Tuesday, December 25, 2018

SIAPA PEMILIK HAK HIDUP?



Di beberapa tahun terakhir, perbincangan tentang Etika AI (Artificial Intelligence) semakin mendapat perhatian di antara para intelektual. Perlu diketahui, AI bisa memiliki konsekuensi-konsekuensi berbeda di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Dalam rangka pengkayaan dan pengembangan diskursus Etika AI, maka data-data terkait perlu dihimpun, dan salah satunya melalui eksperimen.

Pada tahun 2014, para saintis dari Massachusetts Institute of Technology Media Lab mulai mendesain suatu eksperimen, ber-platform serupa game, yang disebut Moral Machine (Mesin Moral). Eksperimen tersebut bertujuan untuk mengetahui sikap atau keputusan individu-individu di masyarakat tentang apa yang harus dilakukan oleh suatu self-driving car ketika dihadapkan pada dilema. Self-driving car, atau mobil otonom, merupakan kendaraan tanpa sopir yang didasarkan pada Kecerdasan Buatan atau AI.

Ide pada eksperimen ini diinspirasi oleh persoalan klasik dilema troli (trolley problem), yakni tentang kehidupan siapa yang perlu diprioritaskan. Siapa yang harus diselamatkan kehidupannya dan siapa yang harus dikorbankan kehidupannya.

Lima orang berada atau berjalan di atas sebuah rel. Sebuah troli meluncur di atas jalur rel tersebut, dan akan menabrak mereka. Sementara itu, jalur rel tersebut  memiliki cabang jalur rel yang lain di mana ada satu orang sedang di atas jalur rel lain tersebut. Anda berada pada posisi berdekatan dengan tuas pemindah rel (tuas pelangsir). Apa yang akan Anda lakukan? Jika Anda berdiam diri, tidak melakukan tindakan apa-apa, maka troli akan terus meluncur dan menabrak lima orang: lima orang tewas. Jika Anda menarik tuas pemindah rel, mengalihkan jalur troli, maka troli akan berbelok ke jalur di mana hanya ada satu orang, dan menabraknya: satu orang tewas. Menurut Anda, siapa yang harus hidup dan siapa yang harus mati?

Dengan mengambil ide dari dilema troli, Mesin Moral memuat sembilan variasi yang berbeda-beda terkait pihak yang perlu diprioritaskan (diselamatkan) kehidupannya. Manusia atau hewan peliharaan; penumpang kendaraan atau pejalan kaki; lebih banyak nyawa atau lebih sedikit nyawa; laki-laki atau perempuan; tua atau muda; sehat atau sakit; status sosial lebih-atas atau status sosial lebih-bawah; taat hukum atau pelanggar hukum; dan apakah kendaraan perlu membelok (bertindak) atau tetap di jalur (tidak bertindak)? 

Bukan hanya pada AI, persoalan tentang siapa (atau apa) yang harus hidup dan siapa (atau apa) yang harus mati juga menjadi bagian perdebatan dalam pengembangan sains medis dan biologi, beserta teknologi-teknologinya. 

Pada bulan November 2018 lalu, team saintis di Southern University of Science and Technology, Shenzhen, Tiongkok, dikabarkan telah berhasil melakukan edit DNA pada embrio manusia dengan menggunakan CRISPR, yakni teknologi untuk melakukan edit-gen. Dikabarkan, menurut salah satu saintis di balik proyek tersebut, yakni He Jiankui, sepasang  bayi kembar hasil edit-gen telah dilahirkan pada bulan November lalu. Tujuan dari proyek tersebut adalah untuk menghasilkan manusia yang kebal terhadap HIV, kholera, dan cacar. 

Berita keberhasilan edit-gen tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra. Ada kabar bahwa pemerintah Tiongkok sendiri memerintahkan agar aktivitas edit-gen manusia tersebut dihentikan. Namun, jika pun para saintis Tiongkok bersangkutan benar-benar menghentikan aktivitas edit-gen, maka apakah kita bisa yakin bahwa di tempat lain, atau di negara lain, tidak ada saintis-saintis yang melakukan aktivitas edit-gen? Riset gen ini seperti perlombaan pengembangan nuklir, sering dirahasiakan, dengan segala keberhasilan dan kegagalannya.

Di samping itu, bagaimana nasib embrio-embrio yang telah diciptakan tapi tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan? Apakah dibiarkan berkembang, ataukah dihancurkan (diaborsi)? Soal aborsi, mari kita kilas-balik sebentar.

Banyak norma-norma nilai moral lama, terutama pada agama, yang mungkin memiliki sikap yang relatif tegas terhadap praktek aborsi, yakni menolak tindakan aborsi. Namun, perubahan atau pergeseran sikap terhadap aborsi mulai terjadi seiring temuan-temuan sains kesehatan modern atas realitas kesehatan dan kelangsungan hidup wanita hamil dan janin yang dikandungnya. Suatu keadaan tidak normal menyangkut kesehatan ibu hamil dan janin di kandungannya akan dijadikan bahan pertimbangan suatu tindakan. Dilema moral muncul di sini, yakni tentang pilihan menyelamatkan kehidupan si wanita hamil dengan ongkos menghentikan kehidupan janin yang dikandungnya melalui aborsi, ataukah mempertahankan kemungkinan hidup janin namun dengan jalan mengorbankan kehidupan si ibu yang mengandung janin tersebut. Ide aborsi terhadap janin kemudian relatif dapat diterima di sini.

Selepas dari dilema kelangsungan hidup wanita hamil dan janin yang dikandungnya akibat persoalan kesehatan, selanjutnya persoalan aborsi bergerak lebih jauh hingga memunculkan isu pro-life dan pro-choice. Kemunculan fenomena ide pro-life dan pro-choice tidak lepas dari perdebatan tentang siapa pemilik hak. Apakah subjek hak adalah organisme-hidup dengan kemampuan kognitif, yakni manusia? Apakah janin memiliki hak? 

Dengan segala pro dan kontranya, perdebatan tentang menggagalkan kehidupan (aborsi) janin mungkin sudah bisa dimengerti masyarakat umum, dan janin sering dianggap sebagai sudah manusia, atau dianggap potensi yang sangat jelas arah perkembangannya menuju manusia. Namun bagaimana dengan embrio? Embrio adalah organisme di mana sel telur telah bertemu dengan sperma. Bukan sel telur saja, bukan sperma saja, namun belum juga janin. Bahkan, embrio yang dihasilkan melalui proses in vitro (IVF) terjadi tidak di dalam tubuh manusia, melainkan di dalam gelas atau di atas piring kaca laboratorium.

Sejauh mana definisi tentang manusia berlaku? Apakah embrio manusia digolongkan sebagai manusia atau bukan? Kemudian, apakah embrio juga memiliki hak, dalam hal ini hak hidup? Termasuk embrio yang gen-nya telah diedit, entah itu sesuai (berhasil) atau tidak sesuai (gagal, rusak, cacat) dengan tujuan pengeditan gen. 

Pada 27 Februari 1997, dunia dikejutkan oleh pengumuman tentang keberhasilan kloning hewan pertama, yakni domba yang di beri nama Dolly. Semenjak saat itu, tidak sedikit orang yang mulai berpikir bahwa kloning terhadap manusia hanya masalah waktu saja. Dugaan tersebut seolah mendapat penguatan setelah beredarnya berita keberhasilan edit gen embrio manusia di Tiongkok bulan November 2018 lalu.

Berdasar perkembangan sains dan teknologi, manusia dimungkinkan untuk melakukan kloning dan memodifikasi gen manusia, dalam rangka reproduksi maupun therapi atau riset (ada pendapat bahwa kloning therapi dan riset tetap saja merupakan reproduksi). Lebih jauh lagi, praktek-praktek tersebut secara sengaja ataupun tidak sengaja dapat menciptakan jenis-jenis manusia baru. Bermula dari tujuan untuk mendapat kualitas manusia yang lebih unggul dibandingkan dengan kualitas manusia-manusia lain yang telah ada. Masa depan evolusi manusia kemudian dimungkinkan untuk ditentukan oleh manusia yang lain, atau manusia generasi terdahulu. Di sini, perdebatan isu eugenika muncul kembali.