Friday, October 10, 2008

KASUS LEHMAN BROTHERS: PARADOKS NEGARA DI DALAM EKONOMI BEBAS


Pada 15 september 2008, Lehman Brothers dideklarasikan kolaps, dengan hutang 613 miliar dolar AS dibanding aset 639 miliar dolar AS. Lembaga-lembaga keuangan internasional segera bersiap diri, tahu akan ikut terkena dampaknya. Otoritas keuangan Negara-negara maju mulai menyuntikkan dana ke pasar keuangan untuk menyehatkan likuiditas, setidaknya bersiap menyuntikkan.

Kebangkrutan lembaga keuangan terbesar keempat di AS tersebut telah menggoncang sektor finansial, yang pasti akan melahirkan kesulitan di sektor produksi dan perdagangan internasional. Tuntutan pengaturan sektor keuangan segera muncul kembali, untuk menjinakkan pergerakan investasi kapital finans yang sangat spekulatif selama ini. Negara, dengan segala otoritasnya, dituntut keterlibatannya di dalam upaya peredaman gejolak krisis keuangan agar tidak bertambah buruk.



Ekonomi yang Tak Pernah Pasti


Kebangkrutan Lehman Brothers dan beberapa lembaga keuangan lainnya tidak berdiri sendiri, namun sedikit banyak merupakan rentetan kekacauan ekonomi AS yang telah didahului krisis subprime mortgage belum lama ini. Selain itu, fluktuasi harga minyak internasional dan harga komoditi yang berayun-ayun naik-turun beberapa waktu lalu merupakan indikator bahwa terdapat invisible hands yang saling membetot nilai tukar transaksi internasional. Celakanya, tarik menarik transaksi tersebut tidak dalam rangka kesejahteraan masyarakat umum, apa lagi penduduk miskin Negara berkembang, namun merupakan adu otot para pedagang, atau spekulan, yang biasa disebut investor dan fund manager.

Mereka bermain dari lantai pasar sekuritas maupun pasar berjangka yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Tidak ada kepedulian bahwa setiap digit pergerakan angka nilai harga instrument investasi akan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup masyarakat miskin di berbagai Negara, terutama Negara miskin. Di sisi lain, tidak ada aturan tegas dan memadai bagi aktivitas para pelaku perdagangan pasar sekuritas dan pasar berjangka yang sekiranya efektif meredam aksi spekulasi ugal-ugalan mereka.

Perekonomian internasional sebenarnya tidak pernah di dalam kepastian, selalu spekulatif selama sistem pasar bebas menjadi berhalanya. Jika disebut keseimbangan, maka itu merupakan ilusi untuk justifikasi adanya ketimpangan internasional. Kompetisi di dalam pasar bebas tidak hanya menghadirkan efektivitas dan efisiensi, namun juga saling gilas antar faktor ekonomi. Sementara prinsip laissez-faire adalah mantra fatamorgana yang dipakai untuk membebaskan pergerakan kapital individual, karena senyatanya seluruh lembaga kekuasaan merupakan alat administratif dan protektif akumulasi serta ekpansi kapital klas yang berkuasa.



Negara, Kapital dan Kekuasaan


Bicara kapital adalah bicara tentang kekuasaan. Kekuasaan kapital internasional dipegang perusahaan internasional (produksi, perdagangan, maupun finans), dengan dibantu lembaga-lembaga keuangan multilateral, birokrasi perdagangan internasional, dan Negara-negara maju yang diuntungkan oleh sistem yang sedang berlangsung. Di tangan mereka kekuasaan ekonomi politik dunia digenggam.

Aksi spekulasi di lantai bursa sekuritas dan bursa berjangka yang tak terkendali menimbulkan pertanyaan tentang peran Negara di dalam melindungi warga miskin. Bagaimana mungkin Negara hanya melihat dan diam saja ketika nasib penduduknya ditentukan permainan spekulasi para pedagang yang mengejar keuntungan individu. Sedangkan untuk pemilik kapital, Negara secara sigap memberi fasilitas dan proteksi kelembagaan dan perundang-undangan, atas nama ekonomi pasar bebas.

Negara dimanapun dan kapan pun, tetap merupakan mesin kekuasaan. Ia mengeksekusi setiap gagasan dari pemegang kekuasaan. Di balik kekuasaan, bersemayam ide-ide yang menentukan posisi antar masyarakat. Negara hanyalah instrument milik aktor-aktor kekuasaan, dan para aktor tersebut merupakan representasi klas dan memiliki kepentingan yang konkret. Kepentingan tersebut adalah ekonomi politik.

Sebagaimana telah disebutkan, kapital adalah kekuasaan, pemegang kapital adalah pemegang kekuasaan. Negara dikuasai oleh pemegang kekuasaan, atau pemegang kapital. Oleh karenanya, watak Negara merupakan cerminan kekuasaan kapital yang sedang berlangsung.

Anggapan Hobes bahwa Negara merupakan absolutisme hasil kontrak sosial di mana hak semua orang ditanggalkan, menjadi tidak terbukti. Selama ini, Negara malah memfasilitasi gerombolan serigala yang bertualang di arena pasar modal melalui berbagai instrument investasi finansial, dan homo homini lupus dilanggengkan dengan sistem ekonomi bebas. Tidak benar pula anggapan Locke bahwa Negara merupakan perwujudan alamiah untuk melindungi sifat baik manusia yang terganggu bencana, karena sebenarnya Negara hadir akibat adanya ancaman kepentingan kapital suatu klas masyarakat. Dari pada sebagai kontrak sosial, Negara lebih merupakan rekayasa sosial untuk melindungi klas berkuasa.

Perilaku para pedagang dan investor pasar modal selama ini dianggap berperan besar kekacauan keuangan AS. Kongres AS sendiri menghendaki terciptanya aturan yang mengontrol perilaku Wall Sreet, sebagai simbol eksekutif keuangan, yang dianggap serakah. Hal ini setidaknya merupakan pengakuan implisit tentang paradoks laissez-faire, terutama di sektor finansial. Peran Negara mulai dipertanyakan kembali.

Namun sayangnya, gugatan peran Negara ini malah kemudian sering digunakan untuk merekontruksi proteksi terhadap pergerakan kapital individual. Di saat yang sama, para spekulan tetap melakukan profit taking, seperti ucapan Richard Herring, Direktur Stockbroking Australia, yang akan terus menggerakkan transaksinya dari posisi atas ke bawah, ke atas dan ke bawah lagi (Kompas, 25/9/08). Sebuah langkah dramatis akrobat posisi jual dan beli serta perubahan instrument investasi finansial, untuk meraup untung di tengah ketidak pastian ekonomi.



Visible Hands


Kekacauan finansial Amerika saat ini dipastikan akan berdampak pada sektor riil dalam negeri Amerika maupun internasional, mengingat AS merupakan produsen beberapa barang penting, serta pasar yang sangat besar bagi produk-produk Negara luar. Mengingat besarnya peran dan hegemoni Amerika di dalam perekonomian internasional, maka krisis tersebut dipastikan akan berpengaruh pada Negara-negara yang terlibat kerja sama ekonomi dengan Amerika.

Kalangan liberal yakin bahwa perekonomian internasional diatur oleh invisible hands. Padahal, tangan-tangan tersebut sebenarnya sangat jelas terlihat, yakni milik para kapitalis finans dan spekulan. Namun arahnya bukan menuju kesejahteraan bersama, melainkan kesejahteraan kapital terkuat milik perseorangan. Negara seolah tidak berdaya mengikat tangan-tangan tersebut. Justru Negara yang dicekal tengkuknya oleh tangan-tangan para pemilik kapital tersebut.

Masyarakat umum, terutama lapisan bawah, hidup di dalam ekonomi riil, yakni produksi dan perdagangan. Kapital uang memang menjadi darah sektor riil, namun masyarakat umum tidak memakainya sebagai komoditi dagangan. Justru di tangan para pedagang pasar modal dan para banker, kapital uang menjelma menjadi vampire penghisap likwiditas perekonomian, menyedotnya hingga kurus kering.

Selama ini, para kapitalis finans selalu difasilitasi dan dilindungi Negara, dengan alasan sebagai sumber dana pembangunan. Padahal, mereka menanamkan uang karena motif profit, bukan karena upaya mensejahterakan penduduk miskin. Negara kemudian menjadi rebutan kepentingan kepemilikan kapital individual dan kepemilikan kapital kolektif. Di dalam kasus Lehman Brothers, Negara dituntut keterlibatannya untuk menstabilkan ekonomi, namun dengan dua kepentingan yang berbeda, yakni antara penyelamatan para eksekutif keuangan melawan perlindungan warga masyarakat umum***

Yogyakarta, 5 Oktober 2008