sangat besar dikarenakan keberadaan mahluk hidup yang ada di
dalamnya, biomas dan vegetasi. Keberadaan hutan dapat menjaga keseimbangan siklus karbon bagi keperluan
seluruh mahluk hidup di bumi. Hal ini kemudian dipertimbangkan
sebagai komoditi sekaligus upaya perlindungan hutan untuk penurunan pemanasan
global.
Perdagangan Karbon dikatakan sebagai mekanisme berbasis pasar untuk membantu
mengurangi peningkatan CO2 di atmosfir bumi. Perdagangan Karbon merupakan salah
satu isi kesepakatan di dalam Protokol Kyoto.[1] Pada perkembangannya, Perdagangan
Karbon semakin diperkuat legitimasinya oleh REDD+.[2] Pada Protokol Kyoto, negara-negara maju (sering
disebut sebagai “pencemar”) menyepakati target pengurangan emisi hingga periode
tertentu. Para pembuat polusi diberi “kredit emisi” yang intinya merupakan
lisensi untuk mengotori udara hingga tingkat tertentu.
Protokol
Kyoto menetapkan suatu
mekanisme di mana negara-negara industri dan negara penghasil polutan
terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi kepada
negara berkembang pemilik hutan tropis. Kompensasi tersebut adalah dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk
mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga tejadi "sequestration"
atau penyimpanan sejumlah besar karbon.[3]
Terdapat tiga jenis Perdagangan Karbon. Pertama, perdagangan emisi (Emission
Trading). Kedua, perdagangan kredit berbasis proyek (Trading in project
based credit). Sedangkan campuran dari dua jenis tersebut adalah sistem
perdagangan hibrida (hybrid carbon trading).[4] Ketiga model tersebut mengasumsikan bahwa gas emisi yang
dikeluarkan oleh industri dapat saling dikompensasi melalui mekanisme pasar.
Apa yang terjadi di pasar adalah saling tawar dengan pertimbangan nilai
ekonomis atau finansial. Di dalam paradigma ini, orientasi yang sangat menonjol
adalah nilai-nilai pasar ekonomis.
Model emission
trading, trading in project-based credit, maupun hybrid
carbon trading lebih banyak berbicara skema jual-beli polusi dan
pengalihan pengurangan polusi menjadi transaksi finansial siapa mendapat apa.
Hal ini menegaskan pernyataan bahwa Perdagangan Karbon merupakan mekanisme ekonomis berbasis pasar. Kepentingan yang menguat adalah persoalan
kalkulasi ekonomis, tentang siapa mendapat apa. Jika harga transaksi
Perdagangan Karbon dirasa sesuai oleh pihak penjual dan pembeli, maka rekayasa
terhadap kelestarian alam dilakukan. Akan tetapi ketika nilai transaksi tidak
sesuai dengan keinginan masing-masing pihak, maka kelestarian alam dibiarkan atau ditelantarkan.
Pada model emission
trading sebenarnya terdapat potensi terjadinya pengurangan gas polusi.
Namun dengan adanya alternatif pada model trading in project-based
credit dan hybrid carbon trading, maka para emitor lebih
memilih untuk tidak mengurangi emisi mereka dan menggantinya dengan membeli
kredit karbon dari negara-negara dunia ketiga pemilik hutan. Pengalihan
kewajiban ini tidak benar-benar dilandasi kesadaran menjaga lingkungan, tetapi
lebih sebagai formalitas atas keberadaan peraturan tentang lingkungan dan
kepentingan investasi di negara-negara berkembang. Alasan terakhir ini menjadi
daya tarik yang dominan bagi perusahaan-perusahaan di negara maju.
Di dalam skema Perdagangan
Karbon terdapat kemungkinan dilakukannya alternatif pilihan jika satu model
dirasa tidak dapat ditempuh oleh pihak pencemar. Misalnya, jika pihak pencemar
tidak bisa mereduksi emisinya, maka pihak pencemar tersebut dapat melakukan
kompensasi dengan membeli kredit karbon kepada pencemar lain atau membeli kredit
karbon di luar negeri. Dengan model alternatif pembelian kredit pada trading
in project-based credit, para pencemar di lain sisi tetap memproduksi gas
racun. Para pencemar berdalih bahwa mereka telah melakukan kompensasi tindakan
pencemarannya melalui pembelian kredit karbon di negara-negara berkembang dan
pemilik hutan.
Hutan tropis, sebagai
penyeimbang karbon dunia, sebagian besar berada di negara-negara miskin dan
berkembang. Realitas masyarakat di negara-negara dunia ketiga yang hidup di
dalam kemiskinan mengandung dilema
ketika diupayakan pelarangan alih-guna lahan hutan yang sering disebut
menyumbang peningkatan gas rumah kaca (greenhouse gass) karena
tidak ada lagi pepohonan yang dapat menyerap karbon. Negara-negara maju memproduksi gas racun,
namun negara-negara berkembang yang disalahkan karena terjadinya pengurangan
jumlah pohon penyerap gas racun. Juga disalahkan karena tidak memiliki mesin
rendah emisi yang mahal harganya.
Persoalan penurunan emisi
gas rumah kaca akan berkaitan dengan tingkat produktivitas dan pembangunan
suatu negara. Negara-negara maju yang telah memulai modernisasi dan
industrialisasi lebih awal daripada negara-negara miskin dan berkembang, saat
ini telah menikmati capaian-capaian kemakmuran hasil dari kemajuan sains dan teknologi
dibanding negara-negara berkembang. Persoalan terjadi ketika negara-negara
berkembang dipaksa untuk menurunkan produktivitas industrialisasi dan
teknologinya karena jurang ketimpangan ekonomi yang terlanjur tercipta antara
negara-negara kaya dengan negara-negara miskin. Model investasi pemakaian
teknologi rendah emisi dan pelestarian hutan di negara-negara miskin di satu
sisi, dan industrialisasi di negara-negara maju tetap berjalan di sisi lain,
adalah bukan cara yang adil tentang bagaimana mengurangi pemanasan global.
Terdapat ketidakadilan di
dalam tata Perdagangan Karbon menyangkut antara penjual dan pembeli kredit
karbon di dalam konteks antara negara maju dengan negara miskin. Pengalihan
penurunan emisi di dalam model emission trading ke dalam model trading
in project-based credit maupun ke model hybrida carbon trading bukanlah
semata persoalan ketidakmampuan pembeli kredit di dalam mengurangi emisi
mereka, namun justru ketertarikan pada prospek pelipatan keuntungan dari model trading
in project-based credit yang merupakan salah satu saluran investasi
bagi para emitor untuk melipatgandakan kekayaan mereka. Hal ini merupakan salah
satu bentuk investasi luar negeri, baik yang berupa clean mechanism
development maupun sequestrasi karbon hutan.
Negara berkembang hanya
mendapat kompensasi finansial untuk menjaga kelestarian hutan dan teknologi
ramah lingkungan, sambil mengakibatkan penurunan industrialisasi di dalam
negeri. Hal ini tentu turut menghambat kemajuan industri di
negara-negara miskin. Selain itu, langkah tersebut juga tidak signifikan di
dalam upaya penurunan polusi. Sebab, negara-negara miskin tersebut tetap memproduksi polusi, walau di
dalam jumlah yang dikurangi. Sementara, pihak emitor di negara-negara maju
tetap melanjutkan industrialisasi mereka karena merasa telah menyeimbangkan
karbon dengan membeli kredit karbon di luar negeri.
Perlu dicatat bahwa perilaku di dalam Perdagangan Karbon selalu
didasarkan pertimbangan finansial. Pertama, biaya pengurangan emisi yang
dianggap terlalu mahal. Kedua, pembelian kredit karbon di negara-negara tropis
dan miskin dianggap sebagai investasi aset di luar negeri. Dominasi kepentingan
negara-negara maju dan perusahaan swasta terhadap negara-negara berkembang
pemilik hutan tropis memiliki
latar belakang seting ekonomi-politik.
Perdagangan
karbon meninggalkan persoalan
internal di antara pihak-pihak yang terlibat, ketimpangan antara
penjual dan pembeli karbon.
Ketimpangan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuatan yang berkompromi di
dalam forum-forum internasional. Tata skema perdagangan tersebut sebagian
besar hanya ditentukan oleh para emitor dari negara maju di dalam setiap forum
pertemuan internasional, dan cenderung mengabaikan suara dari negara-negara
miskin dan pemilik hutan. Perilaku ini merupakan wujud dari sikap dominasi satu
arah tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari
negara-negara miskin dan berkembang.
Pada praktiknya, skema
Perdagangan Karbon perlu digugat efektifitasnya di dalam upaya mitigasi
pemanasan global. Terjadi persoalan konflik kepentingan ekonomi antara emitor,
negara maju, negara berkembang, serta pemilik lahan hutan. Perlu pula
dipertanyakan efektifitas Perdagangan Karbon di dalam membentuk suatu
kebudayaan baru berbasis nilai-nilai yang sadar kepentingan ekologis. Perdebatan yang kerap mengemuka terkait
Perdagangan Karbon lebih banyak tentang keadilan ekonomi dari seluruh pihak
yang terlibat. Hal ini memang tidak salah, karena manusia perlu melangsungkan
kehidupannya. Akan tetapi, perdebatan tersebut kerap melewatkan persoalan alam
atau lingkungan hidup secara keseluruhan itu sendiri.
Pada awalnya, Perdagangan
Karbon dikatakan sebagai upaya untuk membantu mengurangi peningkatan CO2 di
atmosfir bumi. Namun
upaya pengurangan CO2 yang tersusun di dalam skema Perdagangan Karbon ternyata
cenderung mengalami pergeseran menjadi pola perdagangan ekonomis antara
produsen polusi dengan pihak yang lebih sedikit memproduksi polusi, dan juga
dengan pemilik lahan hutan. Atau, jangan-jangan, sejak awal skema Perdagangan Karbon memang bukan didesain untuk
mitigasi pemanasan global?***
Yogyakarta,
2010
DAFTAR
PUSTAKA
Naskah Akademik Pengesahan Protokol Kyoto. Kementrian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. http://www.climatechange.menlh.go.id/index.php?option=com...
Diunduh Minggu 5 Desember 2010, 11:30 pm.
Parker,
Charlie.(et. all). 2008. The Little REDD Book, A
guide to governmental and non-governmental proposals for reducing emissions
from deforestation and degradation. Oxford, UK: Global Canopy Programme.
Kyoto Protocol to the United Nations Framework
Convention on Climate Change. 1998. http://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf Diunduh Minggu
5 Desember 2010, 11:30 pm.
Situs internet:
Website berita Erabaru.net: http://erabaru.net/top-news/37-news2/15504-perdagangan-karbon-bukan-solusi-pemanasan-global. Diakses 1 November 2010; 2:00 pm.
Website WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Bali: http://walhibali.blogspot.com/2007/08/perdagangan-karbon.html Diakses 1 November 2010; 2:11 pm.
Website CIFOR: http://www.cifor.cgiar.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Carbon.html Diakses
1 November 2010; 1:59 pm.
Website The United Nations Collaborative
Programme on Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation in Developing Countries: http://www.un-redd.org/AboutREDD/tabid/582/Default.aspx Diakses
1 November 2010; 2:30 pm.
Endnotes:
[1] Protokol Kyoto berisi kesepakatan penurunan
gas rumah kaca, yang diimplementasikan di dalam berbagai cara. Protokol Kyoto terdiri dari tiga mekanisme,
yakni Clean Development Mechanism, Joint Implementation,
dan Emission Trading. Perdagangan Karbon (Carbon Trade) merupakan implementasi
lebih lanjut dari Protokol Kyoto. Lihat Kyoto Protocol to the United Nations Framework
Convention on Climate Change: http://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf
[2] REDD+ : Reducing
Emissions from Deforestation and Degradation +. Tentang REDD, lihat lebih lanjut di dalam website The United Nations Collaborative Programme on
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing
Countries: http://www.un-redd.org/AboutREDD/tabid/582/Default.aspx
[3] http://www.cifor.cgiar.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Carbon.html Diakses:
1 November 2010, jam 1:59 am
[4] Lihat artikel “Perdagangan Karbon” di website WALHI BALI http://walhibali.blogspot.com/2007/08/perdagangan-karbon.html Diakses
1 November 2010, jam 2:11 am