Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sedang
terbelit kasus korupsi. Bukan kelas ringan, karena ia seorang pemimpin lembaga
tinggi negara, sebagai bagian kekuasaan politik. Seolah menyusul
pembesar-pembesar lainnya di negeri ini, seperti ketua Mahkamah Konstitusi dan
beberapa ketua umum partai politik yang juga terjerat kasus korupsi beberapa
waktu lalu. Bahkan, mantan presiden RI kedua, Soeharto, disebut dalam Tap MPR
XI/MPR/1998 soal pengusutan kasus korupsi.
Korupsi itu sendiri dianggap sebagai kejahatan luar biasa
sehingga diperlukan lembaga khusus – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – untuk
menanganinya.
Berbagai peristiwa kejahatan terjadi di sekitar kita. Kapan
saja dan di mana saja. Bahkan termasuk di tempat ibadah, yang disebut sebagai
tempat suci. “Rumah Tuhan” pun tidak steril dari kejahatan. Seperti pencurian
alas kaki atau sepeda motor milik jemaat yang sedang berdoa di dalam rumah
ibadah.
Kejahatan juga dilakukan oleh manusia dari berbagai tingkat
umur, berbagai ras dan etnik, berbagai keyakinan spiritual (termasuk agama),
serta tak mengenal jenis kelamin. Kejahatan dilakukan secara individual maupun
berkelompok. Bahkan juga terdapat kejahatan yang dilakukan “secara sah,” yakni
melalui legitimasi sebuah kekuasaan formal masyarakat (negara).
Setiap masyarakat manusia memiliki definisi tentang
kejahatan beserta aturan-aturan terkait sesuatu yang telah didefinisikan
sebagai kejahatan tersebut. Aturan keagamaan, aturan moral maupun atural legal.
Ganjaran dan hukuman disematkan di sana.
Setiap masyarakat di setiap jaman juga memiliki
masing-masing rasionalisasi penjelasan, mitos-mitos simbolik, untuk menerangkan
persoalan kejahatan. Termasuk penjelasan tentang sebab-sebab, sumber-sumber dan
latar belakang terjadinya kejahatan. Penjelasan-penjelasan tentang kejahatan
tersebut, sesederhana apapun itu, merupakan bagian dari ikhtiar manusia di
dalam menghadapi persoalan di dalam kehidupan.
Masyarakat Yunani Kuno memiliki cerita khaos dan kosmos yang
menjelaskan tentang kebaikan dan kejahatan di alam semesta. Epos India Kuno
menjabarkan pertarungan kebaikan dan kejahatan ke dalam cerita Mahabarata dan
Ramayana. Di dalam keyakinan agama-agama Ibrahim, kejahatan manusia dilakukan
pertama kali oleh Adam dan Hawa ketika memakan buah terlarang di taman Eden
(atau taman firdaus). Demikian pula masyarakat-masyarakat jaman kuno lainnya,
memiliki kisah masing-masing.
Sebagian masyarakat jaman kuno juga ada yang mengkaitkan
kejahatan dengan angka nol. Angka nol identik dengan kekosongan dan ketiadaan,
yang berarti pula kekacauan. Mereka percaya bahwa sebelum alam diciptakan, yang
ada hanyalah kekosongan dan kekacauan. Orang Babilonia menganggap angka nol
yang dibiarkan sendirian akan selalu berbuat jahat (Seife, 2008).
Berdasar pengalaman dan pemahaman manusia secara
terun-temurun terhadap kegelapan, maka kemudian kegelapan diidentikkan dengan
kejahatan. Banyak pengalaman manusia generasi-generasi terdahulu lebih sering
menemui bahaya di malam hari, terutama ketika mereka belum menemukan teknik
pembuat cahaya. Mereka mengalami hal-hal yang menimbulkan ketakutan di malam
hari daripada di siang hari.
Pada kenyataannya, kejahatan bisa terjadi kapan saja, malam
maupun siang. Apalagi jika kejahatan tersebut telah melibatkan sistem dan
teknologi modern yang mutakhir. Misalnya kejahatan perbankan, kejahatan melalui
internet, dan lain sebagainya. Modus dan teknik kejahatan bisa berubah dan
berkembang sepanjang zaman. Pelaku kejahatan juga dapat bersifat individu
maupun kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat pelaku kejahatan ini pun dapat
dibedakan menjadi formal dan non formal.
Terdapat anggapan bahwa kejahatan kadang-kadang hanya
dirasakan seseorang secara subyektif, karena apa yang dianggap kejahatan
tersebut belum tentu dianggap kejahatan pula oleh orang lain. Hal yang absolut
dan hal yang relatif hadir di sini. Di dalam keadaan normal, pembunuhan
dianggap sebagai perbuatan jahat. Namun menjadi relatif sifatnya jika
pembunuhan terjadi di medan perang, atau pada suatu eksekusi hukuman mati yang
dilakukan oleh aparat negara berdasar undang-undang negara bersangkutan, di
sebuah negara yang melegalkan hukuman mati.
Sementara, kejahatan yang terkait dengan kekuasaan politik
(negara), bersifat lebih rumit karena melibatkan pejabat-pejabat dan
lembaga-lembaga negara. Beberapa kejahatan dilakukan dengan cara memanfaatkan
celah-celah hukum yang ada. Kejahatan juga ada yang dilakukan dengan cara
membungkus suatu tindakan kejahatan dengan hukum atau dilekatkan sebagai bagian
dari hukum itu sendiri. Selain itu, terdapat juga kemungkinan kejahatan yang
terjadi dikarenakan bertautan dengan jabatan.
Bahkan, suatu kejahatan kemanusiaan yang luar biasa dapat
dianggap bukan sebagai tindakan kejahatan dikarenakan kekuasaan politik
(negara) tidak mengkategorikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Seperti
praktek perbudakan manusia di era perbudakan jaman dahulu, yang tidak dianggap
sebagai tindakan kejahatan.
Praktek perbudakan manusia di jaman dahulu berkaitan dengan
sistem masyarakat yang sedang berlaku. Sistem perekonomian membagi masyarakat
tersebut secara struktural, menjadi klas-klas sosial, terutama budak dan
pemilik budak. Kejahatan struktural bersifat sistemik dan kompleks, melibatkan
kekuasaan politik. Selain itu, kejahatan struktural secara dialektik saling
membentuk dengan kejahatan yang sifatnya hegemoni kultural, yang merupakan
kekerasan dan penindasan psikis.
Paul Ricouer menyebutkan bahwa manusia bisa salah (falibility) merupakan prasyarat
terjadinya kejahatan. Kemudian, manusia menyimbolkan kejahatan ke dalam noda,
dosa, dan kebersalahan, sebagai simbolisasi primer pengalaman kejahataan
manusia. Sedangkan simbolisasi sekunder berupa mitos-mitos tentang kejahatan.
Menurut Ricouer, mitos-mitos tentang kejahatan berfungsi: pertama, menyediakan
universalitas konkret pengalaman manusia tentang kejahatan. Kedua, cerita awal
mula dan kesudahan kejahatan akan membawa orientasi dan ketegangan dramatis
hidup manusia yang merupakan sejarah kebinasaan dan keselamatan. Dan ketiga,
mitos kejahatan menjelaskan peralihan keadaan tak berdosa ke keadaan noda,
dosa, dan kebersalahan (Bertens, 1996: 262-271).
No comments:
Post a Comment