Monday, June 20, 2022

MASALAH-MASALAH DAN MASA DEPAN ETIKA

Dari sudut pandang esensialis, etika – sebagai sistem nilai ataupun penyelidikan sistematis-metodis – mungkin terlihat mengalami krisis pondasi. Sulit dibantah. Simon Blackburn menyebut ada tujuh ancaman terhadap etika.

 

Pertama, kematian Tuhan. Banyak orang menganggap etika sama dengan agama, sebagai perintah Tuhan. Namun, saat ini, banyak norma-norma moral lama yang bersandar pada perintah Tuhan telah menjadi tidak relevan. Bahkan, beberapa bertentangan dengan norma baru. Misal, moralitas agama-agama Ibrahimik (Yahudi, Kristen, Islam) mengijinkan sistem perbudakan manusia, yang kemudian ditolak dan dihentikan oleh moralitas humanis-sekuler yang muncul pada masyarakat modern. Juga pandangan terhadap wanita.

 

Kedua, relativisme. Jika aturan-aturan moral bukan ciptaan Tuhan, maka semata ciptaan manusia. Ciptaan masyarakat. Namun, ada banyak manusia dan banyak masyarakat. Aturan moral menjadi subjektif atau relatif. Tidak ada kebenaran moral yang bersifat umum, objektif. Padahal, aturan moral mengandaikan objektifitas dan keumuman.

 

Ketiga, egoisme. Sebagai subjek, individu, manusia bersifat egoistis. Mementingkan diri sendiri. Perhatian pada orang lain, atau pada masyarakat lain, bisa jadi hanya merupakan kepura-puraan. Maksud atau keinginan yang sesungguhnya, bisa berbeda. Hipokrit. Menipu orang lain ataupun diri sendiri.

 

Keempat, teori evolusioner. Manusia telah terprogram secara egoistis. Altruisme tidak ada. Etika hanya kerudung strategi untuk sifat egoistis (selfish). Manusia telah terkondisikan. Manusia memelihara atau mementingkan gen-gen dirinya.

 

Kelima, determinisme dan kesia-siaan. Semua telah ada, terprogram, di dalam gen-gen. Alam tidak bisa dilawan. Kehendak-bebas tidak ada. Semua sudah terdeterminasi. Usaha menyusun etika adalah sia-sia.

 

Keenam, tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal. Secara prinsip, aturan-aturan moral mungkin bersifat baik. Namun, pada praktiknya, aturan-aturan tersebut sering tidak bisa berjalan. Aturan tidak boleh berbohong kadang berhadapan dengan kebohongan “putih” ketika berkata jujur justru menimbulkan bencana.

 

Ketujuh, kesadaran palsu. Moralitas masih bisa ternoda bahkan jika motivasi seseorang bersifat tulus. Hanya saja, orang tersebut berada di dalam sebuah sistem, dan sistem tersebut mungkin tidak sebagaimana tampaknya. Bisa saja ada teori feminisme yang melihat etika sebagai instrumen patriarkhi. Atau instrumen kelas sosial.

 

Suasana terlihat sedang tidak baik-baik saja. Tidak sebagaimana yang diidealkan. Lantas, adakah masa depan bagi etika?

 

Manusia, sebagai conscious being, memiliki pikiran (atau kesadaran) yang lebih rumit dibanding hewan-hewan lainnya. Pikiran manusia bisa menciptakan kategori-kategori, yang di antaranya disebut sebagai nilai dan makna. Juga tujuan hidup. Ini semua adalah konsep-konsep mental.

 

Secara klasik, nilai dibedakan terhadap fakta. Nilai dianggap subyektif, sedangkan fakta dianggap obyektif. Anggapan bahwa nilai bersifat subyektif pada gilirannya akan melahirkan persoalan tersendiri, terkait apakah ada nilai moral yang obyektif, universal, absolut—yang merupakan pengandaian untuk keberadaan aturan moral.

 

Melalui anggapan bahwa nilai bersifat subyektif, maka akan lebih mudah dipahami bahwa nilai moral bersifat relatif. Namun jika nilai moral bersifat relatif, maka justru akan mengarah pada penyangkalan adanya aturan moral.

 

Sedangkan untuk mengatakan bahwa nilai moral ada secara obyektif dan universal, maka hal ini juga berarti pernyataan bahwa nilai bersifat absolut. Namun, pada kenyataannya, banyak nilai moral berubah, berkembang, dan terjadi progres. Hal ini menandakan bahwa nilai moral tidak absolut, sehingga tidak obyektif dan tidak universal. Tidak berada di luar pikiran manusia dan tidak berlaku sama kapanpun dan di manapun.

 

Menurut pandangan yang telah lama mapan, persoalan nilai merupakan garapan agama ataupun filsafat. Di kalangan agamawan, filosof, dan bahkan banyak saintis sendiri, telah lama ada anggapan bahwa persoalan nilai bukan wilayah garapan sains (kecuali dalam rangka deskriptif, semisal yang dilakukan Antropologi atau Sosiologi). Nilai adalah wilayah garapan agama ataupun filsafat, bukan wilayah sains. Demikian pula nilai moral, bukan garapan sains.

 

Termasuk Bertrand Russell yang membenarkan bahwa sains tidak bisa menentukan persoalan nilai. Menurutnya, nilai sama sekali tidak bisa ditentukan secara intelektual. Nilai terletak di luar wilayah kebenaran dan kesalahan. Itu berarti bahwa tidak ada kebenaran obyektif pada nilai.

 

Akan tetapi, menariknya, Russell menyatakan bahwa pengetahuan, apapun itu, dicapai melalui metode saintifik. Apa yang tidak bisa ditemukan, atau diketahui, oleh sains, maka tidak bisa diketahui oleh manusia. Russell seolah mengalami kegamangan. Ia masih membawa sikap pembedaan antara nilai dan pengetahuan.

 

Sam Harris memiliki sikap yang berbeda. Ia menganggap bahwa nilai bukan wilayah di luar jangkauan sains, karena pembedaan antara nilai dan fakta sebenarnya adalah ilusi. Pertama, apapun yang bisa diketahui tentang memaksimalkan well-being manusia (conscious being), harus terwujud dalam fakta-fakta tentang otak dan interaksinya dengan dunia secara luas. Kedua, ide tentang “pengetahuan obyektif” memiliki value yang built-in di dalamnya. Setiap usaha untuk mendiskusikan fakta-fakta, bergantung pada prinsip-prinsip yang harus dinilai. Ketiga, di level otak, percaya pada fakta dan percaya pada nilai muncul dari proses yang sama. Ada sistem bersama, di otak, dalam menentukan kebenaran dan kesalahan pada nilai dan fakta.

 

Selain itu, menurut Harris, pembedaan antara percaya dan mengetahui adalah menyesatkan. Apa yang disebut sebagai “mengetahui” sebenarnya adalah soal gradasi percaya, derajat kepastian soal percaya. “Percaya” adalah kapasitas otak untuk menerima suatu proposisi sebagai benar, yang merupakan hasil dari inferensi-inferensi yang ditarik secara induktif, deduktif, ataupun gabungan keduanya.

 

Perlu kiranya di sini disinggung soal terbentuknya pengetahuan. Otak menterjemahkan masukan-masukan, informasi-informasi, yang dikirim dari organ-organ sensor tubuh, dengan membuat sebuah model. Otak membentuk konsep-konsep mental. Konsep-konsep mental tersebut merupakan satu-satunya realitas yang diketahui. Sehingga, apa yang diketahui (apa yang dipercaya) tentang nilai dan fakta adalah konsep mental yang dibangun di dalam otak.

 

Fakta bahwa moralitas mengalami perubahan, progres, menggambarkan bahwa manusia selalu menyelidiki moralitas. Penyelidikan ini termasuk mengadakan evaluasi, pembandingan-pembandingan, keputusan-keputusan, dll. Juga melakukan klaim-klaim. Selain itu, moralitas merupakan produk masyarakat dengan interaksi-interaksi sosial, terutama ekonomi, yang mendasarinya.

 

Dan penyelidikan-penyelidikan, untuk mengetahui, akan terus berlanjut. Kalaupun etika memang mengalami krisis, sebagaimana disinggung di atas, maka krisis tersebut adalah lumrah. Sebagaimana banyak bidang lain yang kadang mengalami krisis, kemudian disusul oleh normal baru. Menandakan progres.

 

Manusia ingin mengalami hidup terbaik bagi dirinya. Apa yang harus dilakukan dalam hidup dan apa yang harus diinginkan dalam hidup, untuk sebaik-baiknya kualitas hidup yang dijalani. Di dalam penyelidikan-penyelidikan ini, sains memainkan peran penting, terutama neurosains.

 

Mengapa seseorang bahagia. Mengapa suatu masyarakat bahagia. Apa yang harus dilakukan untuk bahagia. Apa yang harus diinginkan untuk bahagia.

 

Hanya saja, untuk hidup bahagia, mungkin ada orang-orang yang tidak butuh pengetahuan-pengetahuan yang kompleks. Tidak perlu pengetahuan saintifik. Tidak perlu pengetahuan filosofis. Tidak perlu pengetahuan relijius. Cukup common-sense saja.