Rumah-rumah tua dengan arsitektur didominasi gaya Eropa berderet di sebelah timur jalan, menghadap ke barat. Bekas rumah-rumah dinas para pejabat Pabrik Gula Sewugalur (Suikerfabriek Sewoegaloer) peninggalan era kolonial Belanda. Terletak di Sewugalur, Kelurahan Karangsewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo.
Di depan salah satu rumah tersebut, terpasang papan dan prasasti penanda bertulis “RUMAH INDIS SUNARTEDJO”, beserta keterangan tentang penetapan sebagai bangunan cagar budaya. Pada tahun 2016, pemerintah Kabupaten Kulonprogo menetapkannya sebagai bangunan cagar budaya.
Istilah “indis” mengacu pada percampuran antara budaya Eropa dengan budaya lokal nusantara (dalam hal ini Jawa). Sedangkan “Sunartedjo” adalah nama pemilik rumah tersebut. Sunartedjo pernah menjabat sebagai wakil gubernur Jawa Tengah periode 1990-1994.
Sunartedjo mewarisi rumah tersebut dari ayahnya, yakni Cokrodiryo. Plat logam bertuliskan “TJOKRODIRJO” (Cokrodiryo) masih terpasang di dinding pilar serambi rumah. Sebagai penanda pemilik rumah.
Cokrodiryo sendiri membeli rumah tersebut ketika dilelang oleh pemerintah pada tahun 1949. Ia membeli beberapa rumah, tidak hanya satu. Serta membeli lahan kosong di seberang jalan depan rumah-rumah yang dibelinya.
Di lahan kosong tersebut, yang dahulu digunakan sebagai lapangan tenis oleh orang-orang Belanda, kemudian dibangun langgar, diberi nama “Langgar Agung”. Saat ini telah diubah menjadi masjid bernama “Al-Musthofa”. Bangunan utama masjid, yakni joglo kayu, masih asli sejak didatangkan dari Srandakan, Bantul, oleh Cokrodiryo.
Pabrik Gula Sewugalur tutup pada 1935 dikarenakan krisis ekonomi internasional era 1930an. Selain rumah-rumah dinas, di area bekas Pabrik Gula Sewugalur terdapat beberapa bekas fasilitas pendukung pabrik yang masih ada, semisal pasar dan kuburan orang-orang Belanda (kerkhoff).
Pada tahun 1937, bangunan rumah pegawai klitir (penjaga tebu milik Pabrik Gula Sewugalur) dibeli oleh Muhammadiyah, kemudian dijadikan gedung Madrasah Darul Ulum Muhammadiyah. Salah satu murid Darul Ulum itu sendiri, yakni A.R. Fachruddin (masuk 1932), kelak menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Keberadaan Pabrik Gula Sewugalur juga membuka jalur kereta api dari Yogya-Bantul-Kulon Progo tahun 1914, yang beberapa sisa-sisa rel kereta masih bisa ditemui di beberapa tempat yang dilewati jalur tersebut.
Jembatan Srandakan 1 yang melintas di atas sungai Progo, menghubungkan Bantul dan Kulon Progo, yang saat ini sudah tidak difungsikan karena patah, dahulu merupakan jembatan rel kereta api yang menghubungkan stasiun atau halte di Sewugalur, Kulon Progo dengan stasiun Palbapang, Bantul.
Rumah Indis Sunartedjo saat ini dihuni dan dirawat oleh Bu Tini (Suwartini). Sejak tahun 1974, ia menghuni rumah tersebut bersama suaminya, Jamal, sesaat setelah mereka menikah. Sebelumnya, Bu Tini bolak-balik dari rumahnya di Bantul ke rumah Cokrodiryo di Sewugalur, untuk merawat Cokrodiryo dan istri hingga Cokrodiyo meninggal dunia.
Bu Tini juga kerap dipanggil dengan sebutan “Bu Jamal”. Di rumah ini pula, Bu Jamal dan Pak Jamal membuka usaha berjualan aneka macam tembakau.
Sedangkan Sunartedjo telah meninggal dunia dan dimakamkan di Godegan, Srandakan, Bantul. Satu kompleks dengan pemakaman orang tuanya, yakni Cokrodiryo.
Tidak jauh dari makam mereka di Godegan, terdapat makam Ki Demang Cokroyudo yang terletak di dusun Sawahan, Srandakan, Bantul. Ki Demang Cokroyudo adalah kakek dari Cokrodiryo. Cokrodiryo merupakan cucu dari Ki Demang Cokroyudo, orang Kalang yang tinggal di Sawahan.