Thursday, May 6, 2021

SIAPA BERBUAT APA DAN BERTANGGUNG JAWAB UNTUK APA

Pelaku kasus “sate beracun” di Bantul, Yogya, telah tertangkap. Secara moral, orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, sebagai penyebab. Orang tidak bertanggung jawab atas apa yang tidak dilakukannya, atas apa yang terjadi bagaimanapun juga, atau diijinkan terjadi, tanpa intervensi orang tersebut. Ini adalah pandangan umum. Namun, apakah persoalannya sederhana?

Ada sebuah cerita lama.[1] Seorang pria akan melakukan perjalanan panjang melewati gurun pasir. Pria tersebut memiliki dua orang musuh. Pada malam hari sebelum keberangkatan, musuh pertama menyelinap masuk ke tenda tempat pria tersebut bermalam, memasukkan racun ke dalam botol air bekal perjalanan pria tersebut.

Beberapa jam kemudian, giliran musuh kedua menyelinap masuk ke dalam tenda. Musuh kedua ini tidak tahu tentang apa yang telah dilakukan musuh pertama terhadap botol air. Musuh kedua kemudian membuat lubang kecil pada botol air yang sama. Bocor kecil pada botol cukup untuk menguras isi botol tersebut sedikit demi sedikit.

Keesokan harinya, sang pria berangkat mengarungi gurun pasir. Ketika waktu minum tiba, di tengah gurun pasir yang panas, pria tersebut mengambil botol air bekalnya. Namun, ia mendapati botol air dalam keadaan kosong, terkuras karena kebocoran kecil. Pria tersebut kemudian mati karena kehausan.

Pembela hukum musuh pertama mengakui fakta bahwa kliennya berusaha meracuni pria tersebut, untuk membunuh korban. Namun, kliennya gagal membunuh korban. Korban tidak meminum racun.

Pembela hukum musuh kedua mengakui fakta bahwa kliennya berusaha menguras air bekal yang ada di dalam botol, untuk membunuh korban. Namun, kliennya gagal menguras air. Apa yang dilakukan kliennya ternyata adalah menguras botol yang berisi racun. Siapa pembunuhnya? Siapa menyebabkan apa?

Soal siapa –atau apa –menyebabkan apa, bisa kita lihat juga pada kisah di seputar Pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 menghadirkan berbagai kisah pilu. Salah satunya adalah apa yang terjadi di berbagai Rumah Sakit di Italia, di awal merebaknya virus tahun 2020. Berikut ini dua variasi narasi yang diinspirasi dari kisah tersebut.

Di dalam sebuah ruangan Rumah Sakit, ada dua orang pasien Covid-19, katakanlah pasien A dan pasien B. Keduanya membutuhkan ventilator. Jika tidak memakai ventilator, keduanya pasti akan mati. Hanya ada satu ventilator yang tersedia.

Narasi pertama, ventilator sedang terpasang pada pasien A. Jika ventilator dicopot, pasien A pasti akan segera mati. Di sampingnya, pasien B membutuhkan ventilator. Jika tidak segera dipasangi ventilator, pasien B pasti akan segera mati.

Dokter/perawat yang ada di ruangan tersebut berpikir. Dengan kesadaran dan pengetahuan penuh, serta tanpa ancaman dari orang lain, dokter/perawat mencopot ventilator dari pasien A untuk dipindah ke pasien B. Apakah perbuatan tersebut kemudian dikategorikan melakukan pembunuhan terhadap pasien A? Menyebabkan kematian pasien A, yang oleh karena itu bertanggung jawab atas kematian pasien A?

Sebaliknya, dengan kesadaran dan pengetahuan penuh, dan tanpa ancaman dari orang lain, dokter/perawat tidak memindahkan ventilator dari pasien A ke di pasien B. Memilih diam, membiarkan pasien B mati, padahal ia bisa melakukan intervensi untuk mencegah kematian pasien B, menyelamatkan pasien B. Apakah perbuatan diam tersebut kemudian dikategorikan bertanggung jawab atas kematian pasien B?

Narasi kedua, ventilator belum terpasang pada pasien A maupun pasien B. Dokter/perawat berpikir secara sadar, tahu, dan tidak ada ancaman dari orang lain. Memutuskan memasang ventilator pada pasien A berarti memutuskan membiarkan pasien B segera mati. Sebaliknya, memutuskan memasang ventilator pada pasien B berarti membiarkan pasien A segera mati. Sedangkan memutuskan tidak memasang ventilator pada dua-duanya berarti memutuskan kedua pasien segera mati.

Jika dokter/perawat tidak melakukan apapun pada pasien A, atau pasien B, atau kedua pasien sekaligus, maka apakah kematian yang kemudian terjadi merupakan tanggung jawab dokter/perawat? Demikian pula sebaliknya, jika dokter/perawat membuat keputusan menyelamatkan salah satu pasien, berarti memutuskan pasien lain mati, apakah juga bertanggung jawab atas kematian pasien yang mati? Di sini, apakah dokter/perawat berjasa pada kehidupan salah satu pasien dan bertanggung jawab atas kematian pasien lainnya?

Apapun keputusan dokter/perawat, akan ada orang yang mati. Apakah setiap keputusan yang mengakibatkan matinya orang tersebut bisa dikategorikan perbuatan jahat? Kita patut berprasangka baik pada dokter/perawat bahwa tidak ada niat jahat pada apapun putusan yang diambil. Ada niat baik yang melatarbelakangi setiap putusan yang diambil, meski pasti ada orang yang mati oleh karena putusan tersebut. Melakukan apa yang wajib dilakukan.

Dalam kisah dokter/perawat di era Pandemi Covid-19 ini, tampak mengemuka persoalan tidak mudahnya menarik garis demarkasi yang tegas terkait tindakan membunuh (menyebabkan kematian), mengijinkan terjadinya kematian, dan membiarkan terjadinya kematian. Tidak mudah menetapkan siapa menyebabkan apa, dan siapa bertanggung jawab oleh karenanya. Juga soal tidak begitu saja mudah memisahkan perbuatan benar dan salah, atau baik dan buruk. Tidak semua “perbuatan salah” bisa dengan mudah dikategorikan sebagai kejahatan, apalagi dimasukkan ke dalam kategori pidana hukum positif negara.

Kembali ke kasus sate beracun Bantul. Dalam versi sederhana, bisa diringkas sebagai berikut. Pelaku melakukan usaha peracunan pada target. Usaha tersebut gagal. Target selamat. Ada orang lain, bukan target, menjadi korban usaha peracunan tersebut. Terhadap adanya korban yang bukan target tersebut, sejauh mana pertanggungjawaban bisa dibebankan pada pelaku?

Jika memang disepakati, dalam kasus sate beracun Bantul, bahwa perbuatan usaha peracunan tersebut sebagai kejahatan, maka sate beracun (sate yang secara disengaja telah dicampuri racun) merupakan alat yang secara sadar dimaksudkan sebagai alat kejahatan. Keberadaan sate tersebut dilatarbelakangi niat jahat. Terlepas dari korbannya adalah pihak yang ditargetkan atau bukan, sate beracun tersebut tercipta sebagai alat kejahatan.

Peristiwa sate beracun ini tidak bisa disamakan dengan peristiwa kelalaian yang mengakibatkan meninggalnya seseorang, misal pada sopir bus mengantuk dan menabrak penyeberang jalan. Bus bersangkutan tidak dicipta dengan latar niat jahat, dan sopir bus juga tidak berniat jahat.

Bagaimana dengan kategori korban yang tidak diinginkan atau tidak dimaksudkan (collateral damage)? Misal, ada lima orang bersenjata api menyandera siswa-siswa di sebuah sekolah dasar. Di dalam usaha polisi membebaskan para sandera, terjadi baku tembak antara polisi dengan para penyandera. Lima orang penyandera tewas, namun ada satu orang siswa yang juga tewas karena terkena peluru nyasar.

Ada seorang anak mati dalam usaha pembebasan sandera dan ada seorang anak mati pada peristiwa sate beracun di Bantul. Keduanya adalah korban yang tidak dimaksudkan. Namun, keduanya tidak bisa disamakan. Setidaknya, ada perbedaan maksud serta tujuan awal antara perbuatan pembebasan sandera dan perbuatan meracun target tertentu.

Lantas, bagaimana dengan maksud serta tujuan awal pembuatan persenjataan militer, semisal senapan, granat, bahkan bom nuklir? Apakah berbagai senjata mematikan tersebut tercipta dengan dilatarbelakangi niat jahat atau niat baik? Kata Toynbee, “Bila orang mempersiapkan perang, sudah ada perang”. Sedangkan kata Jean Rostand, “Bunuh satu orang, dan kamu adalah seorang pembunuh. Bunuh jutaan orang, dan kamu adalah seorang penakluk. Bunuh mereka semua, dan kamu adalah tuhan”.

 

Catatan:

[1] Diadopsi dari Simon Blackburn, 2003, Ethics: A Very Short Introduction, Oxford University Press.