Bertrand
Russell. Seorang filosof Inggris sekaligus aktifis anti-perang yang diberhentikan
dari posisi pengajar di Universitas Cambridge karena sikap anti wajib militer. Peraih
Nobel sastra, perokok-berat-berumur-panjang (97 tahun), dan pernah menikah
empat kali. Bersama Whitehead, Russell menulis buku “Principia Mathematica” (tiga jilid, 1910-1913), tentang usaha
mereduksi keseluruhan matematika pada logika. Quine menyatakan buku tersebut
sebagai salah satu monumen intelektual yang agung di sepanjang masa.
Salah
satu warisan penting pemikiran Russell adalah penemuannya tentang suatu
kontradiksi di bidang logika dan matematika, kemudian ditulis di buku The Principles of Mathematics, terbit
tahun 1903. Temuan Russell diawali oleh adanya keinginan di antara para ahli
matematika dan logika untuk mendasarkan matematika – seluruhnya – pada satu
perangkat aturan. Setiap pernyataan matematis diharuskan diasalkan dari aturan
tersebut. Gottlob Frege mencoba menggabungkan proposisi kalkulus miliknya
dengan teori himpunan Georg Cantor. Frege merasa optimis akan sampai pada suatu
dasar yang kukuh bagi matematika. Namun Russell menemukan bahwa usaha Frege
mengarah pada kontradiksi, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Paradoks Russell”.
Sebuah
paradoks memuat suatu ide dan negasi atas ide tersebut, sehingga bersifat
kontradiktif, namun ada kemungkinan memiliki kebenaran. Dengan mengijinkan
pemformulasian kontradiksi di dalam suatu sistem, paradoks menantang hukum-hukum
logika tradisional, yakni: identitas, non-kontradiksi, dan excluded middle.
Perlu
diketahui, himpunan (disebut juga dengan istilah lain: kelas) bisa memuat
dirinya sendiri, seperti suatu himpunan yang memiliki anggota seluruh
himpunan-himpunan. Di dalam Paradoks Russell, R adalah himpunan yang memuat semua
himpunan-himpunan yang bukan merupakan anggota dari diri mereka sendiri. Dengan
demikian, apakah R memuat dirinya sendiri? Definisi yang ditetapkan untuk R
mengharuskan ia memuat dirinya sendiri. Jika demikian, maka R berkontradiksi
dengan definisi yang dimilikinya, yakni sebagai suatu himpunan dari semua
himpunan-himpunan yang tidak memuat diri mereka sendiri.
Jika
R memuat dirinya sendiri, maka R bukan anggota R (yakni bukan himpunan yang
memuat dirinya sendiri). Jika R bukan anggota R (bukan himpunan yang memuat
dirinya sendiri), maka R anggota R. Dengan demikian, R memuat dirinya sendiri
jika dan hanya jika R tidak memuat dirinya sendiri.
R:{x|x
∉
x}
Lantas,
apakah R merupakan anggota R?
R
ϵ R → R ∉
R
R
∉
R → R ϵ R
R
ϵ R ↔ R ∉
R merupakan sebuah kontradiksi.
Himpunan
R memuat dirinya adalah bernilai benar. Di sisi lain, himpunan R tidak memuat
dirinya adalah juga bernilai benar. Dua hal yang bertentangan sama-sama
memiliki nilai benar pada saat yang sama. Ini absurd.
Paradoks
Russell berbentuk suatu pernyataan referensi-diri (self-reference) yang kontradiktif. Pernyataan referensi-diri
merupakan pernyataan yang berbicara tentang dirinya sendiri. Pernyataan yang
berupa referensi-diri mungkin lebih mudah dipahami pada pernyataan afirmatif
dan memiliki nilai benar. Misal, pernyataan berikut: “Kalimat ini benar”. Kalimat
tersebut menyatakan tentang dirinya sendiri, dan menyatakan tentang keadaan benar
atas dirinya sendiri. Sedangkan di dalam Paradoks Russell, pernyataan bersifat
kontradiktif. Pernyataan di dalam Paradoks Russell tidak berupa afirmatif, melainkan konjungsi antara
afirmatif dan negatif.
Paradoks
itu sendiri tidak mesti terjadi pada pernyataan yang bersifat self-referential. Misal, pada dua
kalimat:
1.
Kalimat nomor dua [adalah] benar.
2.
Kalimat nomor satu [adalah] salah.
Selain
itu, suatu pernyataan referensi-diri tidak selalu mengalami paradoks. Misal
pernyataan: “Kalimat ini terdiri dari enam kata.” Kalimat tersebut memang
terdiri dari enam kata.
Paradoks
Russell merupakan salah satu di antara beberapa kontradiksi yang ada di bidang
matematika. Paradoks Russell memperlihatkan adanya kontradiksi pada teori
himpunan. Kontradiksi merupakan inkonsistensi, dan hal ini berarti adanya
ketidakpastian. Paradoks Russell memberikan contoh bahwa matematika sendiri bisa
jadi mengandung ketidakpastian. Mungkin.
Sekarang,
mari kita ambil contoh yang mungkin sudah agak familiar bagi para sarjana
theologi, soal Tuhan monotheis dan paradoks maha-kuasa (Omnipotence Paradox). Tuhan adalah keberadaan yang bersifat kekal.
Tuhan selalu ada, tidak berawal dan tidak berakhir. Selain itu, Tuhan adalah
maha kuasa. Tuhan memiliki kekuasaan tanpa batas untuk melakukan segala
sesuatu.
Selanjutnya,
terdapat pertanyaan apakah Tuhan mampu meniadakan diri-Nya sendiri? Jika Tuhan
bisa meniadakan diri-Nya sendiri, maka kekuasaan Tuhan tidak terbatas dan terbatas
sekaligus. Tuhan berkuasa meniadakan diri-Nya sendiri, yang kemudian akan berdampak
sifat kefanaan (tidak kekal) pada diri Tuhan. Tuhan bisa berakhir dan menjadi
tidak ada.
Demikian
pula sebaliknya, jika Tuhan tidak mampu meniadakan diri-Nya sendiri, maka
kekuasaan Tuhan terbatas, yakni tidak memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk meniadakan
diri-Nya sendiri, dan hal ini bertentangan dengan proposisi “Tuhan adalah maha
kuasa”.
Dengan
demikian, apakah Tuhan berkuasa atas segala-galanya? Jika Tuhan berkuasa atas
segala-galanya, maka Tuhan juga berkuasa atas diri-Nya sendiri. Jika Tuhan
berkuasa atas diri-Nya sendiri, maka kekuasaan Tuhan dibatasi oleh
kekuasaan-Nya sendiri, yang berarti membatasi [membatalkan] kekuasaan
segala-galanya.