Tuesday, July 29, 2008

PERSAINGAN SEIRING BERAKHIRNYA PEACE CLAUSES LAPSE


Saat ini, beberapa kalangan khawatir perang dagang bakal terjadi disebabkan konflik antar negara produsen pertanian, dan juga seiring dengan berakhirnya Peace Clauses Lapses pada 1 Januari 2004. Sampai saat ini pula, pemerintah negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan Uni Eropa (UE), secara besar-besaran mensubsidi sektor pertanian mereka, yang diperkirakan mencapai ratusan miliar dollar AS, dan subsidi tersebut jumlahnya melebihi total bantuan yang diberikan pada negara-negara berkembang. Hal ini jelas mendapat kecaman dari negara penghasil produk pertanian lainnya, karena dianggap tidak adil dalam tata perdagangan global. Walaupun selama ini telah terdapat berbagai macam forum yang dikhususkan sebagai wadah perundingan tata perdagangan internasional, namun belum ada kata sepakat diantara negara yang bersangkutan mengenai pemecahan persoalan tersebut, karena negara-negara maju sering bersikukuh pada kebijakan subsidi sektor pertanian mereka.


Peace Clauses Lapses merupakan kesepakatan yang memungkinkan sebuah negara memberi subsidi pada petani mereka, sehingga setelah berakhir pada 1 Januari 2004 mendatang, negara-negara penghasil pertanian yang merasa dirugikan kemungkinan besar akan melakukan protes dan gugatan hukum melalui WTO, karena selama delapan tahun pakta tersebut diberlakukan, segala persoalan subsidi produk pertanian dibahas dalam meja perundingan, dan sering mengalami jalan buntu. Forum-forum internasional, baik yang berkaitan dengan pertanian maupun perdagangan, sering tidak menghasilkan solusi-solusi yang memadai dan malah gagal, seperti di Cancun, Mexico bulan September lalu.


Negara-negara penghasil produk pertanian yang telah bersiap-siap “menyerang” AS dan UE adalah Brasil dan Australia, yang mungkin akan bersekutu bersama New Zeland dan Argentina. Para pejabat kedua belah fihak pun mulai memberi pernyataan-pernyataan pemanasan, karena bagaimanapun juga AS dan UE juga akan melakukan pembelaan. Menteri Luar Negri Brasil, Celso Amorim, menganggap bantuan yang diberikan oleh negara maju pada negara berkembang sekedar sebagai pemanis saja agar terlihat membantu, dan persoalan kemiskinan negara-negara berkembang menuntut agar kebijakan subsidi sektor pertanian negara maju di dalam negeri segera dihentikan. Demikain juga Duta Besar Australia untuk WTO, David Spencer, mengatakan bahwa berakhirnya Peace Clauses Lapses akan segera diikuti gugatan pada AS dan UE atas subsidi mereka yang telah merugikan negara mitra dagang. Namun justru Franz Fischler, Kepala Perdagangan Pertanian UE, sebagaimana dikutip Financial Times, menyatakan bahwa gugatan hukum tersebut justru akan merusak pembicaraan perdagangan bebas WTO dan akan memperburuk proses perundingan.( Kompas, 27 November 2003,hal.13).


Di dalam sebuah persaingan akan terdapat fihak yang menang dan ada fihak yang kalah. Kebebasan dalam konteks ekonomi yang dibawa oleh para pemikir liberal bukanlah kebebasan individu dalam hubungannya dengan individu lain, melainkan kebebasan modal dalam menggilas pekerja. Perdagangan bebas internasional menghasilkan kemakmuran suatu bangsa dengan cara mengorbankan bangsa lain. Pada sebuah negara, perdagangan bebas menciptakan kemakmuran satu kelas dengan jalan mengorbankan kelas lain.


Perang dagang yang mungkin terjadi pada tahun-tahun mendatang, jika prediksi tentang gugatan negara penghasil produk pertanian terhadap AS dan UE memang terjadi dan membuahkan konflik, maka merupakan perang yang tidak begitu memberi sumbangan signifikan pada cita-cita keadilan ekonomi antar negara maupun antar individu, karena relatifitas kemakmuran itu sendiri. Jika ditinjau dari perspektif tingkat kemakmuran, Australia serta New Zeland jelas bukan negara berkembang. Apabila dilihat dari kacamata ekonomi politik, sebagian besar negara pengekspor produk pertanian yang tergabung dalam Cairns, termasuk Indonesia, yang akan melakukan gugatan terhadap AS dan UE menganut faham liberal yang berbasis pada kebebasan individu dalam memaksimalkan kepemilikannya, kapitalisme. Sedangkan WTO sebagai organisasi yang diangap saebagai polisi perdagangan dunia, sebenarnya berangkat dari kepentingan melindungi aset kapitalis yang ditanam di negara miskin serta penyokong perusahaan swasta transnasional, atau dikenal TNCs (Trans National Corporations).


Namun tentunya AS dan UE akan berdalih bahwa pertanian tidak termasuk dalam tata perdagangan internasional, karena persoalan subsidi pertanian adalah persoalan pertanian. Selain itu, strategi melindungi produk dalam negeri seminimal mungkin dilakukan dengan sistem proteksi, karena hal ini akan mengingkari tata perdagangan global sebagaimana dalam kesepakatan GATT yang diteruskan dalam WTO, melainkan dengan cara mensubsidi sektor pertanian yang telah diijinkan oleh Peace Clauses Lapse. Hal ini di satu sisi tidak melanggar ketentuan pasar bebas, karena produk pertanian asing bisa masuk. Namun di sisi lain, dengan subsidi, termasuk teknologi, yang diberikan pada sektor pertanian dalam negeri, maka kualitas produksi akan meningkat dan harga jual menjadi lebih murah. Sebagai konsekwensinya, produk pertanian impor yang kwalitasnya buruk serta harganya mahal, tidak akan laku di pasaran.


Padahal, produk pertanian merupakan salah satu komoditas ekspor utama negara-negara berkembang. Jika harga produk pertanian mereka lebih mahal dari pada produk harga pertanian Negara-negara maju, maka bukan tidak mungkin malah pada gilirannya nanti Negara-negara berkembang melakukan impor produk pertanian dari Negara-negara maju. Bagi negara-negara berkembang, hal ini berdampak pada kehancuran produktivitas pertanian dalam negeri dan ketergantungan pada produk pertanian impor dari Negara-negara maju. Dan ketimpangan tata ekonomi politik internasional masih akan berlanjut.***


Yogyakarta, Desember 2003