Thursday, April 29, 2021

KEPENTINGAN UNTUK MEMANCING DAN TIDAK DIPANCING


 

Beberapa tetangga atau teman yang hobi memancing ikan kadang memberi hasil tangkapan mereka padaku. Seperti ikan-ikan di foto ini, hasil memancing di sebuah area bekas sawah yang tergenang air. Ketika sampai di tanganku, sebagian besar ikan-ikan ini sudah dalam keadaan mati. Bukan mati karena disembelih, tetapi kekurangan oksigen akibat tidak dimasukkan ke dalam air.

Memancing ikan berarti menangkap ikan dengan menggunakan kail (pancing) yang berupa logam berujung lancip yang berfungsi menusuk mulut ikan, kadang tenggorokan, mata, sirip, atau perut ikan. Setelah kail logam tersebut menusuk bagian tubuh ikan, kemudian pemancing menarik-narik tali senar yang terhubung dengan kail. Ikan akan memberi perlawanan, dengan meronta-ronta atau menarik balik, dan hal ini kadang malah dianggap bagian mengasyikan oleh para pemancing. Ditarik dan diulur.

Setelah ikan berhasil diangkat ke daratan, kemudian kadang disimpan di tempat yang ada airnya, namun kadang di tempat yang tidak ada airnya. Di tempat yang tidak ada airnya inilah ikan-ikan hasil pancingan akan mati secara perlahan-lahan, karena insang tidak berfungsi di daratan. Di daratan, ikan tidak bisa bernafas (kecuali beberapa jenis ikan). Pasokan oksigen terhenti. Tercekik secara perlahan. Hal serupa juga terjadi pada ikan-ikan lebih besar hasil pancingan di laut.

Sekarang bayangkan jika apa yang dialami oleh ikan-ikan ini terjadi pada hewan-hewan darat, semisal sapi, kambing, ayam atau bebek. Katakanlah sapi. Seekor sapi ditusuk mulutnya dengan menggunakan kail besar dari logam yang terhubung dengan tali tampar. Kemudian, kail logam yang telah menusuk mulut atau tenggorakan sapi tersebut ditarik-tarik dengan menggunakan tali tampar. Sapi akan melakukan perlawanan, meronta-ronta, mengakibatkan mulut atau tenggorokannya semakin robek, dan darah keluar ke mana-mana. Kadang ditarik, kadang diulur, persis seperti memancing ikan. Setelah sapi lemas dan perlawanan mereda, sapi kemudian ditarik dan dimasukkan ke dalam air, ditenggelamkan. Paru-paru sapi tidak berfungsi di dalam air, sehingga sapi akan mati. Paru-parunya terisi air dan kekurangan oksigen.

Hal serupa juga bisa dibayangkan jika dilakukan pada ayam. Ayam dipancing mulut atau tenggorokannya, ditarik-tarik, meronta-ronta sambil berdarah-darah, kemudian berakhir dengan dimasukkan ke dalam air. Tidak bisa bernafas karena tenggelam dan kemudian mati kekurangan oksigen.

Mungkin banyak orang akan merasa ngeri jika menyaksikan proses matinya sapi dan ayam – atau hewan-hewan darat lainnya – dengan cara dipancing tersebut. Banyak orang akan protes. Namun, hal tersebut tidak, atau kurang, terjadi pada ikan. Banyak orang tidak risau dengan proses matinya ikan-ikan hasil pancingan. Menganggapnya biasa saja.

Banyak ajaran moral, termasuk dari agama-agama, yang memerintahkan agar tidak menyakiti hewan. Pada agama-agama, pandangan tentang perlakuan terhadap hewan ini lebih banyak bersifat mistis-supranatural. Hewan yang dimatikan untuk tujuan konsumsi maupun ritual keagamaan pun dianjurkan untuk dimatikan dengan cara yang dianggap kurang menyakitkan. Misal, leher disembelih dengan cepat dan mematikan, sebagaimana prosedur “shechita” dalam tradisi Yahudi, ataupuan Islam. Sedangkan tradisi Buddha, mungkin juga Hindu, sudah lama menghilangkan ritus pengorbanan hewan.

Namun, ada kalangan yang berpikiran lebih jauh lagi. Mereka mengusung ide tentang hak hewan/binatang (animal rights). Di dalam diskursus filsafat, hak hewan ini dibicarakan di bidang filsafat moral, semisal dalam kajian “etika hewan”, dengan para pemikir yang terlibat di antaranya adalah Peter Singer, Tom Regan, juga Martha Nussbaum.

Perlu diketahui bahwa frase “hak hewan” memiliki perdebatan yang tidak sesederhana sebagaimana tampaknya. Perdebatan tentang hak hewan ini bisa memiliki kelindan dengan perdebatan soal status janin manusia. Termasuk status embrio manusia. Sel telur manusia yang telah dibuahi sperma namun belum merupakan fetus.

Salah satu tema yang diperjuangkan oleh para penganjur hak hewan adalah soal perlakuan manusia terhadap hewan. Termasuk dalam persoalan hewan-hewan yang digunakan sebagai percobaan di laboraturium dalam rangka riset saintifik. Para pendukung hak hewan menganggap bahwa hewan adalah juga memiliki hak yang harus dihormati.

Di banyak negara Eropa, terutama anggota Uni Eropa, terdapat aturan untuk memingsankan terlebih dahulu hewan-hewan yang hendak disembelih di rumah penyembelihan hewan, dengan beberapa pengecualian. Tujuannya untuk meminimalkan rasa sakit dan penderitaan pada hewan yang disembelih.

Pembunuhan hewan dengan cara disembelih masih dianggap menyakitkan bagi hewan. Untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan, maka sebelum disembelih, hewan harus dipingsankan terlebih dahulu agar tidak merasa sakit ketika disembelih. Beberapa kalangan Yahudi dan Islam sempat memprotes aturan tersebut, menganggap daging hewan yang dimatikan dengan cara demikian tidak “kosher” atau tidak “halal”.

Sementara itu, para pengkritik ide hak hewan mengatakan bahwa ide tentang hak hewan adalah pandangan antropomorfisme. Hewan tidak bisa memiliki hak. Istilah “hak” yang digunakan untuk hewan adalah dalam pengertian kiasan saja. Beberapa dari mereka menawarkan jalan “kewajiban moral” dan “tanggung jawab moral” bagi manusia, dibanding menyematkan properti “hak” pada hewan.

Ketika sedang makan ikan hasil pancingan, mungkin ada orang yang teringat bahwa kematian ikan tersebut melalui proses derita yang menyakitkan. Mungkin Anda orang yang sedang makan ikan tersebut.