Kamis 5 November 2015 lalu, Kementrian Dalam Negeri Chile mengeluarkan pernyataan
pengakuan adanya kemungkinan bahwa Pablo Neruda mati dibunuh. Pengakuan ini
membenarkan dokumen Kementrian tersebut yang beredar bulan Maret 2015. Meski
belum dapat disimpulkan, namun berbagai pihak
merasa yakin bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah rezim Pinochet.[1]
Neruda merupakan penyair
Chile pendukung presiden Salvador Allende. Allende terpilih secara demokratis
menjadi presiden Chile tahun 1970. Namun, pada 11 September 1973,
Jendral Augusto Pinochet meluncurkan kudeta militer dan menggulingkan Allende. Beberapa
hari kemudian, 23 September 1973, Neruda meninggal dunia,
dikabarkan akibat penyakit kanker. Akan tetapi, beberapa pihak meragukan
anggapan kanker tersebut dan menduga bahwa Neruda dibunuh oleh pemerintah
Pinochet.
Kudeta yang dilakukan oleh
Jendral Pinochet itu sendiri menggunakan nama kode “Operación Yakarta” (Operasi Jakarta)
dan didukung penuh oleh Amerika Serikat melalui CIA. Penggunaan istilah “Operación Yakarta” (Operasi Jakarta) diinspirasi
oleh
peristiwa keberhasilah Soeharto, dengan
dukungan CIA, menggulingkan Soekarno dan
menghancurkan kekuatan kiri di Indonesia di tahun 1965.
Pada saat ini, pemerintah
Chile setidaknya menunjukkan kemauan dan keberanian untuk membuka kemungkinan
baru terkait fakta sejarah. Pemerintah Chile telah mengakui bahwa ada kemungkinan
pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kematian Neruda.
Sementara di Jakarta, hingga
saat ini, pemerintah Indonesia belum mau mengakui secara resmi adanya
pembunuhan masal terhadap lebih dari 500.000 manusia yang terjadi sepanjang
1965-1966 yang dilakukan oleh aparat-aparat negara di bawah Soeharto, terutama
dengan menggunakan warga sipil sebagai alat pelaksananya. Bahwa tanggal 10-13
November
2015 ini akan digelar International People’s Tribunal 1965 di
Den Haag, Belanda, untuk mengungkap fakta-fakta peristiwa 1965, hal ini adalah
soal lain.
Pemerintahan Jokowi tidak
sedikit ditopang oleh kekuatan sosial, politik, dan militer yang menjadi pendukung, minimal pendukung
pasif, operasi pembersihan kelompok kiri paska 1965.
Lebih utama lagi, Presiden Jokowi ditopang oleh
kekuatan kapital yang ber-oposisi secara ideologis terhadap kelompok yang dikalahkan paska peristiwa 1965. Apakah Jokowi
akan mengorbankan dukungan-dukungan tersebut
dengan cara meminta maaf atas peristiwa 1965-1966?
Seusai menjadi inspektur
upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya (1/10), Jokowi menyatakan tidak ada pikiran untuk meminta maaf pada para korban
dan keluarga korban peristiwa pembunuhan, penyiksaan, pemenjaraan, kekerasan
sexual, dan diskriminasi yang terjadi pada tahun 1965-1966 dan setelahnya.[2] Presiden Jokowi hanya berkomentar mengharapkan peristiwa
G 30 S PKI tidak terjadi lagi.[3]
Berdasar keadaan tersebut, maka prestasi
yang dapat dianggap luar biasa, bila dilakukan, adalah jika pemerintahan Jokowi
mengakui secara resmi bahwa peristiwa pembunuhan massal di tahun 1965-1966
merupakan fakta sejarah. Pengakuan resmi tersebut hingga saat ini belum pernah
dilakukan pemerintah Indonesia. Peristiwa tersebut tidak ditulis di dalam
buku-buku sejarah resmi dari Sekolah Dasar hingga SMA, bahkan perguruan tinggi.
Peristiwa pembunuhan massal 1965-1966 dibiarkan tertinggal menjadi misteri yang
tabu untuk dibicarakan. Peristiwa tersebut juga ditempatkan di tingkat rumor dan
desas-desus yang bisa saja kemudian dianggap tidak ada secara faktawi.
Pemerintahan Jokowi tidak
perlu menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar jika Jokowi memang tidak
bisa atau tidak mau menentukannya. Pemerintah cukup mencatat secara resmi bahwa
pembunuhan massal 1965-1966 memang terjadi, merupakan fakta. Sebagaimana peristiwa
Perang Salib (Crusade) di Abad Pertengahan antara Islam dan Kristen yang memang benar-benar terjadi dan dicatat di dalam buku-buku sejarah. Soal apakah pihak Islam
atau Kristen yang benar atau salah di dalam perang tersebut adalah persoalan
lain. Hingga saat, di dalam buku ajar SD hingga SMA tidak disebutkan adanya peristiwa
pembunuhan massal 1965-1966.
Pengakuan terhadap kenyataan adalah syarat pertama untuk dapat menyelesaikan sebuah
persoalan. Termasuk mengakui kenyataan
adanya keterlibatan CIA di dalam “Operasi Penumpasan G30S/PKI”, sebagaimana keterlibatan CIA di
dalam “Operación Yakarta” Jendral Pinochet.
Upaya pengungkapan kenyataan seputar Neruda dan peristiwa 1965-1966 bukan soal dendam. Ini
soal fakta sejarah. Tanpa fakta, maka tidak akan ada pengetahuan sejarah. Tanpa fakta, yang ada adalah mitos, dongeng belaka. Tanpa pengetahuan
sejarah,
peradaban tidak akan berkembang lebih jauh.***
Indonesia, 8 November 2015
Referensi:
No comments:
Post a Comment