Wednesday, December 4, 2013

OPERASI INTELIJEN PEMBAYUN


Pada kisaran abad 16, Nusantara diramaikan dengan kemunculan negara-negara baru. Salah satunya adalah Mataram Islam di belahan selatan Jawa Tengah. Di akhir abad 16, Mataram memulai usaha untuk memperluas wilayahnya.

Namun, terdapat satu desa perdikan yang terletak sekitar 20 km barat daya Kotagede (atau Kutha Gede, ibu kota Mataram) yang tidak mau tunduk pada kekuasaan Mataram. Desa perdikan bernama Mangir tersebut telah lebih dahulu ada sebelum Ki Ageng Pamanahan beserta para pengikutnya membuka hutan Mentaok, cikal bakal Kotagede.[1] Perlawanan rakyat Mangir yang dipimpin oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya sulit ditaklukkan oleh Panembahan Senopati, raja Mataram, anak Pamanahan. Kampanye militer secara terbuka yang dikirim oleh Senopati selalu menemui kegagalan.

Senopati kemudian menyusun operasi intelijen untuk menghentikan perlawanan rakyat Mangir, sekaligus untuk mencaplok wilayah Mangir ke dalam kekuasaan Mataram. Putri Pembayun, putri pertama Senopati dengan permasuri, dikirim di bawah penyamaran sebagai ledek atau penari (ada yang mengatakan sebagai waranggana) bersama rombongan tandak ke daerah Mangir, berpura-pura mengamen. Misinya adalah memikat Wanabaya, dan dengan demikian maka Wanabaya akan mudah ditundukkan. Pembayun akhirnya berhasil memikat Wanabaya, karena Wanabaya tidak tahu siapa sebenarnya Pembayun.

Rahasia boleh terbongkar, asalkan telah terlambat, demikian ungkapan di dunia intelijen. Setelah Wanabaya dan Pembayun menikah, Pembayun menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya. Pembayun kemudian mengajak Wanabaya untuk bersama-sama menghadap ayah Pembayun yang sebenarnya, yakni Panembahan Senopati, di keraton Mataram, Kotagede.

Wanabaya bersama Pembayun menghadap Senopati ke keraton Mataram di Kotagede, dengan tujuan menghaturkan hormat. Pembayun sebagai putri Senopati dan Wanabaya sebagai menantu Senopati. Akan tetapi kemudian, di dalam istana raja, terjadilah pembunuhan terhadap Wanabaya. Senopati berhasil melenyapkan Wanabaya untuk selamanya, dan dengan demikian maka kemudian perlawanan rakyat Mangir dapat dipadamkan dan wilayah Mangir dapat kuasai Mataram.

Cara dan Senjata

Peristiwa penaklukkan Mangir mungkin merupakan operasi intelijen yang paling memilukan di dalam sejarah kekuasaan di Jawa. Agen utama operasi intelijen (atau umpan politik) tersebut tidak tanggung-tanggung: putri pertama raja hasil perkawinan dengan permaisuri. Pembayun masih berusia muda dan merupakan anggota keluarga inti raja.

Dipilihnya Pembayun sebagai agen utama operasi intelijen tersebut tentu bukan hal yang kebetulan. Justru oleh karena ia seorang gadis dan putri raja, maka Pembayun diajukan sebagai agen utama operasi penaklukkan Mangir. Jika posisi agen utama di dalam operasi tersebut diganti oleh gadis atau wanita lain selain putri raja, maka resiko kegagalan operasi tersebut menjadi besar. Senopati tentu tidak mau gagal.

Kenalilah secara dekat temanmu, tetapi kenalilah lebih dekat lagi musuhmu, kata pepatah. Pihak Mataram, dalam hal ini Senopati, tentu telah mempelajari profil desa Mangir dan Wanabaya, orang yang menjadi pemimpin rakyat desa Mangir. Segala hal yang bersangkutan dengan kepribadian pemimpin rakyat desa Mangir tersebut telah dipelajari secara seksama. Segala kelebihan dan kekurangan Wanabaya, kekuatan dan kelemahannya, telah dipelajari. Data-data tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pemilihan cara dan senjata yang tepat bagi Mataram.

Pembayun adalah senjatanya. Ia dikirim menyusup ke wilayah desa Mangir. Serangan ditujukan pada jantung perlawanan rakyat Mangir, yakni Wanabaya sebagai pemimpin Mangir. Jadilah Pembayun sebagai kekuatan Mataram untuk menyerang titik kelemahan Mangir (atau kekuatan Mangir, tergantung dari mana melihatnya). Kegadisan Pembayun dan posisinya sebagai putri pertama raja dengan permaisuri dijadikan sebagai senjata utama Mataram.

Mungkin kemudian muncul pertanyaan tentang mengapa pada akhirnya Senopati memutuskan untuk membunuh Wanabaya. Bukankah Wanabaya telah berhasil dirangkul menjadi bagian dari keraton Mataram, menjadi menantu Senopati, sehingga dimungkinkan adanya proses penggabungan wilayah Mangir ke dalam Mataram secara damai? Bukankah pernikahan Pembayun dan Wanabaya dapat diperlakukan sebagai pernikahan politik yang dengan pernikahan politik tersebut maka Mataram dapat menjadikan desa Mangir sebagai bawahan? Kenapa Wanabaya tidak dijadikan vassal Mataram saja?

Jika dilihat dari kegagalan-kegagalan tentara Mataram merebut wilayah desa Mangir yang hanya berjarak sekitar dua puluh kilometer dari ibu kota Mataram, maka dapat diasumsikan bahwa kekuatan desa Mangir waktu itu dapat menandingi kekuatan Mataram.[2] Selain itu, desa Mangir telah lebih dahulu ada dibandingkan negara Mataram yang baru saja didirikan. Sehingga, besar kemungkinan bahwa desa Mangir dan Wanabaya akan tetap memilih berdaulat sendiri secara politik, tidak mau menjadi bagian Mataram, meski Wanabaya telah menjadi menantu raja Mataram. Padahal, tujuan Senopati adalah mencaplok wilayah Mangir untuk dimasukkan ke dalam kekuasaan Mataram. Tidak ada kata lain selain membunuh Wanabaya, melenyapkan pemimpin dan simbol perlawanan rakyat Mangir agar rakyat Mangir mengalami demoralisasi.[3]

Negara Senopati

Apa yang dilakukan Senopati di dalam peristiwa operasi intelijen yang melibatkan Pembayun adalah di dalam konteks peluasan wilayah dan penegakkan kedaulatan negara Mataram. Mataram adalah negara berbasis feodal dengan sistem pemerintahan monarki absolut. Para bangsawan dan pemimpin lokal harus tunduk pada raja Mataram. Senopati menganggap pemimpin Mangir tidak lebih sebagai pemimpin lokal desa Mangir yang harus tunduk pada pemimpin Mataram. Mataram menganggap Mangir tidak lebih sebagai desa yang harus berada di bawah kekuasaan negara Mataram.

Bagi Senopati, Mataram adalah Senopati dan Senopati adalah Mataram. Kebesaran Mataram adalah kebesaran Senopati, dan kebesaran Senopati adalah kebesaran Mataram. Negara adalah saya, l’etat c’est moi, demikian kata Louis XIV. Sabda raja adalah hukum negara. Apa yang disabdakan oleh Senopati adalah kewajiban bagi rakyat Mataram, termasuk Pembayun. Pembayun hidup di jaman masyarakat feodal-patriarki di bawah sistem pemerintahan monarki absolut.

Kebersediaan Pembayun menjadi bagian utama operasi intelijen Mataram tentu didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang hanya Pembayun sendiri yang mengetahui secara pasti. Akan tetapi, setting sosiologi dan kebudayaan Mataram kala itu dapat digunakan untuk meraba kehidupan psikis Pembayun dan dorongan luar apa yang memperkuat kerelaan Pembayun menjalankan misi penaklukkan Mangir. Pertama, pengabdian kepada negara (Mataram). Kedua, bakti kepada orang tua, yakni Senopati yang juga sekaligus pemimpin tertinggi negara. Ketiga, tugas suci keagamaan. Di dalam masyarakat feodal terdapat pandangan bahwa raja adalah wakil tuhan di bumi (bahkan, di beberapa masyarakat, terdapat anggapan bahwa raja adalah titisan tuhan). Aspek keagamaan ini memberi legitimasi kesucian misi penaklukkan Mangir.[4] Di dalam posisi Pembayun, maka sabda Senopati berarti pula sebagai hukum negara, perintah orang tua, dan titah suci agama (tuhan). Ketiganya menjadi alasan-alasan utama pembenar yang menguatkan diri Pembayun untuk bersedia menjalankan operasi penaklukkan Mangir.

Tentu saja masih ada berbagai kemungkinan sebab lain yang tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai patriotik negara, budi pekerti anak pada orang tua, dan alasan keagamaan. Misalnya, paksaan dan ancaman. Bisa saja Pembayun dipaksa untuk terlibat di dalam misi penaklukkan Mangir. Pembayun mungkin juga takut terhadap ancaman hukuman dari ayahnya jika Pembayun menolak perintah ayahnya yang juga pemimpin negara.

Pada saat peristiwa pembunuhan Wanabaya terjadi, Pembayun sedang mengandung anak Wanabaya. Pembayun, bersama anaknya, kemudian hidup di luar istana. Ia dititipkan pada Ki Ageng Karanglo yang berada di luar tembok keraton.

Orang boleh saja berpendapat bahwa alasan dikeluarkannya Putri Pembayun dari istana raja, dan secara otomatis dari lingkungan keraton, dikarenakan Senopati menganggap hina pada Pembayun dan anak yang dikandungnya. Pembayun dianggap sebagai aib keraton Mataram. Orang juga tidak bisa dilarang berpendapat bahwa Pembayun sendiri yang berinisiatif keluar dari lingkungan keraton ayahnya. Namun, Senopati bukan orang bodoh dan ia tentu memikirkan segala kemungkinan. Apalagi, Senopati dikelilingi para penasehat politik, terutama Ki Juru Martani.[5] Bayi yang dikandung Pembayun, yang merupakan anak Wanabaya, dapat menjadi ancaman bagi Senopati dan dinastinya di masa yang akan datang.

Meskipun bayi yang dikandung Pembayun adalah cucu darah-daging Senopati, tetapi wajar saja jika Senopati memiliki kekhawatiran jika suatu saat nanti kekuasaan Mataram jatuh ke tangan orang yang tidak dikehendakinya, misalnya keturunan Wanabaya. Mungkin saja Senopati juga belajar dari pengalaman peristiwa suksesi terhadap Ken Arok.[6] Oleh karena itu, Senopati segera menyingkirkan keturunan darah Wanabaya keluar dari keraton Mataram.

Setelah meninggal dunia, Pembayun tidak dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga raja.[7] Sedangkan Wanabaya dimakamkan di kompleks makam raja, bahkan di cungkup keluarga inti raja, meski hanya setengah nisan yang berada di dalam cungkup, sedangkan setengahnya lagi berada di luar, dipisah oleh tembok cungkup. Posisi pemakaman Wanabaya ini dikatakan sebagai penyimbolan antara musuh dan sekaligus keluarga Senopati. Musuh negara sekaligus keluarga raja.

Penutup

Mao, di dalam On Protracted War, mengatakan, “politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah”. Gagal dengan pengerahan perang militer, Senopati menempuh taktik politik non-peperangan fisik untuk menaklukkan Mangir. Namun di akhir jalan taktik politik yang ditempuh Senopati, darah tetap saja ditumpahkan.

Pada peristiwa penaklukkan Mangir, Mataram mengambil jalan taktik politik yang dijabarkan di dalam operasi intelijen karena jalan kekerasan militer berulang kali gagal. Jalan politik yang ditempuh Senopati adalah jalan menggunakan segala cara, termasuk menggunakan putri sulungnya sebagai umpan politik. Operasi intelijen yang melibatkan Pembayun terbukti berhasil tanpa perlu mengerahkan kekuatan militer yang besar. Wilayah Mangir kemudian berhasil direbut Mataram.

Di akhir kisah penaklukkan Mangir, Pembayun harus kehilangan suami, yang juga ayah dari bayi yang dikandungnya, karena dibunuh oleh ayah Pembayun sendiri, sang raja Mataram. Operasi intelijen penaklukkan Mangir telah mengambil kehidupan pribadi Pembayun dan juga mengambil suaminya. Hanya bayi di dalam kandungannya yang masih tersisa. Nalar sehat orang jaman sekarang akan mengatakan bahwa  Pembayun telah mengorbankan lebih dari cukup kebahagiaan kehidupan pribadinya, demi ayah dan negara. Tentang etika politik yang dipraktekkan Senopati, silahkan Anda menilai sendiri.


Alas Mentaok, akhir November 2013


[1] Pamanahan mendapatkan tanah Mataram sebagai hadiah yang diberikan oleh sultan Pajang atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang di Jipang. Arya Penangsang dikisahkan dibunuh oleh anak Pamanahan, yakni Danang Sutowijoyo, yang kelak menjadi raja pertama Mataram Islam dengan nama Panembahan Senopati.
[2] Pramoedya berpendapat bahwa kekuatan Mataram saat itu belum jauh melebihi kekuatan Mangir karena Mataram merupakan negara yang baru saja didirikan, sedang muncul, dan mulai melebarkan kekuasaannya. Pramoedya Ananta Toer. 2000. Drama Mangir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[3] Perlawanan rakyat model patron biasanya selalu dapat dipatahkan jika tokoh kunci perlawanan berhasil ditundukkan.
[4] Berdasar keterangan seorang duta VOC (Rijklof van Goens) yang berkunjung ke Mataram di pertengahan abad 17, kalangan keraton menceritakan kepada van Goens bahwa sekitar tahun 1576 seorang penguasa lokal yang telah ada di bumi Mataram menolak memeluk Islam. Senopati kemudian menaklukkan penguasa dan daerah tersebut, membunuh penguasa beserta keluarganya, dan memaksakan agama Islam kepada penduduk yang telah ada. Lihat Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. (terj. Dharmono Hardjowidjono). Hlm. 61. Di dalam cerita populer yang ada di masyarakat, tidak ada kisah konflik penaklukkan yang dilakukan Senopati terhadap masyarakat setempat yang telah ada di bumi Mataram kecuali peristiwa konflik Mangir. Oleh karena itu, kemungkinan besar kisah yang diceritakan oleh kalangan keraton Mataram kepada van Goens adalah peristiwa Mangir, meskipun penyebutan secara definitif tahun 1576 akan menemui persoalan jika dikaitkan dengan tahun mulai bertahtanya Senopati sebagai raja Mataram.
[5] Pramoedya menyebut Juru Martani sebagai Machiavellis sebelum Niccolo Machiavelli dikenal oleh dunia. Lihat Pramoedya Ananta Toer, op. cit., hlm. XXIV
[6] Ken Arok dibunuh oleh Anusopati. Setelah berhasil membunuh Ken Arok, Anusopati kemudian naik tahta menggantikan Ken Arok. Anusopati adalah anak Ken Dedes dengan Tunggul Ametung yang seorang akuwu (setara camat) Tumapel. Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan merebut kekuasaannya. Ken Arok kemudian juga menikahi Ken Dedes dan membiarkan Anusopati tetap hidup bersama Ken Dedes di istana. Setelah dewasa dan mengetahui bahwa ayah kandungnya yang sebenarnya adalah Tunggul Ametung yang dibunuh oleh Ken Arok, maka kemudian Anusopati membalas dan merebut kekuasaan dari Ken Arok.
[7] Terdapat satu cerita yang ada di masyarakat dan diwariskan secara turun temurun yang menggambarkan kesimpangsiuran lokasi makam Pembayun. Sebagaimana telah disebutkan di atas, setelah peristiwa pembunuhan Wanabaya, Senopati kemudian menitipkan Pembayun kepada Ki Ageng Karanglo. Apa yang maksud dengan “menitipkan” adalah perintah pembunuhan (namun tidak jelas, entah terhadap janin yang dikandung Pembayun atau sekaligus Pembayun sendiri yang harus dibunuh). Oleh karena Ki Ageng Karanglo tidak tega mengeksekusi, maka Ki Ageng Karanglo kemudian mengirim Pembayun ke suatu daerah di Gunung Kidul untuk disembunyikan. Akan tetapi, setelah beberapa saat, tentara Mataram mampu melacak keberadaan Pembayun. Sebelum tentara Mataram datang, Pembayun dan anaknya kemudian dilarikan ke Jawa Tengah (di daerah yang sekarang sekitar Banyumas dan Kebumen). Jika cerita ini benar, maka nisan yang ada di kompleks makam Ki Ageng Karanglo adalah kamuflase untuk mengecoh Senopati, seolah-olah Pembayun telah dibunuh. Atau bisa saja Pembayun memang dimakamkan di kompleks makam Ki Ageng Karanglo, dan orang yang dilarikan ke Gunung Kidul dan ke Jawa Tengah adalah anak Pembayun saja, tanpa Pembayun. Lokasi kompleks makam Ki Ageng Karanglo terletak di sebelah timur Kotagede, berjarak sekitar satu kilometer dari Kotagede, Ibu Kota Mataram Islam.

No comments: