Friday, December 12, 2014

ABURIZAL DAN PILKADA LIBERAL

Pada 11 September 2014, Aburizal Bakrie, yang merupakan pimpinan Koalisi Merah Putih, menyatakan KMP sedang memperjuangkan perubahan sistem Pilkada, dari Pilkada yang dilakukan secara langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh parlemen daerah. Aburizal Bakrie menggunakan argumen sila ke-4 Pancasila, yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Sila tersebut, menurutnya, menghendaki musyawarah melalui sistem perwakilan. Oleh karena itu, pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh wakil rakyat di tingkat daerah masing-masing, bukan dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Aburizal Bakrie mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan cerminan dari demokrasi liberal dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.[1]


Pada Musyawarah Nasional partai Golkar (kubu Aburizal Bakrie) di Bali 30 November - 3 Desember 2014, partai Golkar mengeluarkan rekomendasi untuk fraksi Golkar di parlemen agar memperjuangkan perubahan Pilkada dari sistem langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh parlemen. Sebelumnya, pada 2 Desember 2014, Aburizal Bakrie menginstruksikan fraksi Partai Golkar untuk menolak Perppu Pilkada Langsung yang dikeluarkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yuhoyono.[2] Namun pada Selasa 9 Desember 2014, Aburizal Bakrie melalui akun twitter @aburizalbakrie menyatakan dukungan pada Perppu Pilkada Langsung. Aburizal Bakrie beralasan bahwa setelah melihat keinginan masyarakat luas untuk tetap melaksanakan Pilkada Langsung, kesepakatan awal bulan Oktober antara parta-partai KMP dan Demokrat, serta pembicaraan dengan partai-partai dalam KMP, maka Partai Golkar akan mendukung Perppu usul pemerintahan SBY tentang Pilkada Langsung.

Pernyataan Aburizal Bakrie terkait dukungan terhadap Perppu Pilkada, secara substansi, bertentangan dengan keputusan Munas Golkar di Bali dan pernyataan Aburizal Bakrie sendiri tentang keinginan untuk mengubah mekanisme Pilkada. Pikiran manusia memang bisa berubah. Akan tetapi, tidak sulit untuk diketahui bahwa pernyataan-pernyataan Aburizal Bakrie yang berubah-ubah secara substansi terkait pemilihan kepala daerah tersebut bukan semata persoalan perubahan pikiran secara biasa. Ada agenda dan permainan politik yang sedang dijalankan oleh Aburizal Bakrie dan Golkar. Terlebih, beberapa hari sebelum Munas Golkar di Bali memutuskan untuk mendukung Pilkada melalui parlemen, media massa memberitakan beredarnya rekaman suara dan atau transkrip pernyataan Nurdin Halid, pendukung Aburizal Bakrie di Golkar, yang berisi strategi pemenangan Golkar untuk merebut posisi kepala daerah melalui Pilkada tidak langsung.[3]

Pernyataan Aburizal Bakrie tentang demokrasi liberal patut dilihat secara kritis. Aburizal Bakrie merupakan pendiri dan donatur utama Freedom Institute, sebagaimana dinyatakan di website Freedom Institute.[4] Freedom Institute merupakan lembaga yang mengkampanyekan demokrasi dan kebebasan, dan menyatakan diri sebagai “Centre for Democracy, Nationalism, and Market Economy Studies”. Beberapa tokoh Freedom Institute pernah aktif di Partai Golkar atau Partai Demokrat, seperti Andi Mallarangeng, Rizal Mallarangeng, dan Ulil Abshar Abdalla. Salah satu aktivitas Freedom Institute adalah penerbitan buku-buku yang bertema ide-ide liberalisme politik dan liberalisme ekonomi pasar, baik terjemahan dari bahasa asing maupun ditulis para intelektual Indonesia. Misal terjemahan buku-buku Ludwig von Mises, Freidrich A. Hayek, dan Frederic Bastiat. Selain itu, Freedom Institute mengadakan aktivitas-aktivitas di dalam berbagai bentuk di dalam rangka pengkajian paham liberalisme politik dan liberalisme ekonomi. Aktivitas-aktivitas tersebut didanai, secara utama, oleh Aburizal Bakrie.

Aburizal Bakrie adalah seorang pengusahan besar, bukan hanya pengusaha klas menengah. Group usaha yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie, melalui Bakrie & Brothers, bergerak di berbagai bidang, misalnya agribisnis, pertambangan, telekomunikasi, dan media massa. Usaha-usaha group Bakrie & Brothers tidak hanya berada di Indonesia, namun juga di luar negeri, misal di Liberia melalui Lemington Investment Pte Ltd yang dimiliki oleh PT Bumi Resources Mineral Tbk, anak usaha Bakrie, dan di Mauritania melalui Bumi Mauritania SA.[5] Kapital yang dimiliki group Bakrie tidak hanya beroperasi di Indonesia, namun juga berpenetrasi ke luar negeri. Group Bakrie telah mampu mengekspor kapital ke luar negeri, tidak hanya mengekspor barang dan jasa.

Ekspor kapital ke luar negeri yang dilakukan oleh group Bakrie, selain karena profit yang menjanjikan, adalah karena dimungkinkan dan difasilitasi oleh sistem ekonomi internasional yang berupa globalisasi investasi dan perdagangan bebas. Dengan kata lain, group Bakrie adalah salah satu aktor di dalam berlangsungnya globalisasi ekonomi pasar bebas. Aktivitas globalisasi ekonomi yang berupa investasi bebas dan perdangan bebas secara internasional didorong dan dikembangkan oleh Kapitalisme. Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang berlandas pada paham filosofis liberalisme ekonomi, yang pada akhir abad 20 muncul kembali dengan nama Neoliberalisme.

Berdasar dua fakta di atas, yakni bahwa Bakrie merupakan pendiri dan donatur Freedom Institute, serta latar belakang Aburizal Bakrie sebagai klas pemilik kapital besar yang kapitalnya bahkan telah diekspor ke luar negeri, maka muncul pertanyaan: mengapa Aburizal Bakrie mengeluarkan pernyataan penolakan pada demokrasi liberal dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat?

Jika memang pernyataan Aburizal Bakrie tentang kehendak untuk pemilihan kepala daerah melalui parlemen merupakan strategi untuk merebut posisi kepala daerah, maka hal ini paralel dengan pernyataan Nurdin Halid. Golkar merupakan partai pemilik kursi parlemen terbesar di kubu KMP, sehingga memiliki posisi sangat penting di KMP. Pilkada melalui parlemen adalah tiket bagi Golkar untuk menguasai daerah dengan menggunakan KMP.

Pernyataan susulan Aburizal Bakrie tanggal 9 Desember 2014 tentang dukungan pada Perppu yang dikeluarkan SBY merupakan reaksi terhadap sikap dan langkah-langkah SBY beberapa waktu setelah Munas Golkar di Bali menetapkan rekomendasi dukungan pada Pilkada tidak langsung. SBY menyatakan kekecewaannya pada Golkar melalui akun twitter @SBYudhoyono terkait rekomendasi tersebut dan kemudian mengadakan pertemuan dengan Jokowi dan Jusuf Kalla tanggal 8 Desember 2014 yang menyinggung soal dukungan mereka pada Pilkada langsung. Pernyataan Aburizal Bakrie tanggal 9 Desember 2014 tentang dukungannya pada Perppu merupakan upaya moderasi ketegangan antara Golkar dan SBY atau Demokrat. Secara implisit, Aburizal Bakrie masih menyatakan kehendak untuk mewujudkan Pilkada tidak langsung, meski pernyataan tersebut ditamengi dalih  mengemban amanat Munas Golkar di Bali.

Terlepas dari Golkar, Aburizal Bakrie sebagai bagian klas pemilik kapital besar yang berskala internasional memiliki kesadaran atau cara berpikir yang serupa dengan para konglomerat besar lainnya. Apa yang mereka kehendaki adalah aktivitas usaha atau ekonomi berjalan lancar tanpa gangguan, baik gangguan dari pemerintah maupun gangguan rakyat banyak. Di dalam konteks ini, para pemilik kapital besar lebih condong untuk memilih sistem pemerintahan yang mampu menjaga stabilitas politik dan menjamin hak kepemilikan pribadi atas usaha-usaha dan aset-aset mereka.

Seiring dengan fase perkembangan kapital besar, yakni terjadinya proses konsentrasi kapital, maka juga terjadi proses konsentrasi kekuasaan politik. Demokrasi, yang pada prinsipnya merupakan distribusi publik atas kekuasaan politik, akan mengalami pertentangan terhadap proses konsentrasi kekuasaan politik yang menyertai proses konsentrasi kapital. Oleh karena itu, para pemilik kapital besar tidak begitu suka pada demokrasi. Demokrasi, yakni partisipasi aktif seluruh rakyat di dalam politik, dianggap berpotensi menimbulkan ancaman bagi hak individu untuk kepemilikan pribadi dan menggangu berjalannya ekonomi pasar. Demokrasi dianggap hanya menimbulkan kegaduhan.

Akan tetapi jika demokrasi merupakan suatu keharusan untuk diterapkan, karena dituntut oleh mayoritas rakyat, maka para pemilik kapital besar berusaha memastikan penerapan model demokrasi yang aman bagi kepentingan dan posisi klas mereka. Di dalam masyarakat yang berbasis produksi kapitalisme, parlemen didominasi oleh borjuasi (klas pemilik kapital). Sehingga, keputusan yang dibuat oleh parlemen tersebut didominasi kepentingan klas borjuasi. Sedapat mungkin, rakyat dipisahkan, atau setidaknya dijauhkan, dari peran langsung yang aktif dan strategis di dalam pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Rakyat cukup diwakilkan oleh anggota parlemen, yakni parlemen yang telah didominasi oleh klas borjuasi.

Siapa yang paling diuntungkan dengan sistem Pilkada tidak langsung? Penyelenggaraan Pilkada tidak langsung akan menguntungkan klas yang menguasai parlemen. Jika parlemen dikuasai oleh klas borjuasi, maka keuntungan pertama akan jatuh ke tangan klas borjuasi secara umum. Tidak peduli borjuasi dari kubu KMP, kubu KIH, ataupun di luar kedua kubu tersebut.

Pemilihan umum legislatif 2014 menempatkan partai-partai politik anggota KMP relatif mendominasi parlemen, pusat maupun daerah, mengalahkan jumlah legislator partai-partai kubu Koalisi Indonesia Hebat (pendukung Jokowi-Jusuf Kalla). Jika kubu KMP masih ada bertahan dan masih menguasai parlemen, dan jika Pilkada dilakukan secara tidak langsung, yakni melalui mekanisme parlemen, maka kubu KMP akan lebih mendapat keuntungan  dibandingkan kubu KIH. Partai Demokrat yang menyatakan diri sebagai pihak "penyeimbang", yakni tidak bergabung ke kubu KMP maupun KIH, akan menjadi perhatian tersendiri bagi kubu KMP maupun KIH.

Selanjutnya, jika Golkar masih merupakan kekuatan paling besar di dalam kubu KMP, maka Golkar akan mendapat keutungan lebih besar dibanding partai-partai lain di kubu KMP. Aburizal Bakrie, di posisi ketua umum Golkar dan klas pemilik kapital besar, akan mendapat keuntungan ganda. Sisa keuntungan Pilkada tidak langsung lainnya akan dibagi di antara partai-partai di kubu KMP. Sulit dipungkiri, setelah kekalahan di Pilpres 2014, kubu KMP berupaya untuk menguasai eksekutif di tingkat daerah melalui perubahan mekanisme Pilkada, meskipun wacana perubahan tersebut dibungkus dengan berbagai alasan sifat buruk Pilkada Langsung dan bertentangan dengan Pancasila.

Kamis 11 Desember 2014, para pimpinan partai-partai kubu KMP bertemu dengan SBY di Cikeas, kediaman SBY. Seusai pertemuan tersebut, SBY menyatakan kepastian kubu KMP mendukung Perppu Pilkada yang dikeluarkan pemerintahan SBY.[6] Hampir dapat dipastikan, Pilkada akan tetap dilakukan secara langsung dipilih oleh rakyat. Aburizal Bakrie, dan beberapa petinggi partai-partai KMP yang pada awalnya hendak memperjuangkan Pilkada tidak langsung, tentu berpikir ulang untuk meneruskan niatnya setelah melihat besarnya penolakan masyarakat terhadap rencana dikembalikannya Pilkada tidak langsung dan aksi gertakan SBY yang menemui Jokowi dan Jusuf Kalla tanggal 8 Desember 2014.

Untuk Pak Ical, sebagaimana kata Anda, jika Pilkada Langsung merupakan cerminan demokrasi liberal, dan, juga sebagaimana kata Anda, masyarakat luas menginginkan Pilkada Langsung, maka apakah dapat disimpulkan bahwa masyarakat luas Indonesia telah menjadi liberal? Mungkin Freedom Institute yang Anda danai tidak sia-sia.***

No comments:

Post a Comment