Pada kisaran abad 16, Nusantara diramaikan
dengan kemunculan negara-negara baru. Salah satunya adalah Mataram Islam di
belahan selatan Jawa Tengah. Di akhir abad 16, Mataram memulai usaha untuk
memperluas wilayahnya.
Namun, terdapat satu desa perdikan yang
terletak sekitar 20 km barat daya Kotagede (atau Kutha Gede, ibu kota Mataram) yang tidak mau tunduk pada kekuasaan
Mataram. Desa perdikan bernama Mangir tersebut telah lebih dahulu ada sebelum
Ki Ageng Pamanahan beserta para pengikutnya membuka hutan Mentaok, cikal bakal
Kotagede.[1] Perlawanan rakyat Mangir yang dipimpin
oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya sulit ditaklukkan oleh Panembahan Senopati, raja
Mataram, anak Pamanahan. Kampanye militer secara terbuka yang dikirim oleh
Senopati selalu menemui kegagalan.
Senopati kemudian menyusun operasi intelijen
untuk menghentikan perlawanan rakyat Mangir, sekaligus untuk mencaplok wilayah
Mangir ke dalam kekuasaan Mataram. Putri Pembayun, putri pertama Senopati
dengan permasuri, dikirim di bawah penyamaran sebagai ledek atau penari (ada
yang mengatakan sebagai waranggana) bersama rombongan tandak ke daerah Mangir,
berpura-pura mengamen. Misinya adalah memikat Wanabaya, dan dengan demikian
maka Wanabaya akan mudah ditundukkan. Pembayun akhirnya berhasil memikat Wanabaya,
karena Wanabaya tidak tahu siapa sebenarnya Pembayun.
Rahasia boleh terbongkar, asalkan telah
terlambat, demikian ungkapan di dunia intelijen. Setelah Wanabaya dan Pembayun
menikah, Pembayun menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya. Pembayun kemudian
mengajak Wanabaya untuk bersama-sama menghadap ayah Pembayun yang sebenarnya, yakni
Panembahan Senopati, di keraton Mataram, Kotagede.
Wanabaya bersama Pembayun menghadap
Senopati ke keraton Mataram di Kotagede, dengan tujuan menghaturkan hormat. Pembayun
sebagai putri Senopati dan Wanabaya sebagai menantu Senopati. Akan tetapi
kemudian, di dalam istana raja, terjadilah pembunuhan terhadap Wanabaya.
Senopati berhasil melenyapkan Wanabaya untuk selamanya, dan dengan demikian
maka kemudian perlawanan rakyat Mangir dapat dipadamkan dan wilayah Mangir
dapat kuasai Mataram.
Cara
dan Senjata
Peristiwa penaklukkan Mangir mungkin
merupakan operasi intelijen yang paling memilukan di dalam sejarah kekuasaan di
Jawa. Agen utama operasi intelijen (atau umpan politik) tersebut tidak
tanggung-tanggung: putri pertama raja hasil perkawinan dengan permaisuri.
Pembayun masih berusia muda dan merupakan anggota keluarga inti raja.
Dipilihnya Pembayun sebagai agen utama
operasi intelijen tersebut tentu bukan hal yang kebetulan. Justru oleh karena
ia seorang gadis dan putri raja, maka Pembayun diajukan sebagai agen utama
operasi penaklukkan Mangir. Jika posisi agen utama di dalam operasi tersebut
diganti oleh gadis atau wanita lain selain putri raja, maka resiko kegagalan
operasi tersebut menjadi besar. Senopati tentu tidak mau gagal.
Kenalilah secara dekat temanmu, tetapi
kenalilah lebih dekat lagi musuhmu, kata pepatah. Pihak Mataram, dalam hal ini
Senopati, tentu telah mempelajari profil desa Mangir dan Wanabaya, orang yang
menjadi pemimpin rakyat desa Mangir. Segala hal yang bersangkutan dengan
kepribadian pemimpin rakyat desa Mangir tersebut telah dipelajari secara
seksama. Segala kelebihan dan kekurangan Wanabaya, kekuatan dan kelemahannya, telah
dipelajari. Data-data tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
rangka pemilihan cara dan senjata yang tepat bagi Mataram.
Pembayun adalah senjatanya. Ia dikirim
menyusup ke wilayah desa Mangir. Serangan ditujukan pada jantung perlawanan
rakyat Mangir, yakni Wanabaya sebagai pemimpin Mangir. Jadilah Pembayun sebagai
kekuatan Mataram untuk menyerang titik kelemahan Mangir (atau kekuatan Mangir,
tergantung dari mana melihatnya). Kegadisan Pembayun dan posisinya sebagai
putri pertama raja dengan permaisuri dijadikan sebagai senjata utama Mataram.
Mungkin kemudian muncul pertanyaan tentang mengapa
pada akhirnya Senopati memutuskan untuk membunuh Wanabaya. Bukankah Wanabaya
telah berhasil dirangkul menjadi bagian dari keraton Mataram, menjadi menantu
Senopati, sehingga dimungkinkan adanya proses penggabungan wilayah Mangir ke
dalam Mataram secara damai? Bukankah pernikahan Pembayun dan Wanabaya dapat
diperlakukan sebagai pernikahan politik yang dengan pernikahan politik tersebut
maka Mataram dapat menjadikan desa Mangir sebagai bawahan? Kenapa Wanabaya
tidak dijadikan vassal Mataram saja?
Jika dilihat dari kegagalan-kegagalan tentara Mataram merebut wilayah desa Mangir yang hanya berjarak
sekitar dua puluh kilometer dari ibu kota Mataram, maka dapat diasumsikan bahwa
kekuatan desa Mangir waktu itu dapat menandingi kekuatan Mataram.[2] Selain itu, desa Mangir telah lebih dahulu
ada dibandingkan negara Mataram yang baru saja didirikan. Sehingga, besar
kemungkinan bahwa desa Mangir dan Wanabaya akan tetap memilih berdaulat sendiri
secara politik, tidak mau menjadi bagian Mataram, meski Wanabaya telah menjadi
menantu raja Mataram. Padahal, tujuan Senopati adalah mencaplok wilayah Mangir
untuk dimasukkan ke dalam kekuasaan Mataram. Tidak ada kata lain selain
membunuh Wanabaya, melenyapkan pemimpin dan simbol perlawanan rakyat Mangir
agar rakyat Mangir mengalami demoralisasi.[3]
Negara
Senopati
Apa yang dilakukan Senopati di dalam
peristiwa operasi intelijen yang melibatkan Pembayun adalah di dalam konteks
peluasan wilayah dan penegakkan kedaulatan negara Mataram. Mataram adalah
negara berbasis feodal dengan sistem pemerintahan monarki absolut. Para
bangsawan dan pemimpin lokal harus tunduk pada raja Mataram. Senopati
menganggap pemimpin Mangir tidak lebih sebagai pemimpin lokal desa Mangir yang
harus tunduk pada pemimpin Mataram. Mataram menganggap Mangir tidak lebih
sebagai desa yang harus berada di bawah kekuasaan negara Mataram.
Bagi Senopati, Mataram adalah Senopati dan
Senopati adalah Mataram. Kebesaran Mataram adalah kebesaran Senopati, dan
kebesaran Senopati adalah kebesaran Mataram. Negara adalah saya, l’etat c’est moi, demikian kata Louis
XIV. Sabda raja adalah hukum negara. Apa yang disabdakan oleh Senopati adalah
kewajiban bagi rakyat Mataram, termasuk Pembayun. Pembayun hidup di jaman masyarakat feodal-patriarki di
bawah sistem pemerintahan monarki absolut.
Kebersediaan Pembayun menjadi bagian utama
operasi intelijen Mataram tentu didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang
hanya Pembayun sendiri yang mengetahui secara pasti. Akan tetapi, setting sosiologi dan kebudayaan Mataram
kala itu dapat digunakan untuk meraba kehidupan psikis Pembayun dan dorongan
luar apa yang memperkuat kerelaan Pembayun menjalankan misi penaklukkan Mangir.
Pertama, pengabdian kepada negara (Mataram). Kedua, bakti kepada orang tua,
yakni Senopati yang juga sekaligus pemimpin tertinggi negara. Ketiga, tugas
suci keagamaan. Di dalam masyarakat feodal terdapat pandangan bahwa raja adalah
wakil tuhan di bumi (bahkan, di beberapa masyarakat, terdapat anggapan bahwa
raja adalah titisan tuhan). Aspek keagamaan ini memberi legitimasi kesucian misi
penaklukkan Mangir.[4] Di dalam posisi Pembayun, maka sabda
Senopati berarti pula sebagai hukum negara, perintah orang tua, dan titah suci agama
(tuhan). Ketiganya menjadi alasan-alasan utama pembenar yang menguatkan diri Pembayun untuk bersedia menjalankan
operasi penaklukkan Mangir.
Tentu saja masih ada berbagai kemungkinan
sebab lain yang tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai patriotik negara, budi
pekerti anak pada orang tua, dan alasan keagamaan. Misalnya, paksaan dan
ancaman. Bisa saja Pembayun dipaksa untuk terlibat di dalam misi penaklukkan
Mangir. Pembayun mungkin juga takut terhadap
ancaman hukuman dari ayahnya jika Pembayun menolak perintah ayahnya yang juga
pemimpin negara.
Pada saat peristiwa pembunuhan Wanabaya
terjadi, Pembayun sedang mengandung anak Wanabaya. Pembayun, bersama anaknya,
kemudian hidup di luar istana. Ia dititipkan pada Ki Ageng Karanglo yang berada
di luar tembok keraton.
Orang boleh saja berpendapat bahwa alasan
dikeluarkannya Putri Pembayun dari istana raja, dan secara otomatis dari
lingkungan keraton, dikarenakan Senopati menganggap hina pada Pembayun dan anak
yang dikandungnya. Pembayun dianggap sebagai aib keraton Mataram. Orang juga
tidak bisa dilarang berpendapat bahwa Pembayun sendiri yang berinisiatif keluar
dari lingkungan keraton ayahnya. Namun, Senopati bukan orang bodoh dan ia tentu memikirkan segala kemungkinan. Apalagi, Senopati
dikelilingi para penasehat politik, terutama Ki Juru Martani.[5] Bayi yang dikandung Pembayun, yang
merupakan anak Wanabaya, dapat menjadi ancaman bagi Senopati dan dinastinya di
masa yang akan datang.
Meskipun bayi yang dikandung Pembayun
adalah cucu darah-daging Senopati, tetapi wajar saja jika Senopati memiliki
kekhawatiran jika suatu saat nanti kekuasaan Mataram jatuh ke tangan orang yang
tidak dikehendakinya, misalnya keturunan Wanabaya. Mungkin saja Senopati juga
belajar dari pengalaman peristiwa suksesi terhadap Ken Arok.[6] Oleh karena itu, Senopati segera
menyingkirkan keturunan darah Wanabaya keluar dari keraton Mataram.
Setelah meninggal dunia, Pembayun tidak
dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga raja.[7] Sedangkan Wanabaya dimakamkan di kompleks
makam raja, bahkan di cungkup keluarga inti raja, meski hanya setengah nisan
yang berada di dalam cungkup, sedangkan setengahnya lagi berada di luar,
dipisah oleh tembok cungkup. Posisi pemakaman Wanabaya ini dikatakan sebagai
penyimbolan antara musuh dan sekaligus keluarga Senopati. Musuh negara
sekaligus keluarga raja.
Penutup
Mao, di dalam On Protracted War, mengatakan, “politik adalah perang tanpa
pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah”.
Gagal dengan pengerahan perang militer, Senopati menempuh taktik politik
non-peperangan fisik untuk menaklukkan Mangir. Namun di akhir jalan taktik
politik yang ditempuh Senopati, darah tetap saja ditumpahkan.
Pada peristiwa penaklukkan Mangir, Mataram mengambil
jalan taktik politik yang dijabarkan di dalam operasi intelijen karena jalan
kekerasan militer berulang kali gagal. Jalan politik yang ditempuh Senopati adalah
jalan menggunakan segala cara, termasuk menggunakan putri sulungnya sebagai
umpan politik. Operasi intelijen yang melibatkan Pembayun terbukti berhasil
tanpa perlu mengerahkan kekuatan militer yang besar. Wilayah Mangir kemudian berhasil direbut Mataram.
Di akhir kisah penaklukkan Mangir, Pembayun
harus kehilangan suami, yang juga ayah dari bayi yang dikandungnya, karena
dibunuh oleh ayah Pembayun sendiri, sang raja Mataram. Operasi intelijen
penaklukkan Mangir telah mengambil kehidupan pribadi Pembayun dan juga
mengambil suaminya. Hanya bayi di dalam kandungannya yang masih tersisa. Nalar
sehat orang jaman sekarang akan mengatakan bahwa Pembayun telah mengorbankan lebih dari cukup
kebahagiaan kehidupan pribadinya, demi ayah dan negara. Tentang etika politik
yang dipraktekkan Senopati, silahkan Anda menilai sendiri.
Alas Mentaok, akhir November 2013
[1] Pamanahan mendapatkan
tanah Mataram sebagai hadiah yang diberikan oleh sultan Pajang atas jasanya
mengalahkan Arya Penangsang di Jipang. Arya Penangsang dikisahkan dibunuh oleh
anak Pamanahan, yakni Danang Sutowijoyo, yang kelak menjadi raja pertama Mataram
Islam dengan nama Panembahan Senopati.
[2] Pramoedya berpendapat
bahwa kekuatan Mataram saat itu belum jauh melebihi kekuatan Mangir karena Mataram
merupakan negara yang baru saja didirikan, sedang muncul, dan mulai melebarkan
kekuasaannya. Pramoedya Ananta Toer. 2000. Drama
Mangir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[3] Perlawanan rakyat
model patron biasanya selalu dapat dipatahkan jika tokoh kunci perlawanan
berhasil ditundukkan.
[4] Berdasar keterangan
seorang duta VOC (Rijklof van Goens) yang berkunjung ke Mataram di pertengahan
abad 17, kalangan keraton menceritakan kepada van Goens bahwa sekitar tahun
1576 seorang penguasa lokal yang telah ada di bumi Mataram menolak memeluk
Islam. Senopati kemudian menaklukkan penguasa dan daerah tersebut, membunuh
penguasa beserta keluarganya, dan memaksakan agama Islam kepada penduduk yang
telah ada. Lihat Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah
Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. (terj. Dharmono
Hardjowidjono). Hlm. 61. Di dalam cerita populer yang ada di masyarakat, tidak
ada kisah konflik penaklukkan yang dilakukan Senopati terhadap masyarakat
setempat yang telah ada di bumi Mataram kecuali peristiwa konflik Mangir. Oleh
karena itu, kemungkinan besar kisah yang diceritakan oleh kalangan keraton
Mataram kepada van Goens adalah peristiwa Mangir, meskipun penyebutan secara
definitif tahun 1576 akan menemui persoalan jika dikaitkan dengan tahun mulai
bertahtanya Senopati sebagai raja Mataram.
[5] Pramoedya menyebut
Juru Martani sebagai Machiavellis sebelum Niccolo Machiavelli dikenal oleh
dunia. Lihat Pramoedya Ananta Toer, op. cit., hlm. XXIV
[6] Ken Arok dibunuh oleh
Anusopati. Setelah berhasil membunuh Ken Arok, Anusopati kemudian naik tahta
menggantikan Ken Arok. Anusopati adalah anak Ken Dedes dengan Tunggul Ametung
yang seorang akuwu (setara camat) Tumapel.
Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan merebut kekuasaannya. Ken Arok kemudian
juga menikahi Ken Dedes dan membiarkan Anusopati tetap hidup bersama Ken Dedes
di istana. Setelah dewasa dan mengetahui bahwa ayah kandungnya yang sebenarnya adalah
Tunggul Ametung yang dibunuh oleh Ken Arok, maka kemudian Anusopati membalas
dan merebut kekuasaan dari Ken Arok.
[7] Terdapat satu
cerita yang ada di masyarakat dan diwariskan secara turun temurun yang
menggambarkan kesimpangsiuran lokasi makam Pembayun. Sebagaimana telah disebutkan
di atas, setelah peristiwa pembunuhan Wanabaya, Senopati kemudian menitipkan Pembayun
kepada Ki Ageng Karanglo. Apa yang maksud dengan “menitipkan” adalah perintah pembunuhan (namun
tidak jelas, entah
terhadap janin
yang dikandung Pembayun
atau sekaligus Pembayun
sendiri yang harus
dibunuh).
Oleh karena
Ki Ageng Karanglo tidak tega mengeksekusi, maka Ki
Ageng Karanglo kemudian mengirim Pembayun ke suatu daerah di Gunung Kidul untuk
disembunyikan. Akan tetapi, setelah beberapa saat, tentara Mataram mampu
melacak keberadaan Pembayun. Sebelum tentara Mataram datang, Pembayun dan
anaknya kemudian dilarikan ke Jawa Tengah (di daerah yang sekarang sekitar
Banyumas dan Kebumen). Jika cerita ini benar, maka nisan yang ada di kompleks
makam Ki Ageng Karanglo adalah kamuflase untuk mengecoh Senopati, seolah-olah
Pembayun telah dibunuh. Atau bisa saja Pembayun memang dimakamkan di kompleks
makam Ki Ageng Karanglo, dan orang yang dilarikan ke Gunung Kidul dan ke Jawa
Tengah adalah anak Pembayun saja, tanpa Pembayun. Lokasi kompleks makam Ki Ageng Karanglo terletak di sebelah timur Kotagede, berjarak sekitar satu kilometer dari Kotagede, Ibu Kota Mataram Islam.
No comments:
New comments are not allowed.