Saturday, July 9, 2022

KESOPANAN JAWA, KESOPANAN BELANDA

Dikisahkan oleh Babad Tanah Jawi (BTJ) tentang pertemuan antara Amangkurat II (raja Mataram yang bertahta 1677-1703) dengan para perwira VOC dari Batavia. Dalam rangka pemberian bantuan VOC pada Amangkurat II untuk memerangi Trunojoyo. Terjadi ketegangan antara beberapa pembesar Mataram dengan beberapa pembesar VOC.

Berikut ini kutipan dari BTJ versi gancaran (prosa) yang dirangkum oleh Olthof (reproduksi versi Meinsma, abad 19). Sedangkan BTJ versi tembang ditulis sekitar abad 18. Isi BTJ tidak akan dipersoalkan sifat data historisnya. Apa yang hendak dipahami adalah suasana kebudayaan yang menjadi latar saat BTJ ditulis, dan era sebelumnya. Istilah “amral” merupakan pelafalan Jawa terhadap istilah “admiral”. Amangkurat II sendiri kemudian juga dikenal dengan sebutan Amangkurat Amral atau Sunan Amral, karena sering berpakaian serupa seragam Admiral Belanda.

 “… Amral dan para opsir setibanya di depan sang Prabu lalu menunduk sambil berdiri saja dengan mengempit topinya. Tidak ada yang bersila. Para bupati beserta yang hadir di situ sangat terkejut dan heran, beraninya bersikap tidak sopan. Sang Nata berkata kepada Manda Raka, “Manda Raka, mengapa mereka tidak mau bersila kepada saya. Sangat tidak tahu sopan-santun.”

Jawab Ki Manda Raka, “Sudah begitulah cara orang Belanda, hormatnya berdiri sambil mengempit topinya.” Sang Nata tersenyum, Ki Adipati Marta Laya penasaran, segera mendekati Amral, dipegang lehernya, dipaksa duduk bersila, serta berbicara, “Ayo, kopir, duduklah. Tidak tahukah kalian, bahwa kalian di sini, di hadapan Raja Mataram. Sangat kurang ajar kalian ya.””

BTJ menceritakan bahwa Manda Raka kemudian meredakan ketegangan antara Marta Laya dan Amral. Meminta maaf dan membujuk Amral agar bersabar. Selanjutnya, masih dari BTJ:

 “Setelah mendengar kata-kata Manda Raka, Amral jadi agak lunak hatinya, serta berkata, “Ki Manda Raka, bagaimana adatnya orang Jawa jika menghadap rajanya. Beritahu kepadaku. Berhubung kedatangan saya bertujuan untuk mengabdi kepada sang Nata, segala yang diperintahkan sang Prabu tentu saya jalankan.”

Ki Manda Raka lalu memberi tahu. Sang Nata berkata, “Ki Manda Raka, engkau berbicara apa dengan si Amral.”

Jawab Manda Raka, “Gusti, abdi Paduka Amral mohon maaf kepada Paduka. Berhubung belum tahu tata-istiadat orang Jawa bila menghadap rajanya, sekarang minta diajari. Semua perintah Kanjeng Susuhunan akan dilaksanakan.”

Sang Nata tersenyum seraya berkata, “Manda Raka, engkau yang sudah tahu adat  di Betawi dulu bagaimana. Saya juga akan mengikuti adat-istiadat orang Belanda itu.”

Jawab Ki Manda Raka, “Gusti, jika menghormat kepada pembesarnya, ya berdiri saja. Lurus kakinya serta mengempit topi, Atau jika baru datang, saling bersalaman. Jika mengadakan pertemuan, kursi dibuat berjajar.””

Fragmen BTJ di atas memuat ketegangan terkait masalah kesopanan. Tentang sikap penghormatan pada orang lain. Khususnya, penghormatan pada pembesar atau penguasa politik.

Bagi orang-orang Jawa saat itu, ketika berada di hadapan raja (penguasa politik) yang sedang miyos sinewaka (duduk di singgasana atau di hadapan para abdi), di dalam pertemuan resmi, maka seseorang harus duduk bersila. Sebagai penghormatan terhadap raja atau pembesar negara. Sebagai ukuran kesopanan. Tidak boleh berdiri.

Sementara itu, bagi orang-orang Belanda, posisi berdiri sambil menundukkan kepala, dengan topi dicopot dari kepala dan kemudian dikempit, merupakan sikap kesopanan untuk menghormati pembesar. Orang-orang Belanda tidak duduk bersila di hadapan pembesar mereka, melainkan duduk di kursi yang sejajar.

Di dalam peristiwa yang diceritakan BTJ di atas, di hadapan Amangkurat II, orang-orang Belanda hanya berdiri, menundukkan kepala, sambil mengempit topi. Tidak duduk bersila. Dengan ukuran kesopanan orang-orang Jawa saat itu, sikap orang-orang Belanda tersebut tidak sopan.

Di Jawa hari ini, yang telah menjadi bagian Republik Indonesia, pertemuan antara kepala negara, para pejabat negara, dan tamu negara dilakukan dengan duduk di kursi yang sejajar. Para pejabat negara di bawah presiden, atau di bawah kepala daerah, tidak duduk bersila di hadapan presiden atau kepala daerah. Termasuk Gubernur Yogyakarta Sri Sultan HB X, yang merupakan raja Jawa Kesultanan Yogyakarta, ketika mengadakan pertemuan dengan para pejabat pemerintah daerah Yogyakarta, juga duduk di kursi-kursi yang sejajar.

Selain itu, para pejabat negara Indonesia tidak mengenakan pakaian resmi yang dianggap sopan yang dikenakan pejabat keraton Jawa era BTJ ditulis, semisal berupa sorjan, bebed (kain jarik terlipat dengan wiron), celana panjang ataupun celana sepanjang bawah lutut, dan kaki telanjang alias tanpa sepatu atau alas kaki. Bahkan, dahulu, pakaian gaya “basahan” dianggap salah satu pakaian resmi yang sopan oleh orang-orang Jawa –yakni tubuh bagian atas terbuka tanpa pakaian, telanjang dada.

Para pejabat negara Indonesia saat ini, termasuk gubernur Yogyakarta, mengenakan pakaian resmi yang dianggap sopan gaya Eropa kontemporer. Misal, pria memakai celana panjang, baju kemeja, jas, serta dasi. Kaki mengenakan sepatu dan kaos kaki. Jika tidak mengenakan sepatu, maka bisa dianggap tidak sopan. Kecuali dalam rangka pakaian adat satu daerah di Indonesia, yang itupun harus diatur terlebih dahulu.

Pada pertemuan resmi para pembesar keraton Jawa era BTJ ditulis, orang-orang Jawa menggunakan bahasa Jawa keraton. Bahasa Jawa sendiri memiliki beberapa macam dengan status tingkatan yang berbeda, yang dibedakan sebagai bahasa halus dan kasar. Status sosial akan menentukan bahasa yang harus digunakan oleh seseorang. Seseorang dengan status sosial lebih rendah dianggap tidak sopan jika tidak menggunakan bahasa yang diperuntukkan bagi tingkat status sosialnya. Hal ini berbeda dengan bahasa Belanda dan bahasa Indonesia saat ini yang pada prinsipnya tidak mengenal tingkatan status sosial (kecuali beberapa kosakata).

Fragmen BTJ juga memperlihatkan bahwa pada abad 17, orang-orang Jawa tidak melakukan jabat tangan sebagai kebiasaan kesopanan ketika saling bertemu. Tidak sebagaimana orang-orang Belanda dengan adat jabat tangan.

Hari ini, jabat tangan menjadi tindakan yang lazim di Indonesia, termasuk orang-orang Jawa, ketika saling bertemu ataupun ketika hendak berpisah. Bahkan, banyak orang Indonesia yang melakukan jabat tangan sambil mencium tangan orang yang lebih tua atau lebih tinggi status sosialnya. Ada yang menganggap bahwa jika tidak mencium tangan orang yang lebih tua atau lebih tinggi status sosialnya tersebut saat berjabat tangan, maka itu tidak sopan atau kurang sopan.

Sebagaimana di tempat-tempat lain, di Jawa terjadi perubahan-perubahan yang terkait ukuran kesopanan perilaku seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain, dan khususnya terhadap pembesar negara. Perubahan-perubahan yang terus terjadi sejak era kekuasaan politik Jawa pra negara Indonesia hingga era Indonesia.

Di dalam interaksi sosial yang damai, manusia biasanya berusaha saling menghormati, saling bersikap sopan, untuk menjaga harmoni. Sikap penghormatan dan kesopanan ini tidak jarang dilakukan dengan cara yang berbeda-beda antar individu ataupun antar masyarakat. Akan tetapi, suatu cara kesopanan (aktivitas atau tindakan terpola yang telah terbakukan di suatu masyarakat) yang dipraktekkan seseorang bisa jadi berbeda dengan isi pikiran orang bersangkutan. Tindakannya bisa sesuai ukuran kesopanan di masyarakat, tetapi pikiran orang bersangkutan berisi kebencian atau permusuhan. Juga sebaliknya.

Di dalam kajian disiplin etika, kesopanan itu sendiri biasanya digunakan untuk pengertian etiket (etiquette), yang dibedakan dengan moralitas yang biasanya digunakan untuk pengertian etika. Etiket dianggap berkaitan hanya dengan cara perbuatan dilakukan, dalam konteks pergaulan, dan menyangkut aspek lahiriah semata. Sedangkan etika dianggap berkaitan dengan perbuatan itu sendiri, berlaku meski tanpa kehadiran orang lain, dan menyangkut segi dalam (aspek pikiran). Keduanya sering dianggap berbeda, meski sama-sama memberi ukuran-ukuran nilai.

Lantas, dari mana asal-usul nilai baik-buruk kesopanan dan asal-usul nilai baik-buruk moralitas? Apakah keduanya benar-benar memiliki sumber nilai yang berbeda? Ataukah, sebenarnya sama dan perbedaan hanya masalah derajat dan nuansa?