Tuesday, May 27, 2008

DI BAWAH NAUNGAN KRISIS SEKTOR KEUANGAN


Sebagian kalangan menghimbau agar perbankan mengurangi pengucuran kredit konsumtif, seiring laju inflasi yang terjadi akhir-akhir ini. Kalangan yang lain menyatakan pengurangan tersebut tidak akan begitu berpengaruh, mengingat inflasi saat ini lebih disebabkan dari sisi penawaran. Di sisi lain, bank sentral harus siap menampung aliran dana dari perbankan jika terjadi kenaikan likwiditas akibat penurunan kredit konsumsi, mengingat kredit modal kerja dan kredit investasi yang stagnan. Sebenarnya, akan kemanakah kapital uang mengalir?



Kredit Konsumtif Perbankan

Menurut Dirjen Industri Alat Transportasi dan Telematika (IATT) Departemen Perindustrian, Budi Darmadi, produksi sepeda motor di Indonesia pada tahun 2008 diperkirakan naik 600 ribu hingga 800 ribu unit. Selain Depperin, Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) dan produsen sepeda motor memperkirakan pasar sepeda motor di Indonesia akan mencapai 5 juta unit, dengan penjualan sekitar 4,4 juta unit, dan 200 ribu lainnya diekspor Yamaha. Depperin sendiri memproyeksikan produk sepeda motor mencapai 7 juta unit pada 2010, yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.i

Realisasi proyeksi peningkatan jumlah produksi sepeda motor tersebut setidaknya akan menjamin keberlangsungan aktivitas pabrik, sehingga tenaga kerja terpakai. Dari segi penawaran, peningkatan produksi akan menaikkan tingkat penawaran sepeda motor di dalam negeri. Namun di dalam kondisi tingkat pendapatan tetap dan daya beli berkurang secara relative, peningkatan sisi penawaran akan disambut konsumsi yang berbasis pada kredit. Singkatnya, penawaran produk sepeda motor merupakan salah satu penyumbang peningkatan kredit konsumsi tahun ini, yang juga disumbang dari faktor lainnya, termasuk misalnya property dan kartu kredit.

Padahal, menurut data BI, pada Maret 2008 saja kredit konsumtif sudah tumbuh 6% dari Desember 2007, jauh di atas pertumbuhan kredit modal kerja yang 1,85%, dan kredit investasi 4,4%.ii Data tersebut melanjutkan trend yang telah berlangsung beberapa tahun terakhir, di mana pertumbuhan kredit konsumsi menduduki peringkat teratas di banding kredit modal kerja dan kredit investasi. Selain sektor riil tidak akan banyak kemajuan, karena kurangnya kredit investasi dan modal kerja, situasi ekonomi saat ini akan rentan terhadap kredit macet karena prosentase inflasi lebih tinggi dari pada kenaikan tingkat pendapatan.

Pertumbuhan kredit konsumtif berpotensi besar pada peningkatan inflasi serta menjadi ancaman akan adanya gagal bayar yang akan meningkatan NPL (Non Performing Loan) bagi sebuah perekonomian di mana tingkat pendapatan penduduk tetap atau menurun secara relative. Kredit macet tersebut akan memaksa bank sentral turun tangan menyehatkan likwiditas, yang berarti pula mengalirnya uang Negara pada dunia perbankan. Sedangkan Indonesia sendiri memiliki pengalaman buruk dengan kekacauan dunia perbankan yang bermula pada krisis 1997.



Gejolak Sektor Keuangan

Sektor keuangan merupakan wilayah paling rentan dalam perekonomian kapitalisme, namun juga paling kejam, baik di bidang moneter, pasar modal, maupun perbankan. Gejolak sektor keuangan berdampak besar pada aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Semisal, jatuhya Baht Thailand pada 2 Juli 1997 segera menyeret Rupiah Indonesia yang terdepresiasi 7% pada 21 Juli 1997, dan semakin memburuk hingga mencapai kisaran Rp. 17.200 per dolar AS pada pertengahan 1998. Inflasi yang mencapai puncaknya 82,40% pada September 1998iii merupakan deklarasi kemerosotan kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Segera, sektor riil ikut tersungkur dan terkapar.

Krisis finansial 1997 telah menyedot lebih dari 50% PDB Indonesia waktu itu untuk menyehatkan perbankan yang kolaps, meskipun kemudian banyak dari program-program pemerintah untuk penyehatan sektor finansial, khususnya perbankan, mengalami kontradiksi internal, baik disebabkan persoalan paradigmatik, sistemik dan programatik maupun karena moral hazard atau penyimpangan para pejabat (misal, BLBI yang berpihak pada lintah darat, atau didirikannya BPPN yang sering diibaratkan kampung maling).

Contoh lain, memburuknya pasar mortgage (krisis subprime mortgage) dan beban hutang jutaan rumah tangga (kredit macet properti) di Amerika Serikat belum lama ini diakui sebagai ancaman nomor satu, mungkin hingga dua tahun mendatang. Krisis tersebut diperkirakan merugikan institusi keuangan hingga ratusan miliar dolar Amerika. Keadaan ini segera menular pada perekonomian internasional, dan diakui PBB melalui laporan tentang situasi sosial dan ekonomi regional 2008 yang menyatakan bahwa krisis finansial di AS telah menyulitkan perekonomian Asia Pasifik sehingga memasuki fase ketidak pastian.

Awal tahun 2008 ini pemerintah RI dengan bangganya rajin menyombongkan capaian perbaikan sektor keuangan. Performa indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia selama kurun 2007 (merupakan yang terbaik di Asia, dan terus naik 57% dari posisi 1.805 ke 2.830 pada 9 Januari 2008), turunnya suku bunga acuan, dan meningkatnya nilai asset instrument-instrumen finansial (saham, SBI, SUN) hingga lebih dari Rp. 150 trilyun merupakan beberapa contoh yang kerap dipamerkan pemerintah.

Namun sesuai data yang diumumkan BPS, meskipun pengangguran terbuka Februari 2008 menurun 1,12 juta (8,46%) dibanding Februari 2007 yang 10,55 juta (9,11%), pada kenyataannya penyerapan di sektor formal hanya 31% dan sektor informal 69%.iv Hal ini menunjukkan pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi rakyat. Pertumbuhan makro ekonomi saat ini lebih merupakan refleksi kenaikan indeks pada sektor keuangan, yang tidak mewakili kondisi riil ekonomi rakyat. Padahal, tumbuh pesatnya sektor keuangan hanya dinikmati segelintir orang, terutama para banker, fund manager dan investor pada berbagai instrumen investasi keuangan milik pemerintah maupun swasta. Portofolio instrument investasi keuangan yang dibanjiri dana jangka pendek, termasuk asing, serta tingginya jumlah dana perbankan yang diparkir di sertifikat BI merupakan dua contoh bagaimana sebenarnya para pelaku ekonomi tidak fanatik dengan sektor riil dan ekonomi rakyat pada umumnya, namun lebih mengejar profit individu. Maka kebanggaan pemerintah terhadap capaian sektor finansial, dengan sering dipamerkannya data-data statistik, adalah kebanggan semu jika dihubungkan dengan tingkat pertumbuhan kesejahteraan rakyat.



Peranan Kapital Riba

Uang adalah bentuk kapital yang paling lincah dan praktis, digunakan untuk mendatangkan nilai baru di samping nilainya sendiri, dan juga dipinjam-bungakan yang biasa disebut oleh masyarakat sebagai riba. Bank, sebagai bentuk modern kapital riba, berpengaruh dan berperan besar serta paling menentukan dalam system ekonomi kapitalisme. Kapital bank merupakan sentra aktivitas ekonomi kapitalisme dalam perdagangan dan industri, mengingat besarnya peranan uang, dan kapital bank paling berkuasa atas kapital uang. Kapitalis bank juga bisa menguasai dan memimpin kapital industri dan perdagangan, berperanan dalam sirkulasi serta gerak perkembangan ekonomi kapitalisme.

Aktivitas produksi merupakan basis yang vital, dan aktivitas perdagangan merupakan penghubung, perantara dan penyalur antara produsen dengan konsumen. Namun, baik produksi maupun perdagangan butuh uang sebagai alat operasional. Di sinilah letak strategisnya para banker, dan juga investor di pasar modal, yang menyediakan kebutuhan uang pada sektor produksi dan perdagangan. Tak heran jika kemudian pemerintah mengkramatkan istilah banker dan investor di pasar modal maupun di instrument keuangan lainnya.

Pada perkembangannya, kapital uang tidak hanya dipinjam-bungakan, namun diperdagangkan layaknya komoditas yang nilainya ditentukan oleh pasar, yang kemudian difasilitasi ke dalam pasar derivative, bersama dengan komoditas lainnya. Maka para pedagang pasar derivatif, atau spekulan, memiliki peran turut menentukan nilai suatu mata uang, juga nilai suatu komoditi.

Namun, apabila terjadi krisis dalam sektor finansial, dampak yang ditimbulkan akan sangat memukul kondisi perekonomian secara keseluruhan, dan yang paling menderita adalah para pelaku ekonomi kecil, yang harus memikul beban inflasi maupun resesi, terlebih stagflasi. Pihak yang kaya akan lebih mampu bertahan dari pada pihak yang lebih miskin (yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin). Sementara, para aktor finansial dapat tetap mengambil keuntungan dari setiap perubahan keadan ekonomi, dengan mobilisasi kapital uang dalam bentuk angka-angka yang berpindah dari satu instrument investasi ke instrument lain, maupun dengan akrobat penempatan berbagai jenis order.



Penutup

Seiring naiknya harga minyak dunia akhir-akhir ini, tekanan inflasi mulai menguat di dalam negeri. Pada saat yang sama, rakyat sedang bergelut dengan ekonomi riil dan mendasarkan hidup mereka pada setiap sen hasil keuntungan dari sana, yang terancam merosot daya belinya akibat inflasi. Sementara, sektor keuangan, perbankan pada khususnya, sedang asyik dengan dunianya sendiri.

Naluri kapital uang bukan lah etis, melainkan ekonomis, yakni menghisap, mengembang, dan memusat. Kapital uang akan bergerak ke arah pengeraman dan pembiakan. Selama terdapat tempat di mana tersedia kesempatan pelipat gandaan yang terbesar, maka ke sanalah kapital uang akan mengalir. Oleh karena itu, diperlukan upaya ekonomik-sistemik pula untuk menjinakkan pergerakan kapital uang yang ugal-ugalan, sehingga tidak membahayakan sektor riil dan kehidupan ekonomi rakyat pada umumnya.

Tanpa pengaturan tersebut, nasib jutaan rakyat Indonesia akan ditentukan oleh mekanisme ketidak pastian di instrument-instrumen investasi keuangan yang dimainkan para banker dan spekulan sebagai aktor-aktor yang menggerakkan kapital uang. Pada aktor-aktor tersebut potensi naluri etis itu seharusnya berada. Namun, naluri etis tersebut harus diterjemahkan oleh Negara ke dalam bentuk legal (formal), karena himbauan etis saja tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah

Tidak ada yang salah jika acara jamuan dengan kalangan banker di Istana Merdeka, Jakarta (4/4/08) lalu merupakan upaya SBY melakukan koordinasi dan komunikasi menyikapi ancaman resesi global yang dapat memicu krisis keuangan di dalam negeri. Pada acara tersebut, SBY meminta dukungan perbankan bagi peningkatan produksi pangan dan energi. Namun bagaimana jika acara tersebut lebih merupakan salah satu sinyal kecenderungan pemerintah memberi prioritas dan fasilitas berlebih pada sektor finansial, dan perbankan pada khususnya? Maka, siapa sebenarnya yang menjadi penguasa dan menentukan arah berjalannya ekonomi-politik di negeri ini?***

Yogyakarta, 21 Mei 2008



Catatan:
i Kedaulatan Rakyat, 17/4/2008.
ii Kompas 16/5/2008, hal.17.
iii Lihat Sri Adiningsih dkk, 2008, Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia, Badai Pasti Berlalu?, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
iv Jawa Pos, 16/5/2008, hal.8.