Tuesday, April 7, 2020

PILIHAN MORAL STRATEGI PENANGANAN COVID-19

Beberapa waktu yang lalu, sebuah team saintis dari Imperial College London membuat pemodelan terkait strategi penanganan penyebaran SARS-CoV-2. Model yang dikembangkan tersebut memperlihatkan bahwa dua strategi besar yang digunakan untuk merespon penyebaran SARS-Cov-2 bisa menghasilkan kemungkinan yang sama-sama buruk. Dua strategi besar tersebut adalah mitigasi dan supresi.


Pada strategi mitigasi, langkah yang diambil adalah dengan sengaja membiarkan virus menyebar. Apa yang dilakukan selanjutnya adalah mengatur agar tingkat transmi (penularan) virus tersebut berada pada level yang tidak mengakibatkan membanjirnya pasien-pasien di layanan-layanan kesehatan. Rumah Sakit merawat pasien Covid-19 hingga sembuh dan diasumsikan kemudian memiliki imunitas.

Di sini, gagasan herd immunity perlu dijernihkan, terkait dengan asumsi bahwa sekali seseorang terjangkit virus, maka selanjutnya ia akan memiliki kekebalan seumur hidup. Dalam konteks SARS-CoV-2, sebenarnya belum diketahui secara pasti tentang berapa lama seseorang akan tetap imun terhadap SARS-CoV-2.

Jika strategi mitigasi diambil, maka pertaruhannya adalah konsekuensi-konsekuensi jangka pendek yang mematikan. Banyak orang yang kemungkinan besar akan meninggal dunia dalam waktu beberapa bulan pertama. Terutama orang-orang berusia tua.

Sedangkan pada strategi supresi, langkah-langkah yang diambil adalah ditujukan untuk mengurangi tranmisi hingga ke level nol, yang artinya tidak ada lagi penularan di populasi bersangkutan. Keadaan ini dipertahankan sampai sebuah vaksin telah siap dipakai atau diketemukan. Hanya saja, strategi supresi mengasumsikan adanya pembatasan sosial yang keras dan ekstrem sampai saat tersedianya vaksin.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dari strategi supresi ini di antaranya adalah dampak jangka panjang terhadap ekonomi. Jika terjadi pemburukan keadaan ekonomi secara masif, maka kondisi tersebut akan memiliki dampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Memburuknya ekonomi bisa berakibat pada memburuknya kualitas kesehatan dan layanan kesehatan. Di dalam kondisi pemburukan demikian, mungkin akan mulai terjadi kematian demi kematian, apalagi jika vaksin belum tersedia dan terjadi persebaran virus gelombang kedua. Orang mungkin akan meninggal dalam jangka waktu yang lebih lama. Pada strategi supresi, apa yang dipertaruhkan adalah masa depan yang tidak pasti atau tidak diketahui.

Sebagaimana wawancaranya dengan Will Douglas Heaven di MIT Technology Review, Francois Balloux (saintis dari UCL yang juga tergabung dalam team ICL tersebut) mengatakan bahwa model ini tidak menyatakan strategi mana yang lebih baik. Ada dilema moral di sini. Kematian dramatis dalam jangka pendek ataukah ketidakpastian dalam jangka panjang yang nantinya juga bisa menimbulkan kematian. Jumlah kematian bisa sama-sama besar.

Sekarang kita ke Indonesia. Belum lama ini, wacana publik dibanjiri dengan debat pilihan kebijakan lockdown ataukah social/physical distancing. Lockdown dibayangkan mengacu pada apa yang dipraktekkan di Wuhan, yakni suatu isolasi ekstrem yang diterapkan oleh negara secara keras, membatasi pergerakan manusia, namun dengan skala nasional seperti di India. Sedangkan kebijakan social/physical distancing bersifat lebih longgar, di mana masyarakat masih bisa beraktifitas seperlunya, dan dianggap satu paket dengan gagasan herd immunity.

Jika dilihat melalui dua kerangka strategi yang telah disebut di atas, maka gagasan social/physical distancing dan herd immunity sesuai dengan strategi mitigasi. Sedangkan kebijakan lockdown sesuai dengan strategi supresi. Namun, asumsinya, sekali sebuah strategi  telah ditentukan — supresi dengan lockdown maupun mitigasi dengan social/physical distancing — maka harus benar-benar dijalankan oleh negara dan masyarakat secara disiplin, agar berjalan efektif. Jika terjadi pelanggaran, maka akibatnya akan lebih buruk, setidaknya secara hitung-hitungan matematis.

Jika dipararelkan dengan strategi mitigasi dan supresi model ICL, langkah lockdown maupun langkah social/physical distancing sama-sama berpotensi berakibat kematian dalam jumlah besar. Hanya masalah waktu: kematian dalam jumlah besar namun dalam waktu ringkas, atau ketidakpastian masa depan yang juga bisa menimbulkan kematian dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Sejauh ini, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lebih pada mengurangi kegiatan-kegiatan tertentu, seperti peliburan sekolah, serta himbauan social/physical distancing. Tidak ada isolasi ekstrem yang ditetapkan melalui produk hukum, dengan menyertakan pinalti (denda maupun penjara) yang ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Hanya saja, perilaku social/physical distancing tampaknya tidak begitu dipraktekkan masyarakat, sebaimana bisa diamati di kehidupan masyarakat di hari-hari ini. Di dalam keadaan demikian, persebaran virus akan lebih mudah dan lebih cepat. Banyak orang yang berpotensi terinfeksi SARS-CoV-2 sehingga lebih banyak orang yang dimungkinkan akan meninggal dunia.

Sedangkan kebijakan lockdown (isolasi ekstrem), meski belum pernah dipraktekkan di Indonesia, tampaknya juga akan bernasib tidak jauh berbeda jika kebiasaan masyarakat belum berubah dan negara tidak bisa memberi kompensasi ekonomi pada seluruh warga selama masa lockdown. Kebocoran kecil pada lockdown bisa berakibat virus menyebar secara senyap, terutama di perkampungan padat. Apalagi, kebijakan lockdown akan memiliki konsekuensi jangka panjang terutama terhadap ekonomi. Pemburukan ekonomi dalam jangka panjang bisa mengakibatkan pemburukan kualitas kesehatan masyarakat dan kemudian bermuara pada kematian demi kematian. Selain itu, memburuknya ekonomi juga berpotensi memunculkan persoalan sosial lainnya, semisal kriminalitas, kerusuhan sosial, atau konflik politik.

Hingga  hari ini, strategi yang digunakan Indonesia (pemerintah pusat) tampaknya lebih mendekati strategi mitigasi. Meski terlihat mencoba lebih agresif, namun kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang baru saja dikeluarkan melalui Peraturan Presiden juga lebih condong ke strategi mitigasi, yang berbeda dengan pilihan karantina wilayah (mengacu UU 6/2018) yang mendekati strategi supresi dengan lockdown.

Indonesia bisa saja mengambil jalan yang tidak identik dengan negara-negara lain, dengan mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kemampuan sumber daya ekonomi, keuangan negara, fasilitas layanan kesehatan, sosio-kultural, geografi, juga termasuk perbedaan kondisi cuaca dan iklim. Namun, persoalan dasar dan solusi dasarnya tidak boleh dilupakan, apapun strategi dan taktik yang hendak diambil. Pertama, bahwa pemutusan tranmisi virus terjadi jika antar individu terisolasi secara fisik. Kedua, ketahanan ekonomi individu harus tetap terjamin agar tidak menimbulkan persoalan semisal kurang gizi dan persoalan sosial lainnya yang bisa berakibat pada gagalnya isolasi antar individu.

Rumus normatif yang mendasari suatu kebijakan yang akan diambil adalah pertimbangan moral berupa: untuk kebaikan manusia. Masalahnya, di sini terjadi dilema moral. Strategi-strategi yang telah disebutkan di atas memiliki potensi yang sama, bisa menghasilkan kematian dalam jumlah besar. Hanya berbeda masalah waktu. Tentu saja, jika pemodelan ICL di atas diterapkan sebagai matrix bagi Indonesia, maka terlebih dahulu perlu diperhatikan perbedaan dan persamaan faktor-faktor yang ada di Indonesia dan di negara-negara lain. Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa manusia.***