Pada 11 September
2014, Aburizal Bakrie, yang merupakan pimpinan Koalisi Merah Putih, menyatakan
KMP sedang memperjuangkan perubahan sistem Pilkada, dari Pilkada yang dilakukan
secara langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh parlemen daerah. Aburizal
Bakrie menggunakan argumen sila ke-4 Pancasila, yakni “Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Sila tersebut,
menurutnya, menghendaki musyawarah melalui sistem perwakilan. Oleh karena itu,
pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh wakil rakyat di tingkat daerah
masing-masing, bukan dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Aburizal
Bakrie mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan
cerminan dari demokrasi liberal dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.[1]
Pada Musyawarah Nasional
partai Golkar (kubu Aburizal Bakrie) di Bali 30 November - 3 Desember 2014,
partai Golkar mengeluarkan rekomendasi untuk fraksi Golkar di parlemen agar
memperjuangkan perubahan Pilkada dari sistem langsung oleh rakyat menjadi pemilihan
oleh parlemen. Sebelumnya,
pada 2 Desember 2014, Aburizal
Bakrie menginstruksikan
fraksi Partai Golkar untuk
menolak Perppu Pilkada Langsung yang dikeluarkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yuhoyono.[2]
Namun pada Selasa 9 Desember 2014, Aburizal Bakrie melalui akun twitter @aburizalbakrie
menyatakan dukungan pada Perppu Pilkada Langsung. Aburizal Bakrie beralasan bahwa
setelah melihat keinginan masyarakat luas untuk tetap melaksanakan Pilkada
Langsung, kesepakatan awal bulan Oktober antara parta-partai KMP dan Demokrat,
serta pembicaraan dengan partai-partai dalam KMP, maka Partai Golkar akan
mendukung Perppu usul pemerintahan SBY tentang Pilkada Langsung.
Pernyataan
Aburizal Bakrie terkait dukungan terhadap Perppu Pilkada, secara substansi,
bertentangan dengan keputusan Munas Golkar di Bali dan pernyataan Aburizal
Bakrie sendiri tentang keinginan untuk mengubah mekanisme Pilkada. Pikiran manusia
memang bisa berubah. Akan tetapi, tidak sulit untuk diketahui bahwa
pernyataan-pernyataan Aburizal Bakrie yang berubah-ubah secara substansi
terkait pemilihan kepala daerah tersebut bukan semata persoalan perubahan
pikiran secara biasa. Ada agenda dan permainan politik yang sedang dijalankan
oleh Aburizal Bakrie dan Golkar. Terlebih, beberapa hari sebelum Munas Golkar
di Bali memutuskan untuk mendukung Pilkada melalui parlemen, media massa memberitakan
beredarnya rekaman suara dan atau transkrip pernyataan Nurdin Halid, pendukung
Aburizal Bakrie di Golkar, yang berisi strategi pemenangan Golkar untuk merebut
posisi kepala daerah melalui Pilkada tidak langsung.[3]
Pernyataan
Aburizal Bakrie tentang demokrasi liberal patut dilihat secara kritis. Aburizal
Bakrie merupakan pendiri dan donatur utama Freedom Institute, sebagaimana
dinyatakan di website Freedom
Institute.[4]
Freedom Institute merupakan lembaga yang mengkampanyekan demokrasi dan
kebebasan, dan menyatakan diri sebagai “Centre
for Democracy, Nationalism, and Market Economy Studies”. Beberapa tokoh
Freedom Institute pernah aktif di Partai Golkar atau Partai Demokrat, seperti
Andi Mallarangeng, Rizal Mallarangeng, dan Ulil Abshar Abdalla. Salah satu aktivitas
Freedom Institute adalah penerbitan buku-buku yang bertema ide-ide liberalisme
politik dan liberalisme ekonomi pasar, baik terjemahan dari bahasa asing maupun
ditulis para intelektual Indonesia. Misal terjemahan buku-buku Ludwig von
Mises, Freidrich A. Hayek, dan Frederic Bastiat.
Selain itu, Freedom Institute mengadakan aktivitas-aktivitas di dalam berbagai
bentuk di dalam rangka pengkajian paham liberalisme
politik dan liberalisme ekonomi. Aktivitas-aktivitas tersebut didanai, secara
utama, oleh Aburizal Bakrie.
Aburizal Bakrie
adalah seorang pengusahan besar, bukan hanya pengusaha klas menengah. Group
usaha yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie, melalui Bakrie & Brothers,
bergerak di berbagai bidang, misalnya agribisnis,
pertambangan, telekomunikasi, dan media massa. Usaha-usaha group Bakrie & Brothers tidak hanya berada di Indonesia, namun juga
di luar negeri, misal
di Liberia melalui Lemington Investment Pte Ltd yang dimiliki oleh PT Bumi
Resources Mineral Tbk, anak usaha Bakrie, dan di Mauritania melalui Bumi
Mauritania SA.[5] Kapital yang dimiliki group Bakrie tidak
hanya beroperasi di Indonesia, namun juga berpenetrasi ke luar negeri. Group Bakrie
telah mampu mengekspor kapital ke luar negeri, tidak hanya mengekspor barang
dan jasa.
Ekspor kapital ke
luar negeri yang dilakukan oleh group Bakrie, selain karena profit yang
menjanjikan, adalah karena dimungkinkan dan difasilitasi oleh sistem ekonomi
internasional yang berupa globalisasi investasi dan perdagangan bebas. Dengan
kata lain, group Bakrie adalah salah satu aktor di dalam berlangsungnya globalisasi
ekonomi pasar bebas. Aktivitas globalisasi ekonomi yang berupa investasi bebas
dan perdangan bebas secara internasional didorong dan dikembangkan oleh
Kapitalisme. Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang berlandas pada paham
filosofis liberalisme ekonomi, yang pada akhir abad 20 muncul kembali dengan
nama Neoliberalisme.
Berdasar dua fakta
di atas, yakni bahwa Bakrie merupakan pendiri dan donatur Freedom Institute,
serta latar belakang Aburizal Bakrie sebagai klas pemilik kapital besar yang
kapitalnya bahkan telah diekspor ke luar negeri, maka muncul pertanyaan:
mengapa Aburizal Bakrie mengeluarkan pernyataan penolakan pada demokrasi
liberal dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat?
Jika memang
pernyataan Aburizal Bakrie tentang kehendak untuk pemilihan kepala daerah
melalui parlemen merupakan strategi untuk merebut posisi kepala daerah, maka
hal ini paralel dengan pernyataan Nurdin Halid. Golkar merupakan partai pemilik
kursi parlemen terbesar di kubu KMP, sehingga memiliki posisi sangat penting di
KMP. Pilkada melalui
parlemen adalah tiket bagi
Golkar untuk menguasai daerah dengan menggunakan KMP.
Pernyataan susulan
Aburizal Bakrie tanggal 9 Desember 2014 tentang dukungan pada Perppu yang
dikeluarkan SBY merupakan reaksi terhadap sikap dan langkah-langkah SBY
beberapa waktu setelah
Munas Golkar di Bali menetapkan rekomendasi dukungan pada Pilkada tidak
langsung. SBY menyatakan kekecewaannya pada Golkar melalui akun twitter @SBYudhoyono terkait rekomendasi
tersebut dan kemudian
mengadakan pertemuan dengan Jokowi dan Jusuf Kalla tanggal 8 Desember 2014 yang
menyinggung soal dukungan mereka pada Pilkada langsung. Pernyataan Aburizal
Bakrie tanggal 9 Desember 2014 tentang dukungannya pada Perppu merupakan upaya
moderasi ketegangan antara Golkar dan SBY atau Demokrat. Secara implisit, Aburizal
Bakrie masih menyatakan kehendak untuk mewujudkan Pilkada tidak langsung, meski
pernyataan tersebut ditamengi dalih
mengemban amanat Munas Golkar di Bali.
Terlepas dari Golkar,
Aburizal Bakrie sebagai bagian klas pemilik kapital besar yang berskala
internasional memiliki kesadaran atau cara berpikir yang serupa dengan para
konglomerat besar lainnya. Apa yang mereka kehendaki adalah aktivitas usaha
atau ekonomi berjalan lancar tanpa gangguan, baik gangguan dari pemerintah
maupun gangguan rakyat banyak. Di dalam konteks ini, para pemilik kapital besar
lebih condong untuk memilih sistem pemerintahan yang mampu menjaga stabilitas
politik dan menjamin hak kepemilikan pribadi atas usaha-usaha dan aset-aset mereka.
Seiring dengan
fase perkembangan kapital besar, yakni terjadinya proses konsentrasi kapital,
maka juga terjadi proses konsentrasi kekuasaan
politik. Demokrasi, yang pada prinsipnya merupakan distribusi publik atas
kekuasaan politik, akan mengalami pertentangan terhadap proses konsentrasi
kekuasaan politik yang menyertai proses konsentrasi kapital. Oleh karena itu,
para pemilik kapital besar tidak begitu suka pada demokrasi. Demokrasi, yakni
partisipasi aktif seluruh rakyat di dalam politik, dianggap berpotensi
menimbulkan ancaman bagi hak individu untuk kepemilikan pribadi dan menggangu
berjalannya ekonomi pasar. Demokrasi dianggap hanya menimbulkan kegaduhan.
Akan tetapi jika
demokrasi merupakan suatu keharusan untuk diterapkan, karena dituntut oleh
mayoritas rakyat, maka para pemilik kapital besar berusaha memastikan penerapan
model demokrasi yang aman bagi kepentingan dan posisi klas mereka. Di dalam
masyarakat yang berbasis produksi kapitalisme, parlemen didominasi oleh
borjuasi (klas pemilik kapital). Sehingga, keputusan yang dibuat oleh parlemen tersebut
didominasi kepentingan klas borjuasi. Sedapat mungkin, rakyat dipisahkan, atau setidaknya
dijauhkan, dari peran langsung yang aktif dan strategis
di dalam pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan
pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Rakyat cukup diwakilkan oleh anggota
parlemen, yakni parlemen yang telah didominasi oleh klas borjuasi.
Siapa yang paling diuntungkan
dengan sistem Pilkada tidak langsung? Penyelenggaraan Pilkada tidak langsung
akan menguntungkan klas yang menguasai parlemen. Jika parlemen dikuasai oleh
klas borjuasi, maka keuntungan pertama akan jatuh ke tangan klas borjuasi
secara umum. Tidak peduli borjuasi dari kubu KMP, kubu KIH, ataupun di luar
kedua kubu tersebut.
Pemilihan umum
legislatif 2014 menempatkan partai-partai politik anggota KMP relatif mendominasi
parlemen, pusat maupun daerah, mengalahkan jumlah legislator partai-partai kubu
Koalisi Indonesia Hebat (pendukung Jokowi-Jusuf Kalla). Jika kubu KMP masih ada
bertahan dan masih menguasai parlemen, dan jika Pilkada dilakukan secara tidak
langsung, yakni melalui mekanisme parlemen, maka kubu KMP akan lebih mendapat
keuntungan dibandingkan kubu KIH. Partai Demokrat yang menyatakan diri sebagai pihak "penyeimbang", yakni tidak bergabung ke kubu KMP maupun KIH, akan menjadi perhatian tersendiri bagi kubu KMP maupun KIH.
Selanjutnya, jika Golkar masih merupakan kekuatan paling besar di dalam kubu KMP, maka Golkar akan mendapat keutungan lebih besar dibanding partai-partai lain di kubu KMP. Aburizal Bakrie, di posisi ketua umum Golkar dan klas pemilik kapital besar, akan mendapat keuntungan ganda. Sisa keuntungan Pilkada tidak langsung lainnya akan dibagi di antara partai-partai di kubu KMP. Sulit dipungkiri, setelah kekalahan di Pilpres 2014, kubu KMP berupaya untuk menguasai eksekutif di tingkat daerah melalui perubahan mekanisme Pilkada, meskipun wacana perubahan tersebut dibungkus dengan berbagai alasan sifat buruk Pilkada Langsung dan bertentangan dengan Pancasila.
Selanjutnya, jika Golkar masih merupakan kekuatan paling besar di dalam kubu KMP, maka Golkar akan mendapat keutungan lebih besar dibanding partai-partai lain di kubu KMP. Aburizal Bakrie, di posisi ketua umum Golkar dan klas pemilik kapital besar, akan mendapat keuntungan ganda. Sisa keuntungan Pilkada tidak langsung lainnya akan dibagi di antara partai-partai di kubu KMP. Sulit dipungkiri, setelah kekalahan di Pilpres 2014, kubu KMP berupaya untuk menguasai eksekutif di tingkat daerah melalui perubahan mekanisme Pilkada, meskipun wacana perubahan tersebut dibungkus dengan berbagai alasan sifat buruk Pilkada Langsung dan bertentangan dengan Pancasila.
Kamis 11 Desember
2014, para pimpinan partai-partai kubu KMP bertemu dengan SBY di Cikeas,
kediaman SBY. Seusai pertemuan tersebut, SBY menyatakan kepastian kubu KMP
mendukung Perppu Pilkada yang dikeluarkan pemerintahan SBY.[6] Hampir dapat dipastikan, Pilkada akan
tetap dilakukan secara langsung dipilih oleh rakyat. Aburizal Bakrie, dan beberapa
petinggi partai-partai KMP yang pada awalnya hendak memperjuangkan Pilkada tidak langsung, tentu berpikir ulang untuk meneruskan niatnya setelah melihat besarnya penolakan
masyarakat terhadap rencana dikembalikannya Pilkada tidak langsung dan aksi
gertakan SBY yang menemui Jokowi dan Jusuf Kalla tanggal 8 Desember 2014.
Untuk Pak
Ical, sebagaimana kata Anda, jika Pilkada Langsung merupakan cerminan demokrasi
liberal, dan, juga sebagaimana kata Anda, masyarakat luas menginginkan Pilkada
Langsung, maka apakah dapat disimpulkan bahwa masyarakat luas Indonesia telah
menjadi liberal? Mungkin Freedom Institute yang Anda danai tidak sia-sia.***
Referensi:
No comments:
Post a Comment