Sunday, August 18, 2019

DATA, STATISTIKA DAN LOGIKA

Data. Sebuah kata yang saat ini sangat bertenaga. Data kualitatif ataupun kuantitatif. Data yang bernilai pasti, yang diperoleh melalui penghitungan (data diskrit), ataupun data yang tidak pasti, yang diperoleh melalui pengukuran (data kontinyu). Juga data non-numeris atau data kategoris. Data dicari, dikumpulkan, dibagikan, dijual, juga dicuri. Digunakan untuk berbagai keperluan.


Data diupayakan sebagai realitas-terbaca. Manusia berusaha memahami dan sekaligus merekayasa realitas, alam ataupun sosial. Sejak jaman purba, orang-orang telah melakukan kegiatan perekaman data. Misal, orang-orang purba membuat gambar-gambar, atau coretan-coretan, di dinding gua-gua tempat tinggal mereka, semisal gambar hewan. Sedangkan orang-orang Babilonia, Mesir, dan China di jaman dahulu telah mengumpulkan informasi-informasi terkait pertanian (misal panen), perdagangan, dan juga data astronomi seperti pergerakan bintang-bintang, bulan dan matahari.

Di sekitar abad 6 Sebelum Masehi, Orang-orang Yunani Kuno telah mengadakan sensus penduduk guna kepentingan pajak masyarakat. Sensus merupakan salah satu cara survei untuk mendapatkan data secara menyeluruh, atau keseluruhan populasi. Sensus memerlukan watu, tenaga, dan biaya yang lebih banyak dibanding metode sample. Sementara itu, orang-orang Romawi adalah kalangan pertama yang mengumpulkan data secara masif, yang bersifat luas, terkait populasi, finansial, dan pertanian di wilayah imperium Romawi.

Realitas seputar data dibicarakan di dalam sebuah disiplin yang bernama statistika (statistics). Istilah statistika, dan statistik, berasal dari bahasa Latin “statisticus” yang kurang-lebih berarti terkait urusan-urusan negara, meski di era Romawi istilah ini belum digunakan untuk menyebut sebuah disiplin tertentu sebagaimana penggunaan di era  modern.

Beberapa kalangan menganggap disiplin statistika sebagai cabang dari matematika. Beberapa kalangan lain menganggap statistika sebagai bukan cabang matematika, melainkan suatu disiplin sains matematis tersendiri. Terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat tesebut, disiplin statistika berkaitan terutama dengan pengumpulan data, pengorganisasian data, dan analisa data. Juga tentang interpretasi, presentasi dan display data.

Pada statistika, data-data yang telah dikumpulkan, diorganisasikan, dan dianalisa, kemudian akan digunakan untuk memunculkan penjelasan-penjelasan terkait sesuatu yang telah terjadi dan — dalam batas-batas tertentu — sesuatu yang sedang terjadi. Data-data tersebut juga dapat digunakan utuk  memprediksi suatu peristiwa di masa depan, alias peristiwa yang belum terjadi. Tiga kategori waktu tersebut juga memiliki perbedaan jenis kebenaran masing-masing.

Statistika menggunakan data-data yang telah dikumpulkan dan diorganisasikan untuk kemudian dihasilkan suatu pandangan umum setelah melalui analisa ataupun interpretasi. Cara kerja ini — yakni berangkat dari analisa data singular atau partikular untuk menuju abstraksi pandangan general atau universal — disebut sebagai cara kerja induktif, atau generalisasi induktif. Logika induksi menjadi tulang punggung statistika, meski — dalam batas-batas tertentu — logika deduksi juga digunakan.

Biasanya, sebagaimana sudah di singgung di atas, inferensi induktif, atau logika induksi, dipahami sebagai suatu proses penyimpulan yang berangkat dari pernyataan-pernyataan singular (atau juga partikular) menuju pernyataan-pernyataan general atau universal. Namun, pada kenyataannya tidak selalu demikian. Argumen induktif juga kadang berlangsung dari general ke partikular. Penarikan kesimpulan dari partikular ke general, dan sebaliknya, tidak dapat digunakan sebagai kriteria untuk membedakan logika induksi dan logika deduksi. Misal:

Semua bebek yang ditemukan selama ini memiliki leher yang panjang.
Maka, bebek yang akan ditemukan selanjutnya akan memiliki leher yang panjang.

Premis-premis di dalam argumen induktif hanya memberi derajat probabilitas terhadap konklusi dan bukan kepastian. Hubungan antara premis-premis dengan konklusi bukanlah suatu keharusan logis tautologis. Konsep valid dan invalid tidak berlaku. Argumen induktif memiliki kriteria bersifat kuat dan lemah, serta meyakinkan dan tidak-meyakinkan. Argumen kuat berarti bahwa konklusi mengikuti premis-premis. Argumen meyakinkan berarti bahwa argumen tersebut bersifat kuat dan sekaligus memiliki premis-premis yang benar. Namun, sekali lagi, konklusi tidak memiliki kepastian.

Argumen induktif berdasar pada penalaran probabilistik. Dengan kata lain, kebenaran konklusi yang diperoleh di dalam inferensi induktif lebih merupakan probabilitas. Seberapapun sering atau banyaknya seseorang menghisap rokok tembakau, tetap tidak bisa dipastikan bahwa orang tersebut akan terkena kanker. Hanya peluang dalam derajat tertentu, dan peluang merupakan pemikiran yang mendasari statistika. Jika statistika dianggap sebagai cabang matematika, setidaknya oleh kalangan yang menganggap demikian, maka statistika menjadi salah satu tempat bersemayamnya ketidakpastian di dalam matematika itu sendiri.

Statistika berperan penting di dalam bekerjanya berbagai sains. Penemuan saintifik sering tidak lepas dari diterapkannya statistika yang bekerja dengan metode induktif. Beberapa kalangan berpendapat bahwa, di dalam penemuan saintifik, penyusunan suatu teori atau hipotesis dibangun dengan prinsip induktif, yakni dari pernyataan-pernyataan singular menuju pernyataan umum. Pernyataan-pernyataan singular (atau partikular) dari observasi atau eksperimen menuju pernyataan-pernyataan umum berupa hipotesis atau teori. Namun, penerapan metode induktif dalam logika penemuan saintifik ini juga memiliki masalah. Setidaknya, David Hume dan Karl Popper membicarakan masalah induksi ini.

Menurut Hume, seberapapun banyaknya pernyataan singular, tetap saja inferensi pernyataan universal yang disusun dari pernyataan singular tersebut tidak dapat dijustifikasi. Di sini tidak akan ada argumen logis yang valid. Seberapapun banyaknya angsa berwarna putih yang kita temui, tidak bisa disimpulkan, dengan sifat kepastian, bahwa semua angsa berwarna putih.

Penolakan Hume bersifat psikologis, yakni manusia cenderung percaya pada hukum-hukum dan regularitas-regularitas. Fakta psikologis ini dikarenakan adat atau kebiasaan dalam mempercayai hukum-hukum, yang merupakan produk repetisi-repetisi observasi ataupun eksperimen. Hal-hal tertentu dipercaya berhubungan dengan hal-hal lain karena keserupaan atau kemiripan.

Hume memperlihatkan bahwa adalah tidak mungkin melakukan inferensi sebuah teori dari pernyataan-pernyataan observasi. Namun pendapat Hume ini tidak berpengaruh pada kemungkinan dilakukannya penolakan sebuah teori oleh pernyataan-pernyataan observasi. Di sini letak kejelian Popper, memecahkan persoalan induksi Hume, dan dengan begitu sekaligus mengajukan pemikiran “falsifikasi”. Hukum atau teori di dalam sains bersifat tentatif. Bukti baru akan menolak hukum atau teori lama, tanpa harus membuang bukti lama. Dengan demikian, hukum atau teori adalah dugaan (conjecture), atau hipotesis tentatif, yang diusahakan pembantahan (refutation) terhadapnya secara keras melalui berbagai observasi atau eksperimen.

Pemikiran Popper memang bukannya tanpa masalah. Namun, apa yang dilakukan Popper, dengan rasionalisme-kritis, merupakan sumbangan cukup penting bagi diskursus sains, dalam hal ini logika penemuan saintifik, agar tidak terjerumus ke dalam empirisme ekstrim, yang bisa saja menyusup melalui statistika. Sains bekerja dengan jalan empirisme ataupun rasionalisme, melalui logika induktif ataupun logika deduktif.

No comments:

Post a Comment