Saturday, June 2, 2018

NOAH DAN BUMI MANUSIA: KITAB SUCI DAN KITAB FIKSI

Pada tahun 2014, sebuah film Hollywood berjudul “Noah” diluncurkan dengan dibintangi, di antaranya, oleh Russell Crowe dan Emma Watson. Film yang disutradarai oleh Darren Aronofsky ini diadopsi dari kitab suci, tentang kisah nabi Nuh (Noah). Aronofsky sendiri, diberitakan Washington Post, mengaku bukan seorang relijius.[1] Sedangkan The Washington Times menulis Aronofsky menyebut diri sebagai seorang atheis.[2]

Kritik dan pujian terhadap film Noah segera menyembur. Di antara kritik tersebut misalnya soal bias kulit putih di dalam film tersebut. Selain itu, sosok Nuh di film tersebut dianggap lebih digambarkan sebagai seorang enviromentalis dibanding sebagai seorang nabi. Sementara itu, di antara pujian yang keluar adalah bahwa film tersebut dapat membangkitkan kembali diskusi tentang kitab suci (agama). 

Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia melarang pemutaran film Noah di Indonesia. Larangan serupa juga dilakukan oleh pemerintah di beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya, seperti Qatar, Bahrain, Kuwait, dll. Film tersebut dianggap tidak sesuai dengan ajaran di dalam Islam.

Bagi agama-agama Ibrahim, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, kisah nabi Nuh yang tertulis di dalam kitab suci diterima sebagai fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, pembacaan dan pemaknaan teks-teks kitab suci tidak bisa lain selain tunduk pada tirani narasi yang dipegang oleh pihak yang dianggap otoritatif oleh komunitas agama, yakni para pemuka agama.

Jika dibandingkan antara penggambaran Aronofsky atas sosok Nuh sebagai enviromentalis, bias kulit putih, dan soal perbedaan pemahaman dengan kalangan pengkritik film Noah, termasuk negara-negara Islam, maka film Noah terlihat melepaskan diri dari pemaknaan “resmi” yang dimiliki oleh kalangan yang dianggap otoritatif (pemuka agama) terhadap teks-teks yang berkisah tentang Nuh. Dengan telah menterjemahkan kisah nabi Nuh secara agak berbeda ke dalam film Noah, maka Aronofsky bisa kena tuduhan tidak memahami misi dan spirit teks kitab suci, atau malah mengabaikan interpretasi “resmi”. Aronofsky melakukan interpretasi secara lebih bebas ketimbang mencari interpretasi yang dianggap lebih otoritatif pada komunitas agama.
 
Kekhawatiran terhadap “penyimpangan” interpretasi teks juga tengah terjadi dalam kaitannya dengan novel Bumi Manusia. Novel berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer akan diadaptasi ke dalam film oleh Falcon Pictures dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Iqbaal Ramadhan, aktor muda yang beberapa waktu lalu melejit namanya setelah membintangi film Dilan 1990, akan menjadi pemeran utama. 

Mengingat film ini bersifat komersial, maka apa yang diterima oleh pasar dan apa yang ditolak oleh pasar tentu dijadikan bahan pertimbangan utama dalam pembuatan film ini. Novel Bumi Manusia itu sendiri pernah dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung melalui SK-052/JA/5/1981 yang dikeluarkan tahun 1981.

Beberapa kalangan meragukan kemampuan Hanung Bramantyo dalam memahami dan menerjemahkan novel karya Pramoedya tersebut ke dalam bentuk film. Iqbaal Ramadhan juga diragukan akan bisa menjiwai karakter Minke, tokoh utama novel Bumi Manusia, yang juga diangkat dari sosok nyata Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional awal 1900an. 
 
Hanung Bramantyo sendiri menyatakan bahwa novel Bumi Manusia adalah novel yang sangat remaja namun punya konteks zaman yang langgeng, dan seharusnya dinikmati remaja milenial. Selain itu, Hanung Bramantyo mengaku membuat film ini untuk merayakan spirit Pramoedya.[3]

Pernyataan Hanung seolah mengesankan diri bahwa ia akan tunduk pada gagasan dan spirit dari penulis teks Bumi Manusia. Namun, apakah interpretasi Hanung terhadap gagasan (termasuk misi) pada novel tersebut dapat dideteksi secara tepat terkait apa yang dimaksud oleh Pram, sehingga juga sekaligus memahami spirit Pram? Sementara itu, pada pembacaan Aronofsky terhadap teks-teks kitab suci yang kemudian dialihkan ke dalam bentuk film Noah, terkesan ditempuhnya jalan doktrin Rolland Barthes tentang “kematian sang pengarang”. 

Melalui esai berjudul “The Death of the Author” (La mort de l’auteur), Rolland Barthes berpandangan bahwa suatu usaha interpretasi atas sebuah teks harus dilepaskan dari intensi-intensi maupun konteks biografis atau aspek-aspek identitas sang penulis teks tersebut. Sebuah tulisan tidak lagi berhubungan dengan penulisnya. Pemisahan ini perlu dilakukan dalam rangka membebaskan teks dari tirani interpretif. Makna atas suatu karya tulis bergantung pada kesan-kesan pembaca, bukan hasrat atau selera dari sang penulis. Barthes menekankan pada diskontinuitas dan pluralitas.

Pandangan Barthes ini bukannya tanpa masalah. Terkait selera estetis, mungkin lebih mudah dipahami sifat subjektifitas setiap individu, meski dimungkinkan juga bisa digerakkan dan dibentuk oleh kultur, dan dalam batas-batas tertentu dapat diseragamkan, misal oleh budaya-massa. Meski demikian, tetap saja pengalaman estetis selalu bersifat personal dan tidak identik antar individu. Namun, bagaimana dengan gagasan (visi, misi, dll) suatu teks? Jika pembaca diperbolehkan membentuk gagasan mereka sendiri, maka sejauh mana pembaca dapat menciptakan gagasan tersebut? Pembaca memang memiliki latar belakang biografis dan sosial-nya sendiri. Akan tetapi, suatu teks juga muncul dari latar belakang biografis dan sosial tertentu, bukan muncul tanpa konteks. Melepaskan teks dari penulisnya bisa jadi akan menghasilkan pembacaan yang ahistoris. Namun, Barthes memang menekankan diskontinuitas, yang berarti pula ahistoris.

Di dalam kasus Aronofsky, kitab suci sebagai sumber adaptasi film Noah akan selalu diupayakan dijaga otentisitas-nya (teks maupun interpretasi) oleh kalangan yang dianggap dan menganggap diri otoritatif (agamawan). Interpretasi lain bisa dianggap penyimpangan, bahkan sesat. Meski demikian, di dalam perjalanan sejarah, kitab suci itu sendiri berulang kali mengalami pembacaan ulang, terutama melalui metode hermeneutika (kadang disebut exegesis). Namun pada akhirnya ditekankan bahwa penyimpangan (interpretasi lain) atas gagasan “resmi” diklaim sebagai terlarang.

Tentu saja, terdapat perbedaan perlakuan antara novel Bumi Manusia sebagai karya sastra, dengan teks-teks kisah nabi Nuh yang dianggap oleh komunitas agama sebagai wahyu Tuhan. Kecuali jika kitab suci juga diperlakukan serupa teks sastra, bukan ucapan Tuhan. 

Lantas bagaimana dengan novel Bumi Manusia? Kita lihat saja apa yang akan dilakukan oleh Hanung Bramantyo. 
 
Ralph Waldo Emerson menyatakan: agama di suatu jaman merupakan hiburan kesusasteraan di jaman selanjutnya. Pembalikan atas ungkapan ini akan berbunyi: hiburan kesusasteraan di suatu jaman merupakan agama di jaman selanjutnya. Jika demikian, maka dampaknya kemudian adalah makna bersifat cair: kitab suci bisa menjadi kitab fiksi, dan kitab fiksi bisa menjadi kitab suci. Apakah seperti itu?


Catatan:

No comments:

Post a Comment