Monday, August 4, 2008

UU 19/2002 HAK CIPTA DAN PERSOALANNYA


Undang Undang (UU) No. 19 tahun 2002 tentang hak cipta telah diberlakukan sejak 29 Juli 2003 yang lalu. UU yang berisi jaminan karya intelektual tersebut merupakan upaya hukum melindungi hak-hak para pencipta yang hasil ciptaannya dipatenkan. Selama ini, Indonesia disebut sebagai negara yang memiliki reputasi buruk dalam menghargai hasil karya, dengan indikasi banyaknya praktek pembajakan (misal terhadap lagu, film, atau software komputer). UU yang baru ini diproyeksikan mampu menghilangkan, minimal menekan, tindakan pembajakan terhadap hasil karya.



Menyangkut aspek ekonomis, kasus pembajakan dapat dilihat dari persepektif kepentingan konsumen dengan produsen. Mayoritas para konsumen di Indonesia dikategorikan sebagai masyarakat ekonomi negara dunia ke tiga jika dilihat dari tingkat kehidupan ekonomi mereka. Pendapatan mereka tentu saja lebih rendah didanding pendapatan penduduk Negara maju.


Oleh karena tingkat pendapatan yang rendah di satu sisi, dan keinginan mengakses karya yang telah dihasilkan para ahli di bidang masing-masing, di sisi lain, maka jalan yang memungkinkan dilakukan penduduk miskin negara dunia ketiga adalah dengan membeli produk yang murah, meskipun bajakan. Sementara itu, pihak produsen resmi belum bisa menyediakan produk yang relatif murah, menyangkut biaya produksi yang tidak sedikit dan juga ambisi profit yang berlebihan. Maka di sinilah peran besar para pembajak berada. Pembajak memiliki orientasi pada keuntungan yang sebanyak-banyaknya, dengan pengeluaran yang sedikit mungkin. Hal ini dilakukan melalui jalan pintas, melanggar ketentuan hukum yang mengatur hak cipta, produksi dan kopi. Adanya produk-produk bajakan di sisi lain dimanfaatkan oleh para sebagian pedagang (terutama pedagang kaki lima) sebagai sumber pendapatan ekonomi, dan hal ini berarti menyangkut lapangan kerja.


Masyarakat lebih suka pada produk bajakan karena harganya lebih murah dibanding harga produk aslinya. Pemerintah seharusnya mampu memberi solusi yang cerdas. Bagaimana mungkin masyarakat akan membeli produk asli jika harganya jauh dari jangkauan daya beli masyarakat. Harga penjualan produk disesuaikan dengan ongkos proses produksinya, dan dalam relasi ekonomi global saat ini tentu saja variabel internasional juga dimasukkan.


Indonesia merupakan negara dunia ketiga yang tingkat pendapatan dan taraf hidupnya berbeda dibanding negara maju. Padahal, dalam relasi ekonomi global, harga produk akan ditentukan oleh pasar internasional, dan negara dunia ketiga akan tertinggal di dalam kemampuan konsumsi dan produksinya, yang diakibatkan modal yang dimiliki sangat terbatas, bahkan kurang. Seperti misal harga software komputer yang orisinal terasa sangat mahal di Indonesia, walau mungkin di negara maju tergolong dalam harga yang dapat dijangkau. Tidak mengherankan jika kemudian masyarakat Indonesia memilih software bajakan yang harganya murah. Singkatnya, tingkat pendapatan masyarakat juga merupakan faktor yang menentukan dan harus diperhatikan, karena kemiskinan akan mengaburkan batas-batas legalitas.


Secara yuridis, hukum formal telah menetapkan ketentuan perlindungan terhadap karya cipta, dan sanksi terhadap aksi pembajakan yang telah dikategorikan sebagai tindak pidana. Akan tetapi perlu diingat bahwa hukum adalah das sollen bersifat pasif, dalam arti merupakan sekumpulan normatif semata.


UU yang mengatur hak cipta memang telah dibuat, dan langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah penegakan hukum secara konsisten dan cerdas. Tanpa hal tersebut, maka ketentuan hukum hanyalah ketentuan hukum yang tidak ada efeknya, semisal UU anti perjudian. Meskipun sudah terdapat ketentuan hukum yang melarang perjudian, namun tidak berarti bahwa perjudian lenyap. Misal, saat ini bentuk perjudian yang marak adalah lotere (Togel, Totor, dll). Maraknya praktek perjudian ini tak lepas dari "bermainnya" pihak-pihak yang justru sebenarnya berwenang memberantasnya. Adanya aparat penegak hukum yang memungut "upeti", dengan imbal balik pembebasan dan perlindungan (termasuk informasi ketika akan dilakukan razia dan penggrebegan) terhadap para penjual kupon lotere, telah membuat perjudian ini sulit diberantas. Hal ini juga bisa terjadi terhadap kasus peredaran prduk-produk bajakan (kaset, CD, VCD, dll), yakni kemungkinan munculnya penyimpangan-penyimpangan baru yang dilakukan aparat penegak hukum. Bukan tidak mungkin para aparat tersebut akan menarik upeti dari para pedagang produk bajakan, baik dari pedagang kecil, menengah, bahkan hingga ke produsennya. Jika hal ini terjadi, maka diberlakukannya UU tentang hak cipta malah merupakan awal dari munculnya penyimpangan baru yang dilakukan aparat negara, dan UU No. 19/2002 kembali hanya menjadi pajangan bersama sekian produk hukum lainnya yang juga hanya dijadikan pajangan.


Ada persoalan kultural yang terlanjur mengendap di dalam masyarakat, termasuk di dalam aparat penegak hukum. Persoalan kultural di sini menyangkut cara pandang masyarakat terhadap nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Anggapan bahwa penyimpangan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, adalah hal yang umum sehingga dibiarkan saja di dalam sebagian masyarakat kita, merupakan persoalan kultural. Sebagian masyarakat mengalami pergeseran dalam memandang nilai-nilai tersebut, dengan membiarkan tindakan penyimpangan dan pelanggaran, dan juga karena apatisme yang akut, yang pada akhirnya justru terjadi proses pembenaran oleh para pelaku penyimpangan terhadap tindakan mereka. Oleh karena itu, pembajakan dan juga aksi backing perjudian yang dilakukan aparat, seperti telah mendapat "izin" dalam masyarakat kita.


Penegakan hukum hendaknya dilaksanakan secara konsisten namun cerdas, bijaksana, solutif, dan dengan memakai skala prioritas. Jangan sampai pihak yang diberantas hanya pedagang kecil, sementara produsen dan jalur distribusinya masih lancar. Dengan kata lain, aparat harus bertindak secara tegas namun cerdas karena menyangkut dua hal, yakni jalur produksi dan distribusi produk ilegal di satu sisi, serta nasib para pedagang kecil yang menggantungkan hidup pada penjualan barang bajakan tersebut di sisi lain. Jangan sampai penegakan hukum malah menghasilkan kerusuhan sosial yang dikarenakan terciptanya pengangguran baru dan secara bersamaan tidak ada solusi bagi minimnya lapangan kerja. Di samping itu, hal yang harus selalu dipikirkan dan diutamakan adalah prinsip "pengetahuan untuk semua," yakni bahwa aksesibilitas masyarakat umum, terutama penduduk miskin terhadap produk-produk kemajuan peradaban harus selalu dinomorsatukan.


Lebih dari itu semua, UU hak cipta merupakan legalisasi hak cipta atas karya intelektual, dan hak cipta itu sendiri merupakan turunan dari kepemilikan pribadi. Pada masyarakat kapitalisme saat ini, konsep kepemilikan tidak semata pengakuan hak, namun juga merupakan alat untuk melanggengkan eksploitasi ekonomi serta mempertahankan social privilege dari individu-individu yang membentuk klas-klas di dalam sebuah masyarakat. Eksploitasi ekonomi dan social privilege tersebut juga berlangsung dalam konteks hubungan antara Negara maju dengan Negara miskin. Perlindungan karya intelektual yang dilegalisasi sebenarnya merupakan proteksi terhadap laju ekspansi ekonomi individualisme, dan tidak parallel dengan peningkatan kwalitas kehidupan masyarakat miskin***


Yogyakarta, Agustus 2003