Wednesday, May 17, 2023

LETUSAN PERTAMA

Gambar sketsa yang dibuat oleh JL, tentang posisi dirinya dan posisi percekcokan SG-Wahyo di kompleks Sanggrahan malam itu.

 

JL lupa harinya. Juga tanggal dan bulan. Untuk tahun, ia menyebut 1982, yang ternyata keliru. Sebenarnya 1983. Tetapi, ia tidak akan pernah melupakan kejadian di hari itu. Sebuah peristiwa yang kemudian menjadi gong pembuka untuk peristiwa nasional.

Malam itu, pria kelahiran 1960 tersebut sedang duduk di kursi kayu di depan pondokan milik Pak Yanto. Bangunan pondokan menghadap ke selatan, dan di depannya ada gang kecil tempat akses lalu-lalang orang-orang.

Dentaman suara musik terdengar hingga ke telinga JL. Suara musik yang berasal dari pondokan milik Pak Wawu. Menjadi pembeda dengan pondokan-pondokan lain di dekatnya, karena setiap malam memang memutar musik.

Pondokan milik Pak Wawu berada satu deretan dengan pondokan milik Pak Yanto. Di deretan paling utara. Hanya saja, pondokan Pak Wawu terletak di pojok timur-utara. Pondokan Pak Yanto berada di sebelah baratnya, tersela oleh satu pondokan milik orang lain.

Ketika JL sedang duduk-duduk tersebut, SG berjalan lewat di depannya. Berjalan menyusuri gang di depan pondokan Pak Yanto dari arah barat menuju timur. Di belakang SG, ada  beberapa orang yang juga berjalan. Satu per satu, depan-belakang. Seperti iring-iringan orang-orang yang berjalan di pematang sawah.

SG berhenti di depan pondokan Pak Wawu. Tidak lama kemudian, SG terlibat percekcokan dengan seseorang yang berada di dalam pondokan Pak Wawu. Awalnya, JL tidak tahu siapa lawan  cekcok SG. Namun, setelah seseorang muncul dari pondokan Pak Wawu, JL melihat lawan cekcok SG adalah Wahyo.

Samar dalam penglihatan JL, tangan SG terlihat bergerak mengeluarkan sesuatu. JL melihat SG memegang semacam pedang. Di tengah percekcokan yang sedang berlangsung.

Tidak lama kemudian terdengar suara tembakan. Satu kali letusan, dalam ingatan JL. Diikuti keriuhan orang-orang di sekitar tempat itu. JL tidak lagi memperhatikan di mana SG atau apa yang terjadi dengan SG. Ditelan oleh suasana kegaduhan.

JL hanya melihat Wahyo yang bergerak ke arah selatan. Diikuti orang-orang yang sebelumnya berjalan di belakang SG. Suara tembakan terdengar lagi beberapa kali. Orang-orang di tempat tersebut semakin panik dan bingung. Saling bertanya-tanya. Juga terdengar teriakan, “Bubar! Bubar! Bubar!”.

Di dalam suasana yang kacau tersebut, JL bergegas ke arah barat, menuju pondokan milik MKC yang terletak di sebelah barat pondokan milik Pak Yanto, tersela oleh satu pondokan milik orang lain. JL mencari OK, seorang kawannya yang berada di dalam pondokan milik MKC. Mereka meninggalkan lokasi tersebut melewati pintu belakang pondokan milik MKC.

JL dan OK memutuskan segera keluar dari lokasi tersebut tanpa perlu mencari SR terlebih dahulu. Mereka sebenarnya datang bertiga. Namun kemudian berpisah, sibuk dengan urusan masing-masing.

Media massa tidak segera memberitakan peristiwa di malam tersebut. Beberapa hari kemudian, di media massa mulai muncul berita tentang operasi yang dilakukan oleh Garnisun Kodim 0734 Yogya. Sejak itu, nama “Wah” atau Wahyono mulai disebut-sebut sebagai salah satu korban tewas dalam operasi tersebut.

Hingga akhirnya Kompas 14 April 1983 memuat tulisan tentang peristiwa yang terjadi pada Senin 28 Maret 1983 di lokalisasi prostitusi “Sanggrahan”, Yogyakarta. Wahyono ditembak mati di lokalisasi Sanggrahan.

Kematian Wahyo juga menandai dimulainya pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai “gali”, sebutan bagi pelaku kriminal yang sekarang populer dengan istilah “preman”. Awalnya, gali adalah akronim dari gabungan anak liar.

Sepanjang 1982-1985, aparat negara melakukan operasi yang disebut sebagai upaya pemberantasan kejahatan. Di Jakarta ada “Operasi Celurit”. Di Yogya diberi nama Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang digelar oleh Garnisun Kodim 0734 Yogyakarta. Dipimpin oleh Letkol CZI M. Hasbi, Komandan Kodim 0734 Yogyakarta.

Setelah peristiwa pembunuhan Wahyo di Yogya, pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap “gali” kemudian menyebar ke daerah-daerah lain. Banyak mayat yang dibiarkan atau dibuang di tempat-tempat umum setelah dieksekusi. Masyarakat menyebut peristiwa tersebut dengan istilah “petrus”, penembakan misterius.

Presiden Soeharto, di dalam buku otobiografinya (cetakan pertama 1989), mengatakan bahwa kejadian (penembakan-penembakan) tersebut sebenarnya tidak misterius. Itu adalah treatment. Soal mayat yang ditinggalkan begitu saja, menurut Soeharto, itu untuk shock therapy.

Belum ada angka pasti terkait jumlah korban tewas dalam peristiwa operasi pemberantasan kejahatan sepanjang 1982-1985. Namun, Komnas HAM memperkirakan, berdasar pengaduan, lebih dari 2000 nyawa melayang. Sedangkan penelitian Bourchier menyebut angka yang lebih tinggi.[1] Dunia internasional membicarakannya.

Ada banyak analisa dan pendapat tentang peristiwa operasi pemberantasan kejahatan 1982-1985. Berlatar belakang hukum, ekonomi, sosiologi, politik, dll. Dari soal penyakit masyarakat hingga pandangan konspiratif tentang usaha Soeharto dan Benny Moerdani melucuti kekuatan Ali Moertopo.

Pada 11 Januari 2023, Presiden Jokowi, atas nama negara, mengakui peristiwa penembakan misterius 1982-1985 sebagai salah satu peristiwa pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang pernah terjadi di negeri ini, bersama dengan sebelas peristiwa lainnya. Dan menyesalkannya. Pemerintah berusaha memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

Setelah lebih dari dua puluh tahun beroperasi, lokalisasi prostitusi Sanggrahan ditutup pada tahun 1997. Lokalisasi Sanggrahan merupakan sebuah kawasan resosialisasi di Mrican, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta, yang didirikan melalui keputusan Walikota Yogya 166/K.D./1974. Saat ini, tempat tersebut digunakan oleh Dinas Perhubungan Yogyakarta sebagai UPT Pengujian Kendaraan Bermotor.

Tempat di mana dahulu Wahyo ditembak mati. Wahyo adalah korban pertama “petrus” di Yogya. Kemudian korban-korban selanjutnya berjatuhan, semisal Slamet Gaplek, sosok yang juga pernah terkenal di Yogya, yang ditembak di Surabaya.

Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, dimuat April yang lalu, Bu Nuk (Wahyu Handayani) mengatakan bahwa dahulu Wahyo dan Slamet Gaplek kadang berkunjung menemui suaminya, Trimurdjo alias Kenthus, di kampung Jlagran. Pembicaraan mereka kadang seputar  partai politik atau menjadi satuan pengamanan partai politik.[2]

Wahyo dan Slamet Gaplek dibunuh di tahun 1983. Tahun sebelumnya merupakan tahun politik, pemilihan umum 1982.

Sementara itu, menurut kabar, SG beberapa tahun yang lalu masih berada di salah satu pemukiman prostitusi di kawasan pesisir selatan Yogyakarta. Ia adalah orang yang paling mengetahui mengapa pada malam itu ia terlibat keributan dengan Wahyo. Keributan yang disaksikan oleh JL. Empat puluh tahun yang lalu.

Catatan: