Friday, May 9, 2008

OLAH RAGA DAN IDEOLOGINYA (Refleksi Piala Dunia Sepak Bola 2002)

Pada hari-hari ini, hampir di berbagai tempat di seluruh benua di muka bumi diramaikan oleh hiruk-pikuknya perhelatan akbar kejuaraan dunia sepak bola. Kejuaraan olahraga antar negara ini selalu menyedot perhatian pecinta sepak bola. Kejuaraan sepakbola dunia tahun 2002 menjadi unik karena diselenggarakan di dua negara sekaligus, yakni Korea Selatan dan Jepang. Selain itu, juga karena event ini hanya diselenggarakan setiap empat tahun sekali. Tak pelak, seluruh mata pecinta bola tertuju ke Jepang dan Korea untuk mengikuti perkembangan yang terus berlangsung hari demi hari dan jam demi jam.


Kejuaraan Dunia Sepak Bola 2002 dan Media Massa

Bagi media massa, cetak maupun elektronik, momentum ini merupakan lahan subur bagi berita yang akan meningkatkan pendapatan perusahaan. Media massa tak henti-hentinya meliput dan melaporkan perubahan demi perubahan yang terus berlangsung dari arena pertandingan. Keadan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, membuat setiap orang serasa dilingkupi dunia sepak bola, atau setidaknya menjadi tahu bahwa ada sebuah event besar yang tengah berlangsung di suatu belahan bumi. Acara akbar ini sangat membantu dalam meningkatkan oplah penjualan media cetak, serta menaikkan rating dan memancing perhatian lebih masyarakat pada acara-acara media massa elektronik, yang menyajikan berita seputar dunia sepak bola, terutama berkaitan dengan kejuaraan dunia yang tengah berlangsung.

Kehausan masyarakat terhadap informasi seputar kejuaraan dunia sepak bola merupakan suatu peluang emas untuk meraup keuntungan bagi media massa, sehingga "Head Line" media cetak hampir setiap hari adalah berita tentang kemenangan atau kekalahan suatu tim sepak bola, atau juga "Breaking News" stasiun-stasiun televisi dan radio diisi perkembangan terakhir dari Jepang dan Korea Selatan. Media massa memberi porsi lebih pada pemberitaan sekitar kejuaraan dunia sepak bola, dengan memunculkan program-program ataupun rubrik-rubrik baru yang bersifat temporal dan instant. Selain oplah yang naik, keuntungan juga didapat dari sponsor atau pemasang iklan. Untuk media elektronik, di Indonesia, hak penyiaran pertandingan dimiliki (dan dimonopoli) oleh stasiun televisi RCTI. Padahal, perhelatan akbar ini berlangsung sekitar sebulan, mulai dari pembukaan hingga final kejuaraan, bahkan media massa telah menyajikan pemberitaan jauh hari sebelum acara dimulai, sehingga keuntungan mengalir bak air bah, baik dari sponsor dan pemasang iklan maupun dari peningkatan oplah penjualan.



Peluang Meraup Untung

"Demam" sepak bola seakan telah menular ke dalam setiap organ kehidupan manusia pecinta oleh raga tersebut. Hampir setiap aktivitas, setiap produk saat ini tidak jauh dari hal-hal yang bertautan dengan sepak bola, terutama bagi pecintanya. Setelah media massa merespon momentum ini, bidang-bidang lain tak mau tertinggal dan tak mau melewatkan kesempatan. Kita menjadi lebih sering menemui orang, dewasa maupun anak-anak, memakai atribut-atribut olah raga sepak bola (kaos, topi, celana, handuk, dll), bermotif tim-tim sepak bola ternama. Bagi para produsennya, momentum-momentum khusus seperti kejuaraan dunia sepak bola ini merupakan peluang untuk mendapat penghasilan lebih, karena setiap pecinta sepak bola pasti sedang ingin mengumpulkan atribut-atribut tim kesayangan mereka, dan produksi masal segera dilakukan produsen. Para pedagang, baik pedagang kaki lima, toko, pusat perbelanjaan, ataupun mall, segera memenuhi barang-barang mereka dengan dagangan yang beraroma sepak bola.

Peluang, atau ruang kesempatan mendapat keuntungan pada momentum kejuaraan dunia ini juga dibaca oleh produsen makanan dan minuman. Para manajer pemasaran perusahaan-perusahaan melakukan reposisioning, atau mencari strategi baru dalam menjual produk-produknya. Semisal, perusahaan minuman suplemen Extra Jos langsung merespon momentum ini dengan menampilkan pemain sepak bola kondang asal Italia, Alessandro Del Piero, sebagai bintang iklan. Tampil bersama selebritis Indonesia, Dick Doang, Del Piero menganjurkan pada khalayak Indonesia untuk tidak mudah menyerah dan jangan lupa selalu minum Extra Jos. Demikian pula dengan perusahaan-perusahaan lain, yang tentu saja tak mau melewatkan kesempatan emas untuk meningkatkan pendapatan keuntungan, dan tak jarang justru event besar ini mendatangkan rejeki nomplok yang tidak diduga. Misalnya, pasar-pasar swalayan di Inggris menjadi lebih sering diserbu masyarakat yang ingin belanja makanan dan minuman sebagai "teman penyerta" saat menonton pertandingan sepak bola Piala Dunia di televisi. Sebuah toko mampu menjual 1000 kaleng bir per menit, penjualan sampanye naik 1000 persen, dan jenis makanan lain seperti susu, telur, sosis, dan daging meningkat 350 persen.i

Sektor jasa dan pariwisata juga tak mau ketinggalan. Quality Hotel Yogya, sebuah hotel di Yogyakarta, menggelar acara "Nonton Bareng Piala Dunia 2002," dari pembukaan sampai final 30 Juni 2002, hanya dengan biaya first drink charge, khalayak umum sudah dapat menyaksikan pertandingan melalui TV layar lebar yang disediakan.ii Memang, lahan subur tersedia bagi para entrepreneur, bagi orang yang memiliki semangat dan naluri bisnis, dan hanya tinggal bagaimana memanfaatkan kesempatan yang diberikan event ini. Selain itu, Piala Dunia 2002 juga semakin ramai dengan disemarakkan oleh perjudian di tengah masyarakat, dari kelas teri sampai kelas kakap. Mereka saling bertaruhan atas tim favorit masing-masing.



Sepak Bola: Olah Raga, Pertunjukan, dan Rembesan Ideologis

Sepak bola merupakan salah satu bentuk olah raga yang banyak diminati masyarakat. Event olah raga satu ini termasuk paling sering diadakan, seperti Liga Indonesia, Liga Italia, Liga Inggris, Liga Champions, Piala Dunia, dan tentu saja selalu menyedot perhatian masyarakat pecintanya. Selain mudah dimainkan, sepak bola merupakan olah raga permainan yang memadukan antara keterampilan, strategi bermain, daya tahan, kesempatan, momentum, dan timing. Unsur-unsur tersebut membuat permainan sepak bola mengharuskan adanya disiplin ketat, namun juga sederhana, sehingga setiap orang dapat dengan mudah memainkannya.iii Gabungan unsur-unsur tersebut tak jarang menampilkan adegan-adegan yang lebih tepat disebut pertunjukan hiburan, karena para pemain sering menyajikan kepawaiannya, keindahan akrobatik dalam mengelola bola. Maka sepak bola kemudian tidak melulu bersifat olah raga, tetapi juga hiburan. Sepak bola merupakan kombinsi sport dengan entertainmen.iv

Walaupun diwarnai unsur-unsur estetis dan menjadi pertunjukan hiburan, sepak bola tetap merupakan salah satu cabang olah raga. Sebagaimana cabang olah raga lainnya, sepak bola pada awalnya merupakan salah satu aktivitas yang dimaksudkan untuk menjaga kebugaran tubuh, menyeimbangkan kesegaran jasmani dan rohani. Setiap orang membutuhkan kesehatan diri, jasmani maupun rohani, dan terdapat saluran-saluran tersendiri bagi upaya mencapai kesehatan tersebut. Kesehatan jasmani dapat diperoleh melalui, salah satunya, olah tubuh fisik, atau juga disebut olah raga. Sedang kesehatan rohani dapat diperoleh, salah satunya, melalui hiburan.

Olah raga itu sendiri kemudian memiliki ragam corak dan cabang-cabang, di mana masing-masing cabang memiliki peraturan, atau juga disebut aturan permainan, rule of the game. Ketika seseorang telah mempraktekkan satu cabang olah raga, dan mendalaminya, maka kwalitas pemain tersebut akan terlatih dan bertambah, sehingga ketrampilan pemain tersebut menjadi sesuatu yang enak ditonton, dan di sinilah nilai-nilai estetis muncul. Ketika telah dimasuki unsur estetika, olah raga menjadi aktivitas yang menarik, baik sekedar ditonton maupun memainkannya sendiri. Ketika tidak hanya menjadi kegiatan yang melulu olah tubuh, namun juga menyuguhkan pertunjukan hiburan melalui sisi-sisi estetis, aktivitas-aktivitas olah raga lebih sering diselenggarakan dengan tujuan ganda, yakni dalam rangka olah tubuh untuk kesegaran jasmani, maupun sebagai pertunjukan hiburan (kepuasan rohani).

Aktivitas atau tindakan manusia yang dilakukan berdasar pola atau system norma khusus disebut juga sebagai pranata (institution), dan olah raga termasuk salah satu golongan pranata, yakni somatic institution, pranata yang berfungsi untuk mengatur dan mengelola, memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan hidup manusia.v Namun pada perkembangannya, setelah diwarnai sisi estetis, olah raga juga masuk ke dalam golongan aesthetic and recreational institutions. Aesthetic and recreational institutions merupakan pranata-pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk menghayatkan rasa keindahannya dan untuk rekreasi.vi Pranata (institutions) itu sendiri dibedakan terhadap lembaga, organisasi (institute), yakni badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas tersebut.vii Terdapat tiga wujud kebudayaan, yakni sebagai kompleks ide-ide, kompleks aktivitas atau tindakan berpola, dan wujud benda fisik karya manusia.viii Pranata olah raga merupakan wujud ke-dua kebudayaan, dan sarana fisik olah raga (tempat, peralatan, seragam, dll) adalah wujud yang ke-tiga.

Sebagai salah satu bagian unsur kebudayaan manusia, olah raga tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan manusia, termasuk kepentingan-kepentingan manusia yang akan membentuk kebudayaannya. Pranata (institutions) dan Lembaga (institute) merupakan alat untuk merealisasikan kompleks ide atau system nila, sehingga baik pranata maupun lembaga merupakan alat yang dimasuki ide atau pemikiran manusia.

Pada masa kekaisaran Romawi, penguasa sering menggunakan olah raga sebagai salah satu alat untuk "mentidurkan" keterjagaan kesadaran kritis rakyat. Symbol-simbol olah raga digunakan untuk mengalihkan perhatian rakyat dari persoalan mendasar kehidupan. Pesta-pesta megah olah raga sering diadakan, dan tentu memakan biaya besar serta melibatkan tenaga rakyat yang tidak sedikit. Rakyat pun kemudian terlena, asyik larut dalam kemegahan pesta olah raga, sehingga sejenak lupa akan persoalan riil dan mendasar dalam kehidupannya. Nilai-nilai luhur kemudian diukur dari menang atau kalahnya kontestan olah raga, dan berdampak pada masyarakat bahwa fisik lebih diungulkan. Sementara itu, para kaisar telah mampu memberangus daya kritis masyarakat, sehingga para kaisar tersebut tetap dapat mempertahankan kekuasaan.ix

Kondisi stabilitas politik inilah yang sebenarnya diinginkan oleh setiap penguasa, dengan memanfaatkan segala ruang, kesempatan waktu, dan alat yang ada. Rakyat sering dijejali dengan hiburan-hiburan yang terlihat megah, walaupun sebenarnya artifisial. Namun dibalik itu semua sebenarnya terdapat usaha-usaha mengalihkan perhatian rakyat dari pikiran-pikiran kritis terhadap berjalannya sebuah system ekonomi-politik. Louis Althusser (1918-1990) mengatakan bahwa proses yang diinjeksikan oleh ideological state apparatus tidak berbeda dengan repressive state apparatus. Di dalam dunia olah raga, proses ideologis menyelinap dalam berbagai bagian apararus budaya, kemudian tampil di dalam bentuk penyembunyian dan pengalihan dari kenyataan kontekstual problem riil masyarakat.x

Olah raga kemudian juga dijadikan alat dalam rangka penyeragaman pikiran rakyat, yang diarahkan pada terbentuknya pola pikir tidak kritis terhadap kebijakan penguasa, ataupun system ekonomi-politik yang sedang berjalan. Rakyat dipaksa dan dikondisikan untuk berkonsentrasi pada pesta-pesta olah raga, sehingga perlahan-lahan tidak mengurusi persoalan politik, dan pada akhirnya melupakan sama sekali. Korea Selatan dan Jepang merupakan contoh mutakhir tentang efektifitas pesta olah raga dalam mengalihkan perhatian rakyat dari pikiran kritis terhadap kebijakan penguasa yang sedang berlangsung. Rakyat Korea Selatan hanyut dalam gemerlapnya pesta Piala Dunia 2002, dan melupakan kasus korupsi yang melibatkan putra presiden Kim Dae Yung. Demikian pula dengan rakyat Jepang yang tidak lagi (setidaknya menurun drastis dan hampir tidak ada lagi) mengkritisi kebijakan-kebijakan politik Perdana Menteri Junichiro Koizumi yang sebenarnya tidak populer lagi.xi



Kapitalisme Membaca Olah Raga

Saat ini hampir seluruh umat manusia di berbagai belahan dunia hidup dalam kungkungan system ekonomi perdagangan bebas. Perdagangan bebas merupakan mekanisme dalam system ekonomi Kapitalisme Liberal. Kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana alat-alat produksi dimiliki perorangan swasta, dan cara utama dalam pembagian pendapatan ditentukan oleh persaingan pasar bebas.xii Persaingan bebas ini memaksa setiap pihak yang kalah harus tersingkir, dan pihak yang menang akan mendominasi dengan modal yang semakin akumulatif. Ketatnya persaingan pasar bebas membuat setiap individu bekerja keras dengan segala cara untuk dapat menang, setidaknya mampu bertahan. Di satu sisi, kreativitas dan inovasi baru memang sering muncul, dan di sisi lain, penindasan struktural terhadap pihak-pihak yang kalah terus berlangsung. Dipacu oleh motivasi "menang" di dalam persaingan bebas, maka setiap ruang, bagi Kapitalisme, merupakan kesempatan dan peluang yang harus dimanfaatkan dalam rangka serta untuk mendapat keuntungan atau laba. Kapitalisme kemudian terkenal dengan kepiawaiannya dalam melakukan komodifikasi segala hal, dan segala sesuatu dijadikan komoditas yang dijual untuk mendatangkan laba.

Olah raga sebagai salah satu bidang kehidupan manusia akhirnya tak luput dari terkaman Kapitalisme. Di atas telah disebutkan bahwa olah raga selain sebagai aktivitas untuk menjaga kebugaran tubuh, juga berfungsi sebagai hiburan. Dua hal inilah yang kemudian dibaca Kapitalisme sebagai komoditas, dikomodifikasi untuk memperoleh keuntungan, terutama dari segi hiburan. Peran strategis yang dimainkan Kapitalisme di sini adalah akumulasi modal, ekspansi pasar, dan sekaligus reproduksi ideology. Sepak bola, sebagai contoh, merupakan salah satu cabang olah raga yang sangat popular dan digemari banyak orang dari beragai penjuru dunia (terindikasi dari meriahnya setiap kompetisi sepak bola di berbagai belahan dunia). Hal ini tentu saja merupakan ruang strategis bagi Kapitalisme dalam rangka mendapat legitimasi komersial dan politik yang diatur oleh kepentingan utilitarian.xiii Setiap aktivitas olah raga professional membutuhkan dana, apa lagi yang berskala besar. Kebutuhan terhadap dana untuk membiayai aktivitas tersebut dilihat oleh Kapitalisme sebagai pintu pertama untuk masuk. Maka tak heran apabila dalam setiap aktivitas pertunjukan olah raga terdapat iklan-iklan atau pesan dari sponsor, yang tak hanya dari organisasi usaha, namun juga individu yang memiliki cukup modal.

Bagi para sponsor, dan pemodal, besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai aktivitas olah raga adalah tidak menjadi persoalan selama terdapat posisi strategis dan keuntungan besar yang akan didapatkan, yakni citra (image) di tengah masyarakat, dan nama (brand) yang akan ditempatkan dalam pikiran setiap orang. Apabila posisi ini sudah didapatkan, proses penyeragaman pikiran masyarakat akan mudah dilakukan, baik dalam rangka politis, komersial, maupun ideologis. Jadi besarnya biaya yang keluar tidak menjadi masalah, selama akan mendatangkan keuntungan lebih besar. Seperti diakui oleh direktur PT. Bintang Toedjoe, Ir. Simon Jonatan, yang pihaknya mengontrak Del Piero selama satu tahun:"…apabila keuntungan kami sudah mencapai Rp. 10 miliar, tentu kita tidak segan-segan jika harus mengeluarkan dana sebesar Rp. 2 miliar." Simon mengaku bahwa perusahaannya masih harus membayar lagi untuk membeli hak siar penayangan di Indonesia.xiv



Olah Raga Tak Lagi Sekedar Olah Raga

Olah raga bukan lagi sekedar aktivitas atau usaha untuk memperoleh kebugaran dan kesehatan tubuh. Pada awalnya olah raga merupakan olah fisik untuk kesehatan dan kesegaran. Sentuhan-sentuhan estetis telah membuat olah raga tidak sekedar sebagai usaha olah fisik (untuk kesehatan jasmani), namun juga telah menjadi hiburan yang memuaskan sisi rohai manusia. Pada perkembangannya, di tangan Kapitalisme yang selalu memanfatkan setiap ruang sebagai bisnis, olah raga menjadi komoditas yang dijual untuk mendapat laba. Secara ideologis, manipulasi aktivitas olah raga ini telah dilakukan oleh penguasa yang pernah ada dalam sejarah. Hanya saja, pada masa system ekonomi Kapitalis, proses komodifikasi serta manipulasi olah raga semakin massif, kompleks namun juga halus. Aktivitas olah raga kemudian menjadi semacam "Billboard" yang penuh terisi pesan-pesan komersial, politik, dan ideology.

Sebagian besar atlit olah raga ditengarai telah mengalami pergeseran visi-misi terhadap olah raga. Bayaran dan bonus yang tinggi merupakan isyarat bagi atlit untuk bermain maksimal. Seorang atlit harus konsekwen dengan tinggi-rendahnya tariff bayaran, kwalitas harus sesuai dengan bayaran. Tanpa itu, seorang atlit mungkin akan dipecat. Maka kemudian, kwalitas seorang atlit akan dan seakan diukur dan ditentukan oleh tinggi-rendahnya bayaran. Olah raga kemudian menjadi suatu pekerjaan untuk mendapat uang, menjadi sebuah profesi.

Setiap orang memiliki kwalitas khas individu. Namun, ketika seorang atlit telah terjun ke dalam kompetisi-kompetisi publik, ia berhadapan dengan massa penonton (dianggap pasar konsumen), dan pemilik modal (pemilik klub, perusahaan sponsor, dll). Di dalam dunia demikian, atlit dikondisikan (dipaksa) memenuhi antara tuntutan diri, pasar (penonton), dan pemodal. Pemilik modal mengukur atlit dari performa yang ditampilkan (profesionalitas) dan dari respon masyarakat terhadap atlit (sisi komersial). Tak tanggung, pemodal (termasuk Negara) sering memberi bonus lebih, selain gaji, kepada atlit, sebagai pemacu. Tim nasional Italia misalnya, menjanjikan bonus sekitar Rp. 1,4 milar apabila para pemain berhasil menggondol Piala Dunia 2002.xv Sementara otoritas tertinggi Brasil dalam sepak bola menjanjikan USD 150. 000 untuk pemainnya, Inggris: Rp. 2,8 miliar, dan tim-tim lainnya juga melakukan hal serupa.xvi

Bayaran dan bonus yang dijanjikan akan, secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh pada kwalitas atlit. Mungkin seorang atlit berusaha keras untuk professional. Namun ketika ia hidup dalam alam komersialistik, ia terkondisikan utuk menerima bayaran, dan ini merupakan awal dalam sport entertaimen baginya. Visi dan misi olah raga sebagai kebugaran fisik telah tercampur dengan tujuan profit. Olah raga semakin bertekuk lutut di hadapan tuntutan-tuntutan komersial.xvii Maka kemudian atlit-atlit olah raga yang sukses juga dianggap "selebritis," sebagaimana penyanyi dan bintang film, dengan kehidupan glamour yang dijadikan bahan sensasional media massa. Misalnya, belum lama ini David Beckham, pemain sepak bola Manchester United, mengadakan syukuran kesembuhan cedera kakinya, yang berujud sebuah pesta dengan biaya 350 ribu poundsterling (sekitar Rp. 5 miliar), dan menundang orang-orang ternama, dari artis film, musikus, pemain sepak bola, dan juga kalangan usaha seperti Mohammad Al Fayed.xviii

Oleh karena gaya hidup glamour beberapa atlit olah raga, dan memang beberapa cabang olah raga memerlukan biaya yang tidak sedikit (misal balap mobil dan motor), serta industrialisasi olah raga itu sendiri, maka Theodor Adorno (1903-1969) mengindikasikan munculnya sejenis olah raga borjuis dan sport kapitalis, di mana sisi komersialnya acap kali menjadi aspek pokok dalam menilai prestasi dan prestis olah raga.xix

Betapa olah raga tidak sekedar olah raga lagi!***

Yogyakarta, Juni 2002

Catatan:
i Kompas 2 Juni 2002
ii Kedaulatan Rakyat, 8 Juni 2002
iii G.B. Suparta dalam Kedaulatan Rakyat, 7 Juni 2002
iv Ibid.
v Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Rineka Cipta: 1990, hal.167
vi Ibid.
vii Ibid., hal.165
viii Ibid., hal.186-187
ix Yudi Latif dan Idy Subandy Ibrahim dalam Idy Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaludin Malik (ed.), Hegemoni Budaya, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya: 1997. hal.202
x Ibid.
xi TVRI (Televisi Republik Indonesia), dalam Berita Malam, 10 Juni 2002, pukul 21.00 wib.
xii Robert Heilbroner, Terbentuknya Masyarakat Ekonomi, tanpa kota, Bumi Aksara: 1994, hal.17. (Asli:The Making Economic Society, eight edition Revised for the 1990. Alih bahasa: Anassidik)
xiii Latif dan Idy Subandy Ibrahim, op. cit., hal. 201.
xiv Jawa Pos, 21 Mei 2002.
xv Kedaulatan Rakyat, 17 Mei 2002.
xvi Jawa Pos, loc. cit.
xvii Latif dan Idy Subandy Ibrahim, op. cit., hal. 200.
xviii Kedaulatan Rakyat, 14 Mei 2002.
xix Latif dan Idy Subandy Ibrahim, op. cit., hal. 201.