Tuesday, March 12, 2013

BISNIS HUTAN DAN PERDAGANGAN KARBON

Di bidang kehutanan, ide Perdagangan Karbon (carbon tradingberawal dari munculnya paradigma baru tentang peran hutan sebagai penyimpan karbon. Hutan dianggap mampu menjadi tempat cadangan karbon yang sangat besar dikarenakan keberadaan mahluk hidup yang ada di dalamnya, biomas dan vegetasi. Keberadaan hutan dapat menjaga keseimbangan siklus karbon bagi keperluan seluruh mahluk hidup di bumi. Hal ini kemudian dipertimbangkan sebagai komoditi sekaligus upaya perlindungan hutan untuk penurunan pemanasan global.

Perdagangan Karbon dikatakan sebagai mekanisme berbasis pasar untuk membantu mengurangi peningkatan CO2 di atmosfir bumi. Perdagangan Karbon merupakan salah satu isi kesepakatan di dalam Protokol Kyoto.[1] Pada perkembangannya, Perdagangan Karbon semakin diperkuat legitimasinya oleh REDD+.[2] Pada Protokol Kyoto, negara-negara maju (sering disebut sebagai “pencemar”) menyepakati target pengurangan emisi hingga periode tertentu. Para pembuat polusi diberi “kredit emisi” yang intinya merupakan lisensi untuk mengotori udara hingga tingkat tertentu.

Protokol Kyoto menetapkan suatu mekanisme di mana negara-negara industri dan negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi kepada negara berkembang pemilik hutan tropis. Kompensasi tersebut adalah dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga tejadi "sequestration" atau penyimpanan sejumlah besar karbon.[3]

Terdapat tiga jenis Perdagangan Karbon. Pertama, perdagangan emisi (Emission Trading). Kedua, perdagangan kredit berbasis proyek (Trading in project based credit). Sedangkan campuran dari dua jenis tersebut adalah sistem perdagangan hibrida (hybrid carbon trading).[4] Ketiga model tersebut mengasumsikan bahwa gas emisi yang dikeluarkan oleh industri dapat saling dikompensasi melalui mekanisme pasar. Apa yang terjadi di pasar adalah saling tawar dengan pertimbangan nilai ekonomis atau finansial. Di dalam paradigma ini, orientasi yang sangat menonjol adalah nilai-nilai pasar ekonomis.

Model emission tradingtrading in project-based credit, maupun hybrid carbon trading lebih banyak berbicara skema jual-beli polusi dan pengalihan pengurangan polusi menjadi transaksi finansial siapa mendapat apa. Hal ini menegaskan pernyataan bahwa Perdagangan Karbon merupakan mekanisme ekonomis berbasis pasar. Kepentingan yang menguat adalah persoalan kalkulasi ekonomis, tentang siapa mendapat apa. Jika harga transaksi Perdagangan Karbon dirasa sesuai oleh pihak penjual dan pembeli, maka rekayasa terhadap kelestarian alam dilakukan. Akan tetapi ketika nilai transaksi tidak sesuai dengan keinginan masing-masing pihak, maka kelestarian alam dibiarkan atau ditelantarkan.

Pada model emission trading sebenarnya terdapat potensi terjadinya pengurangan gas polusi. Namun dengan adanya alternatif pada model trading in project-based credit dan hybrid carbon trading, maka para emitor lebih memilih untuk tidak mengurangi emisi mereka dan menggantinya dengan membeli kredit karbon dari negara-negara dunia ketiga pemilik hutan. Pengalihan kewajiban ini tidak benar-benar dilandasi kesadaran menjaga lingkungan, tetapi lebih sebagai formalitas atas keberadaan peraturan tentang lingkungan dan kepentingan investasi di negara-negara berkembang. Alasan terakhir ini menjadi daya tarik yang dominan bagi perusahaan-perusahaan di negara maju.

Di dalam skema Perdagangan Karbon terdapat kemungkinan dilakukannya alternatif pilihan jika satu model dirasa tidak dapat ditempuh oleh pihak pencemar. Misalnya, jika pihak pencemar tidak bisa mereduksi emisinya, maka pihak pencemar tersebut dapat melakukan kompensasi dengan membeli kredit karbon kepada pencemar lain atau membeli kredit karbon di luar negeri. Dengan model alternatif pembelian kredit pada trading in project-based credit, para pencemar di lain sisi tetap memproduksi gas racun. Para pencemar berdalih bahwa mereka telah melakukan kompensasi tindakan pencemarannya melalui pembelian kredit karbon di negara-negara berkembang dan pemilik hutan.

Hutan tropis, sebagai penyeimbang karbon dunia, sebagian besar berada di negara-negara miskin dan berkembang. Realitas masyarakat di negara-negara dunia ketiga yang hidup di dalam kemiskinan mengandung dilema ketika diupayakan pelarangan alih-guna lahan hutan yang sering disebut menyumbang peningkatan gas rumah kaca (greenhouse gasskarena tidak ada lagi pepohonan yang dapat menyerap karbonNegara-negara maju memproduksi gas racun, namun negara-negara berkembang yang disalahkan karena terjadinya pengurangan jumlah pohon penyerap gas racun. Juga disalahkan karena tidak memiliki mesin rendah emisi yang mahal harganya.

Persoalan penurunan emisi gas rumah kaca akan berkaitan dengan tingkat produktivitas dan pembangunan suatu negara. Negara-negara maju yang telah memulai modernisasi dan industrialisasi lebih awal daripada negara-negara miskin dan berkembang, saat ini telah menikmati capaian-capaian kemakmuran hasil dari kemajuan sains dan teknologi dibanding negara-negara berkembang. Persoalan terjadi ketika negara-negara berkembang dipaksa untuk menurunkan produktivitas industrialisasi dan teknologinya karena jurang ketimpangan ekonomi yang terlanjur tercipta antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin. Model investasi pemakaian teknologi rendah emisi dan pelestarian hutan di negara-negara miskin di satu sisi, dan industrialisasi di negara-negara maju tetap berjalan di sisi lain, adalah bukan cara yang adil tentang bagaimana mengurangi pemanasan global.

Terdapat ketidakadilan di dalam tata Perdagangan Karbon menyangkut antara penjual dan pembeli kredit karbon di dalam konteks antara negara maju dengan negara miskin. Pengalihan penurunan emisi di dalam model emission trading ke dalam model trading in project-based credit maupun ke model hybrida carbon trading bukanlah semata persoalan ketidakmampuan pembeli kredit di dalam mengurangi emisi mereka, namun justru ketertarikan pada prospek pelipatan keuntungan dari model trading in project-based credit yang merupakan salah satu saluran investasi bagi para emitor untuk melipatgandakan kekayaan mereka. Hal ini merupakan salah satu bentuk investasi luar negeri, baik yang berupa clean mechanism development maupun sequestrasi karbon hutan.

Negara berkembang hanya mendapat kompensasi finansial untuk menjaga kelestarian hutan dan teknologi ramah lingkungan, sambil mengakibatkan penurunan industrialisasi di dalam negeri. Hal ini tentu turut menghambat kemajuan industri di negara-negara miskin. Selain itu, langkah tersebut juga tidak signifikan di dalam upaya penurunan polusi. Sebab, negara-negara miskin tersebut tetap memproduksi polusi, walau di dalam jumlah yang dikurangi. Sementara, pihak emitor di negara-negara maju tetap melanjutkan industrialisasi mereka karena merasa telah menyeimbangkan karbon dengan membeli kredit karbon di luar negeri.
           
Perlu dicatat bahwa perilaku di dalam Perdagangan Karbon selalu didasarkan pertimbangan finansial. Pertama, biaya pengurangan emisi yang dianggap terlalu mahal. Kedua, pembelian kredit karbon di negara-negara tropis dan miskin dianggap sebagai investasi aset di luar negeri. Dominasi kepentingan negara-negara maju dan perusahaan swasta terhadap negara-negara berkembang pemilik hutan tropis memiliki latar belakang seting ekonomi-politik.

Perdagangan karbon meninggalkan persoalan internal di antara pihak-pihak yang terlibat, ketimpangan antara penjual dan pembeli karbon. Ketimpangan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuatan yang berkompromi di dalam forum-forum internasional. Tata skema perdagangan tersebut sebagian besar hanya ditentukan oleh para emitor dari negara maju di dalam setiap forum pertemuan internasional, dan cenderung mengabaikan suara dari negara-negara miskin dan pemilik hutan. Perilaku ini merupakan wujud dari sikap dominasi satu arah tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari negara-negara miskin dan berkembang.

Pada praktiknya, skema Perdagangan Karbon perlu digugat efektifitasnya di dalam upaya mitigasi pemanasan global. Terjadi persoalan konflik kepentingan ekonomi antara emitor, negara maju, negara berkembang, serta pemilik lahan hutan. Perlu pula dipertanyakan efektifitas Perdagangan Karbon di dalam membentuk suatu kebudayaan baru berbasis nilai-nilai yang sadar kepentingan ekologis. Perdebatan yang kerap mengemuka terkait Perdagangan Karbon lebih banyak tentang keadilan ekonomi dari seluruh pihak yang terlibat. Hal ini memang tidak salah, karena manusia perlu melangsungkan kehidupannya. Akan tetapi, perdebatan tersebut kerap melewatkan persoalan alam atau lingkungan hidup secara keseluruhan itu sendiri.

Pada awalnya, Perdagangan Karbon dikatakan sebagai upaya untuk membantu mengurangi peningkatan CO2 di atmosfir bumi. Namun upaya pengurangan CO2 yang tersusun di dalam skema Perdagangan Karbon ternyata cenderung mengalami pergeseran menjadi pola perdagangan ekonomis antara produsen polusi dengan pihak yang lebih sedikit memproduksi polusi, dan juga dengan pemilik lahan hutan. Atau, jangan-jangan, sejak awal skema Perdagangan Karbon memang bukan didesain untuk mitigasi pemanasan global?***

Yogyakarta, 2010


DAFTAR PUSTAKA

Naskah Akademik Pengesahan Protokol Kyoto. Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. http://www.climatechange.menlh.go.id/index.php?option=com... Diunduh Minggu 5 Desember 2010, 11:30 pm.

Parker, Charlie.(et. all). 2008. The Little REDD Book, A guide to governmental and non-governmental proposals for reducing emissions from deforestation and degradation. Oxford, UKGlobal Canopy Programme.

Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change. 1998.  http://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf Diunduh Minggu 5 Desember 2010, 11:30 pm.


Situs internet:

Website berita Erabaru.net: http://erabaru.net/top-news/37-news2/15504-perdagangan-karbon-bukan-solusi-pemanasan-global. Diakses 1 November 2010; 2:00 pm.

Website WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Bali: http://walhibali.blogspot.com/2007/08/perdagangan-karbon.html Diakses 1 November 2010; 2:11 pm.

Website CIFOR: http://www.cifor.cgiar.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Carbon.html Diakses 1 November 2010; 1:59 pm.

Website The United Nations Collaborative Programme on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries: http://www.un-redd.org/AboutREDD/tabid/582/Default.aspx Diakses 1 November 2010; 2:30 pm.





Endnotes:




[1] Protokol Kyoto berisi kesepakatan penurunan gas rumah kaca, yang diimplementasikan di dalam berbagai cara. Protokol Kyoto terdiri dari tiga mekanisme, yakni Clean Development MechanismJoint Implementation, dan Emission Trading. Perdagangan Karbon (Carbon Trade) merupakan implementasi lebih lanjut dari Protokol Kyoto. Lihat Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Changehttp://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf
[2] REDD+ : Reducing Emissions from Deforestation and Degradation +. Tentang REDD, lihat lebih lanjut di dalam website The United Nations Collaborative Programme on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countrieshttp://www.un-redd.org/AboutREDD/tabid/582/Default.aspx
[4] Lihat artikel “Perdagangan Karbon” di website WALHI BALI http://walhibali.blogspot.com/2007/08/perdagangan-karbon.html Diakses 1 November 2010, jam 2:11 am