Pada tahun 2014, sebuah film Hollywood berjudul “Noah”
diluncurkan dengan dibintangi, di antaranya, oleh Russell Crowe dan Emma Watson.
Film yang disutradarai oleh Darren Aronofsky ini diadopsi dari kitab suci, tentang
kisah nabi Nuh (Noah). Aronofsky sendiri, diberitakan Washington Post, mengaku
bukan seorang relijius.[1]
Sedangkan The Washington Times menulis Aronofsky menyebut diri sebagai seorang
atheis.[2]
Kritik dan pujian terhadap film Noah segera menyembur. Di
antara kritik tersebut misalnya soal bias kulit putih di dalam film tersebut. Selain
itu, sosok Nuh di film tersebut dianggap lebih digambarkan sebagai seorang
enviromentalis dibanding sebagai seorang nabi. Sementara itu, di antara pujian
yang keluar adalah bahwa film tersebut dapat membangkitkan kembali diskusi
tentang kitab suci (agama).
Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia melarang pemutaran film
Noah di Indonesia. Larangan serupa juga dilakukan oleh pemerintah di beberapa
negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya, seperti Qatar, Bahrain, Kuwait, dll.
Film tersebut dianggap tidak sesuai dengan ajaran di dalam Islam.
Bagi agama-agama Ibrahim, seperti Yahudi, Kristen, dan
Islam, kisah nabi Nuh yang tertulis di dalam kitab suci diterima sebagai fakta
sejarah yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, pembacaan dan pemaknaan teks-teks
kitab suci tidak bisa lain selain tunduk pada tirani narasi yang dipegang oleh
pihak yang dianggap otoritatif oleh komunitas agama, yakni para pemuka agama.
Jika dibandingkan antara penggambaran Aronofsky atas sosok Nuh
sebagai enviromentalis, bias kulit putih, dan soal perbedaan pemahaman dengan
kalangan pengkritik film Noah, termasuk negara-negara Islam, maka film Noah
terlihat melepaskan diri dari pemaknaan “resmi” yang dimiliki oleh kalangan
yang dianggap otoritatif (pemuka agama) terhadap teks-teks yang berkisah
tentang Nuh. Dengan telah menterjemahkan kisah nabi Nuh secara agak berbeda ke
dalam film Noah, maka Aronofsky bisa kena tuduhan tidak memahami misi dan
spirit teks kitab suci, atau malah mengabaikan interpretasi “resmi”. Aronofsky melakukan
interpretasi secara lebih bebas ketimbang mencari interpretasi yang dianggap
lebih otoritatif pada komunitas agama.
Kekhawatiran terhadap “penyimpangan” interpretasi teks juga
tengah terjadi dalam kaitannya dengan novel Bumi Manusia. Novel berjudul Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer akan diadaptasi ke dalam film oleh Falcon
Pictures dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Iqbaal Ramadhan, aktor muda
yang beberapa waktu lalu melejit namanya setelah membintangi film Dilan 1990,
akan menjadi pemeran utama.
Mengingat film ini bersifat komersial, maka apa yang
diterima oleh pasar dan apa yang ditolak oleh pasar tentu dijadikan bahan
pertimbangan utama dalam pembuatan film ini. Novel Bumi Manusia itu sendiri pernah
dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung melalui SK-052/JA/5/1981 yang
dikeluarkan tahun 1981.
Beberapa kalangan meragukan kemampuan Hanung Bramantyo dalam
memahami dan menerjemahkan novel karya Pramoedya tersebut ke dalam bentuk film.
Iqbaal Ramadhan juga diragukan akan bisa menjiwai karakter Minke, tokoh utama
novel Bumi Manusia, yang juga diangkat dari sosok nyata Tirto Adhi Soerjo, seorang
tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional awal 1900an.
Hanung Bramantyo sendiri menyatakan bahwa novel Bumi Manusia
adalah novel yang sangat remaja namun punya konteks zaman yang langgeng, dan
seharusnya dinikmati remaja milenial. Selain itu, Hanung Bramantyo mengaku
membuat film ini untuk merayakan spirit Pramoedya.[3]
Pernyataan Hanung seolah mengesankan diri bahwa ia akan
tunduk pada gagasan dan spirit dari penulis teks Bumi Manusia. Namun, apakah
interpretasi Hanung terhadap gagasan (termasuk misi) pada novel tersebut dapat
dideteksi secara tepat terkait apa yang dimaksud oleh Pram, sehingga juga
sekaligus memahami spirit Pram? Sementara itu, pada pembacaan Aronofsky
terhadap teks-teks kitab suci yang kemudian dialihkan ke dalam bentuk film Noah,
terkesan ditempuhnya jalan doktrin Rolland Barthes tentang “kematian sang pengarang”.
Melalui esai berjudul “The Death of the Author” (La mort de
l’auteur), Rolland Barthes berpandangan bahwa suatu usaha interpretasi atas
sebuah teks harus dilepaskan dari intensi-intensi maupun konteks biografis atau
aspek-aspek identitas sang penulis teks tersebut. Sebuah tulisan tidak lagi
berhubungan dengan penulisnya. Pemisahan ini perlu dilakukan dalam rangka
membebaskan teks dari tirani interpretif. Makna atas suatu karya tulis
bergantung pada kesan-kesan pembaca, bukan hasrat atau selera dari sang
penulis. Barthes menekankan pada diskontinuitas dan pluralitas.
Pandangan Barthes ini bukannya tanpa masalah. Terkait selera
estetis, mungkin lebih mudah dipahami sifat subjektifitas setiap individu,
meski dimungkinkan juga bisa digerakkan dan dibentuk oleh kultur, dan dalam
batas-batas tertentu dapat diseragamkan, misal oleh budaya-massa. Meski
demikian, tetap saja pengalaman estetis selalu bersifat personal dan tidak
identik antar individu. Namun, bagaimana dengan gagasan (visi, misi, dll) suatu
teks? Jika pembaca diperbolehkan membentuk gagasan mereka sendiri, maka sejauh
mana pembaca dapat menciptakan gagasan tersebut? Pembaca memang memiliki latar
belakang biografis dan sosial-nya sendiri. Akan tetapi, suatu teks juga muncul
dari latar belakang biografis dan sosial tertentu, bukan muncul tanpa konteks.
Melepaskan teks dari penulisnya bisa jadi akan menghasilkan pembacaan yang
ahistoris. Namun, Barthes memang menekankan diskontinuitas, yang berarti pula
ahistoris.
Di dalam kasus Aronofsky, kitab suci sebagai sumber adaptasi
film Noah akan selalu diupayakan dijaga otentisitas-nya (teks maupun
interpretasi) oleh kalangan yang dianggap dan menganggap diri otoritatif
(agamawan). Interpretasi lain bisa dianggap penyimpangan, bahkan sesat. Meski
demikian, di dalam perjalanan sejarah, kitab suci itu sendiri berulang kali
mengalami pembacaan ulang, terutama melalui metode hermeneutika (kadang disebut
exegesis). Namun pada akhirnya ditekankan bahwa penyimpangan (interpretasi
lain) atas gagasan “resmi” diklaim sebagai terlarang.
Tentu saja, terdapat perbedaan perlakuan antara novel Bumi
Manusia sebagai karya sastra, dengan teks-teks kisah nabi Nuh yang dianggap
oleh komunitas agama sebagai wahyu Tuhan. Kecuali jika kitab suci juga
diperlakukan serupa teks sastra, bukan ucapan Tuhan.
Lantas bagaimana dengan novel Bumi Manusia? Kita lihat saja
apa yang akan dilakukan oleh Hanung Bramantyo.
Ralph Waldo Emerson menyatakan: agama di suatu
jaman merupakan hiburan kesusasteraan di jaman selanjutnya. Pembalikan atas
ungkapan ini akan berbunyi: hiburan kesusasteraan di suatu jaman merupakan agama
di jaman selanjutnya. Jika demikian, maka dampaknya kemudian adalah makna bersifat
cair: kitab suci bisa menjadi kitab fiksi, dan kitab fiksi bisa menjadi kitab
suci. Apakah seperti itu?
Catatan:
No comments:
Post a Comment