Thursday, August 8, 2019

LANGIT

Selama ribuan tahun, banyak manusia di jaman dahulu memahami langit sebagai atap bumi, di dalam arti yang sebenarnya. Seluruh alam semesta dipahami sebagai susunan langit, bumi, dan ruang di antara langit dan bumi. Mungkin hanya sedikit masyarakat di jaman dahulu yang memiliki pemikiran, meski naif, tentang apa yang berada di bawah bumi. Lebih banyak masyarakat yang memiliki cerita tentang apa yang ada di atas langit. Perlu diingat, banyak dari mereka belum mengetahui bentuk bumi yang bulat.


Sebagian masyarakat kuno menganggap langit berbentuk kubah yang menutup bumi, dan dengan begitu, alam semesta secara keseluruhan dibayangkan berbentuk setengah bola (hemisphere). Misal, masyarakat Mesir kuno menganggap bahwa langit adalah Tuhan Nut (wanita) yang menelungkup seperti mangkuk menutupi bumi datar (Tuhan Geb). Pada Enuma Elish milik masyarakat Babilonia, terdapat kisah bahwa langit merupakan kubah yang berasal dari separo tubuh Tiamat yang telah dibelah oleh Marduk. Pada dua kisah tersebut, langit pada mulanya dianggap berasal dari suatu entitas hidup, yang kemudian, melalui suatu peristiwa tertentu, berubah menjadi langit.

Sebagian masyarakat lainnya di jaman dahulu menganggap langit berbentuk datar, seperti lantai, atau dataran layaknya permukaan bumi. Langit datar yang berada di atas bumi tersebut juga dianggap memiliki tingkatan-tingkatan, sebagaimana lantai-lantai pada bangunan bertingkat. Oleh karena itu, muncul ungkapan “di atas langit masih ada langit”.

Tidak sedikit masyarakat jaman dahulu percaya bahwa di langit datar tersebut terdapat penghuni, entah itu tuhan (politheis ataupun monotheis), malaikat, bidadari, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan sebagainya. Entitas-entitas tersebut berada dan tinggal di langit. Sementara itu, manusia tinggal dan hidup di bumi. Kata Inggris “heaven” dapat digunakan di dalam arti sebagai langit (sky, yakni sebagai atap dunia), maupun sebagai surga (paradise, yakni sebagai tempat tinggal Tuhan).

Posisi langit yang disangkakan terletak di atas bumi memberi konsepsi tentang arah dan ruang: atas (langit) dan bawah (bumi). Setiap objek akan jatuh dari atas menuju bawah. Sebuah benda yang dilempar ke atas akan jatuh ke tanah, atau sebuah batu di atas gunung akan menggelinding turun ke dasar jurang. Fenomena ini dimengerti sebagai bahwa, pada prinsipnya, segala sesuatu yang berada di atas akan jatuh ke bawah. Demikian pula, apa yang berada di atas (langit dan ruang di antara langit dan bumi) akan dapat jatuh ke bawah (bumi). Pemahaman tentang orientasi atas-bawah ini memunculkan istilah “langit runtuh”, termasuk ungkapan “fiat justitia ruat caelum”. Atau ungkapan “wahyu turun dari langit”, bukan naik dari langit.

Benda-benda angkasa (matahari, planet, bulan dan bintang), untuk sebagian masyarakat jaman dahulu, dianggap sebagai entitas-entitas hidup yang ada di langit, yang misalnya adalah tuhan-tuhan, setan, atau lainnya. Sedangkan bagi sebagian masyarakat yang lain, langit adalah tempat di mana benda-benda angkasa terletak atau berada. Benda-benda tersebut dianggap dilekatkan atau digantungkan di langit, sehingga tidak jatuh ke bumi. Perubahan posisi atau letak benda-benda angkasa tersebut dianggap sebagai perpindahan nyata, bukan gerak relatif. Misal, banyak masyarakat berpikir bahwa matahari muncul di timur di setiap pagi dan kemudian bergerak ke barat hingga tenggelam di sore hari. Selain itu, persitiwa-peristiwa benda-benda langit kerap dijelaskan dengan berbagai narasi yang sebagian besar bersifat supranatural.

Masyarakat jaman dahulu juga belum bisa memberi penjelasan secara tepat perihal fenomena warna langit. Misal, perubahan warna langit di siang hari dan malam hari dianggap sebagai akibat diciptakannya siang dan malam. Atau juga fenomena pelangi, yang dianggap sebagai tangga bagi para bidadari untuk naik dan turun dari langit ke bumi. Peristiwa hujan juga dikaitkan dengan jatuhnya air dari langit lantaran ada sesuatu aktivitas yang berlangsung di atas langit. Sains modern memberitahu bahwa hujan air di bumi terjadi di atmosfer bumi, bukan dari langit yang digambarkan oleh banyak masyarakat jaman dahulu.

Hari ini, sains dan teknologi telah banyak mengubah pengetahuan dan pemahaman tentang langit. Sains memberi pembedaan antara ruang atmosfer bumi dengan ruang luar-angkasa, dan hal ini menyumbang pemahaman lebih lanjut lagi terkait realitas langit. Langit yang semula dianggap berwarna biru (di siang hari) adalah warna relatif yang dipahami pengamat di bumi. Pada siang hari, sinar matahari dan partikel-partikel tertentu yang ada di atmosfer bumi mengakibatkan langit tampak berwarna biru. Atmosfer bumi lebih menghamburkan sinar matahari warna biru daripada warna merah. Warna langit akan berbeda jika dilihat dari tempat yang berbeda, misal dari bulan atau dari planet Mars. Bukan lagi biru.

Sains juga memperlihatkan bahwa persoalan orientasi arah “atas” dan “bawah” yang dipahami masyarakat umum selama ini sebenarnya memiliki keterkaitan dengan keberadaan gravitasi. Di dalam ruang tanpa gravitasi, maka orientasi arah atas dan bawah menjadi relatif. Hal ini diperlihatkan dengan lebih jelas ketika pengamatan dilakukan dari luar bumi (luar-angkasa) di mana bisa saja bumi bukan lagi berada di bawah pengamat, melainkan justru berada di atas pengamat. Sementara, langit bisa jadi berada di bawah pengamat, termasuk juga di samping kanan, kiri, dan di semua penjuru arah. Langit datar (flat) berubah menjadi langit bola (sphere).

Gravitasi itu pula yang membuat objek-objek yang dilempar dari bumi ke atas (angkasa) akan jatuh kembali ke bawah (bumi). Tidak sebagaimana persangkaan orang-orang jaman dahulu yang belum mengetahui konsep gravitasi, yang kemudian menganggap apa yang berada di atas akan bergerak ke bawah. Pada kenyataannya, pergerakan benda-benda tersebut terutama disebabkan oleh gaya gravitasi, bukan soal orientasi arah atas dan bawah. Selain itu, di bumi, tidak semua objek selalu bergerak ke bawah (bumi). Atmosfer bumi didominasi oleh gas oksigen. Massa jenis oksigen lebih berat dibandingkan massa jenis helium atau hidrogen. Dengan kata lain, helium dan hidrogen lebih ringan dari oksigen. Hal ini membuat helium dan hidrogen di bumi akan bergerak ke atas, lebih tinggi, ke angkasa. Balon udara contohnya.

Pada jaman dahulu, ketika banyak masyarakat menganggap bahwa bumi berbentuk datar, atau setidaknya memiliki permukaan datar, maka pemahaman tersebut juga dibarengi dengan pemahaman terhadap langit. Akan tetapi tidak sebagaimana bumi yang bisa dialami secara relatif lebih dekat, manusia jaman dahulu melihat langit sebagai objek yang terletak dengan jarak yang sangat jauh dari bumi dan sangat luas. Oleh karena itu, pengetahuan tentang langit juga tidak sememadai pengetahuan tentang bumi. Hingga hari ini, sains modern memang belum bisa memberi penjelasan yang sempurna tentang langit. Namun, sains telah mengubah cara pandang dan pengetahuan manusia tentang langit, bahkan mengubah konsep tentang langit itu sendiri. Narasi lama diganti oleh narasi baru.

*Tulisan ini dimuat di https://janasoe.wordpress.com/2019/08/06/narasi-tentang-langit/


No comments:

Post a Comment