Thursday, December 12, 2019

DILEMA PROTAGORAS

Jika Cicero mengatakan bahwa Sokrates memindahkan filsafat dari langit ke bumi, maka bisa juga dikatakan bahwa kalangan Sofis mempersiapkan jalan bagi kepindahan tersebut. Sofistik adalah gerakan intelektual di Yunani pada abad ke-5 Sebelum Masehi (SM) yang muncul sebagai konsekuensi atas syarat-syarat sosial di Yunani saat itu.

Meski banyak kalangan memandang negatif terhadap kalangan Sofis, namun kalangan Sofis turut berperan mengembangkan sistem pendidikan di Yunani. Sebagian besar mereka adalah guru yang berkeliling menawarkan pengajaran, dengan imbalan bayaran. Mereka terkenal sebagai ahli retorika, bidang yang saat itu banyak diperlukan oleh para politisi maupun para profesional di bidang hukum untuk memenangkan perdebatan. Salah satu tokoh penting kalangan Sofis adalah Protagoras (± 490-420 SM).

Suatu ketika, seorang anak muda kaya, bernama Euathlus, memohon pada Protagoras untuk menjadi murid Protagoras. Euathlus hendak belajar teknik orasi dan teknik memenangkan perkara di pengadilan. Selanjutnya, Euathlus membuat perjanjian dengan Protagoras terkait biaya pendidikan. Isi perjanjian antara Euathlus dengan Protagoras kira-kira adalah sebagai berikut.

Euathlus akan membayar setengah dari total biaya pendidikan di awal sebelum pengajaran dimulai. Setengahnya lagi akan dibayar setelah Euathlus memenangkan kasus pertama yang ditanganinya sebagai pengacara di pengadilan. Dengan kata lain, Euathlus memiliki hutang setengah biaya pendidikan pada Protagoras. Keduanya sepakat.

Ketika Euathlus telah menjadi murid Protagoras dan mengalami kemajuan pada studi yang ia geluti, ia tidak segera bekerja sebagai profesional dengan mengambil kasus pertama di pengadilan. Euathlus tampaknya menunda-nunda berprofesi di dunia hukum. Dengan demikian, maka hutang uang pada Protagoras juga belum akan dilunasi oleh Euathlus. Protagoras mulai kesal dan kemudian mengajukan tuntutan hukum, mendaftarkan ke pengadilan atas kasus perjanjiannya dengan Euathlus, tentang hutang uang pendidikan yang belum dilunasi. Protagoras menuntut muridnya sendiri.

Atas tuntutan Protagoras ke pengadilan tersebut, Euathlus akan bertindak sebagai pembela dirinya sendiri di pengadilan. Euathlus menjadi pengacara bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, Euathlus akan berprofesi sebagai pengacara dan menangani kasus pertama.

Pengadilan kemudian dimulai. Protagoras mengajukan argumen yang bertujuan menempatkan Euathlus pada posisi terjepit dengan hasil akhir bahwa Euathlus harus membayar uang pada Protagoras. Argumen tersebut kira-kira demikian:

Jika Euathlus kalah pada kasus ini, maka ia harus membayar Protagoras (melalui keputusan pengadilan). Jika Euathlus memenangkan kasus ini, maka ia harus membayar Protagoras (sesuai dengan isi perjanjian antara Protagoras dan Euathlus terkait biaya pendidikan). Euathlus pasti menang atau kalah pada kasus ini. Maka, Euathlus [harus] membayar Protagoras.

Euathlus kemudian memberi tanggapan berupa pembantahan atas argumen yang diajukan Protagoras. Isi jawaban Euathlus kira-kira demikian:

Jika Euathlus kalah pada kasus ini, maka ia harus tidak membayar Protagoras (sesuai dengan isi perjanjian antara Protagoras dengan Euathlus, bahwa Euathlus tidak memenangkan kasus pertamanya). Jika Euathlus memenangkan kasus ini, maka ia harus tidak membayar Protagoras (berdasar keputusan pengadilan). Euathlus pasti menang atau kalah pada kasus ini. Maka, Euathlus [harus] tidak membayar Protagoras.

Euathlus, sepintas lalu, tampak bisa memberi sanggahan atau jawaban yang lebih cerdik daripada Protagoras. Euathlus membalikkan situasi yang pada awalnya tidak menguntungkan bagi dirinya menjadi menguntungkan bagi dirinya. Euathlus terlihat bisa lolos dari jeratan argumen Protagoras.

Argumen yang dibangun oleh Protagoras adalah berbentuk dilema. Sementara itu, Euathlus berusaha menghindari dilema tersebut dengan teknik konterdilema. Dengan demikian, terdapat dua argumen yang berbentuk dilema dan konterdilema. Di tulisan ini, dilema dan konterdilema tersebut berbentuk konstruktif.

Argumen konterdilema yang dibangun Euathlus tidak mempersoalkan validitas formal argumen dilema yang dibangun Protagoras, melainkan hanya mencoba menghindari konklusi pada argumen Protagoras. Euathlus mengubah premis konjungif dan konklusi. Apa yang dipertahankan oleh argumen konterdilema Euathlus atas argumen dilema asli atau awal yang diajukan pertama oleh Protagoras adalah premis disjungtif. Di sini, konsekuen pada premis konjungtif telah diganti. Demikian juga dengan konklusi, yang diganti menjadi penyangkalan atau bertentangan terhadap konklusi argumen awal.

Dilema dan konterdilema memperlihatkan satu persoalan tertentu dilihat dari dua pendekatan yang berbeda. Istilah “dilemma” secara longgar dapat berarti “proposisi ganda”. Istilah dilema mulai populer digunakan di sekitar abad 15-16 M. Di dalam logika, dilema merupakan sebuah argumen di mana satu pilihan harus ditentukan di antara dua pilihan (alternatif) yang biasanya sama-sama buruk dan tidak diinginkan. Namun, dilema dan konterdilema pada Protagoras versus Euathlus memperlihatkan bahwa dilema tidak selalu berisi pilihan-pilihan yang bersifat buruk. Setidaknya bagi salah satu pihak yang sedang berlawanan. Dilema Protagoras ini kadang juga disebut sebagai “paradoks pengadilan”.

Beberapa kalangan meragukan kebenaran kisah Protagoras versus Euathlus, dan menganggapnya sebagai fiksi. Akan tetapi, banyak kalangan lain meyakininya sebagai kisah nyata. Khusus untuk kisah perseteruan Protagoras dan Euathlus,  setidaknya tercatat di dalam karya-karya tiga penulis pada awal abad Masehi, yakni Marcus Fabius Quintilianus (35-100 M), Aulus Gellius (125-180 M), dan Diogenes Laertius (180-240 M).

Narasi Protagoras dan Euathlus di atas adalah versi Aulus Gellius. Di dalam karyanya “Noctes Atticae”, Aulus Gellius menyebut argumen-argumen yang diajukan oleh Protagoras dan Euathlus sebagai contoh dari apa yang disebut oleh orang-orang Yunani sebagai “antistrefon” (antistrefonta). Orang-orang Latin menyebutnya “reciproca”. Argumen “antistrefon” ini, menurut Aulus Gellius, merupakan salah satu dari argumen-argume yang mengalami fallacy. Fallacy pada antistrefon muncul dari fakta bahwa argumen awal yang disajikan bisa diubah menjadi berlawanan-arah, dan digunakan untuk melawan argumen awal, sehingga kemudian ada dua argumen yang tampak sama-sama kuat dari kedua sisi.

Kasus Protagoras versus Euathlus seolah merupakan contoh dari pernyataan Protagoras yang berbunyi “Terdapat dua argumen yang berlawanan terkait segala sesuatu”. Sikap relativistik Protagoras juga tampak pada pernyatannya “manusia adalah ukuran untuk segala hal”.

Protagoras juga dikenal sebagai seorang skeptik, misal dalam pernyataannya “Tentang Tuhan-tuhan, saya tidak memiliki pengetahuan apakah Tuhan-tuhan ada atau tidak ada,...”. Dikisahkan pula bahwa tulisan-tulisan Protagoras dianggap menista keyakinan ketuhanan atau keagamaan populer saat itu, dan tulisan-tulisan karya Protagoras kemudian dibakar di depan publik oleh orang-orang Athena. Protagoras dianggap sebagai agnostik, atau atheis.

Sumber-sumber pengkisahan paling awal dan penting tentang Protagoras ada pada tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles.

Pada pengadilan Protagoras versus Euathleus, menurut Aulus Gellius, para yuri pengadilan beranggapan bahwa kedua argumen tidak bisa dipecahkan. Para yuri kemudian menunda keputusan kasus tersebut hingga waktu yang lama. Seandainya Anda adalah yuri, atau hakim, pada pengadilan Protagoras versus Euathlus tersebut, maka apa yang Anda pikirkan dan putuskan?