Saturday, November 1, 2008

DARI PENCABUTAN SUBSIDI BBM HINGGA GLOBALISASI NEOLIBERAL


Pada tanggal 1 Oktober 2005, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri mulai efektif naik sekitar 100%. Pemerintah beralasan tidak kuat lagi menanggung subsidi BBM paska kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional,[1] sehingga subsidi BBM harus dikurangi.[2] Sebenarnya, pengurangan subsidi BBM akan terus dilakukan, sesuai Undang-Undang No 25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), yang berisi grand strategy penghapusan subsidi BBM menuju subsidi = 0. Harga BBM di dalam negeri akan dilempar ke harga pasar, mengacu harga BBM di eks kilang Singapura (MOPS= Mids Oil Platts Singapore).[3] Sebagai kosekwensinya, setiap pergerakan harga minyak internasional akan berpengaruh pada harga minyak nasional.


BBM merupakan salah satu faktor produksi yang vital, sehingga kenaikan harganya akan berakibat inflasi,[4] yang akan berdampak pada penurunan kwalitas maupun kwantitas tingkat konsumsi kebutuhan primer maupun sekunder, dan juga berdampak penurunan tingkat produksi. Indonesia merupakan negara dunia ke-tiga dengan kekuatan daya beli penduduknya relatif rendah dibanding negara tetangga (misal Malaysia), apalagi negara maju.[5] Bagi penduduk miskin, dengan tingkat pendapatan tetap, setiap kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan hidup berarti pula berkurangnya kehidupan layak dan sejahtera. Selain itu, kenaikan harga juga sering memunculkan orang miskin baru.



Potret Buram


Pada saat ini penduduk dunia berjumlah sekitar 6 milyar jiwa, dan sekitar 2 milyar jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.[6] Dua per tiga penduduk termiskin di dunia berada di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Jehan Arulpragasam, ekonom senior Bank Dunia, pada pertemuan ke-14 antara pemerintah RI dengan CGI (Consultative Group on Indonesia) 20 Janurai 2005, mengatakan lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan (penghasilan di bawah 2 dollar AS per hari). Jumlah tersebut setara gabungan penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja, sehingga sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara berada di Indonesia.[7] Menurut ILO (International Labour Organization), kemiskinan ditemukan jika kebutuhan-kebutuhan pokok tidak terpenuhi, meliputi pangan, pakaian, tempat tinggal layak, kesehatan, pendidikan, sanitasi, pekerjaan (pendapatan), dan termasuk pengambilan keputusan yang menyangkut eksistensinya.[8]
Apa yang dikakukan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di dalam usaha menghilangkan kemiskinan selama ini tidak bisa diharapkan banyak. Program-program kemanusiaan yang dilakukan PBB melalui lembaga-lembaganya selama ini malah sering dijadikan proyek rebutan antar negara maupun antar LSM atau NGO (Non Goverment Organization). Bahkan Konferensi Tingkat Tinggi PBB di New York tanggal 14-16 September 2005 yang lalu dianggap gagal menyusun strategi guna menghadapi berbagai tantangan zaman, termasuk kemiskinan di negara-ngara dunia ke-tiga, karena terdapat perbedaan kepentingan antara negara maju dengan negara berkembang.[9] Solusi persoalan kemiskinan hanya diletakkan di dalam kerangka MDGs (Millenium Development Goals) yang tanpa aturan mengikat.[10] Sebagian kalangan bahkan pesimis MDGs akan tercapai, mengingat beberapa proyeksinya yang tidak realistis, serta beberapa negara maju yang tidak mewujudkan janjinya. Bahkan Amerika Serikat cenderung lebih suka menggunakan anggarannya untuk pembiayaan pertahanannya (militer) ketimbang membantu negara miskin.[11] Padahal, jeritan-jeritan kelaparan penduduk miskin di negara-negara dunia ke-tiga merupakan potensi ketidakstabilan global, sehingga adalah naif jika berbicara masalah keamanan tanpa berbicara persoalam kemiskinan.

Di banyak negara berkembang, karena didesak kebutuhan pemasukan devisa, mereka telah digiring pada pengembangan pembangunan yang bertumpu pada hutang internasional. Namun pada kenyataannya, bantuan hutang internasional telah menciptakan ketergantungan negara miskin pada negara maju, dan juga eksploitasi kekayaan sumber daya alam yang dipindahkan secara masif dari negara berkembang ke negara maju, sebagai imbalan hutang yang diberikan. Hutang luar negeri menciptakan masalah baru, karena secara otomatis ekonomi negara debitur diseret untuk tunduk pada otoritas ekonomi Neo-Liberal yang didalangi negara-negara kaya.

Posisi hutang luar negeri Indonesia, pemerintah maupun swasta, pada tahun 1998 berjumlah 144 milyar dollar AS, dan kemudian membengkak menjadi 150 milyar dollar AS di tahun 1999.[12] Besarnya hutang yang harus ditanggung tersebut sering dijadikan alasan pencabutan subsidi untuk rakyat oleh pemerintah. Rakyat dipaksa ikut menanggung warisan hutang rezim yang lalu, padahal pinjaman-pinjaman tersebut tidak dipergunakan untuk sektor-sektor yang langsung berhubungan dengan kebutuhan rakyat. Selain penggunaan hutang yang salah sasaran, dan korupsi yang akut di pemerintahan, proyek-proyek yang didanai hutang juga tidak pernah berhasil dengan baik (misalnya program Jaring Pengaman Sosial).



Bandar, Rentenir, dan Tukang Jagal


Pada saat ini, kehidupan perekonomian dunia berada pada suatu suasana ekonomi global, yang dicirikan bukan hanya perdagangan bebas di dalam hal barang dan jasa, namun juga pergerakan modal. Akan tetapi sejarah mencatat bahwa negara-negara miskin Afrika, Asia, dan Amerika Latin telah dirugikan oleh negara-negara kaya melalui perdagangan internasional. Pada tahun 1980-1990, harga bahan mentah dari negara-negara miskin turun sampai 45%, sedangkan antara tahhun 1970-1991 harga barang jadi dari negara miskin turun hingga 34%. Sebaliknya, ekspor bahan pertanian dari negara-negara kaya malah disubsidi negara, dan dikenakan bea terhadap barang impor asal negara-negara miskin.[13] Subsidi yang dilakukan negara-negara kaya terhadap sektor pertanian mereka tersebut menyebabkan kegagalan KTT tingkat menteri WTO di Cancun, Mexico, September 2003 lalu, karena negara-negara berkembang menganggap negara-negara kaya hanya mau menang sendiri. Hal terpenting yang dituntut negara-negara berkembang pada KTT PBB September 2005 lalu adalah dibukanya pasar bagi produk-produk mereka, sebagaimana diungkapkan Perdana Menteri Bangladesh, Begum Khaleda Zia.

Krisis Kapitalisme internasional pada abad XIX, yang berdampak depresi ekonomi tahun 1930-an telah menenggelamkan Liberalisme,[14] sehingga kemudian kebijakan ekonomi ditekankan pada pembesaran peran pemerintah, dengan model Keynesian, terutama sejak Roosevelt dengan New Deal-nya tahun 1935. Akan tetapi, pada akhir abad XX, akumulasi kapital menjadi lambat, sehingga diperlukan strategi baru untuk mempercepat pertumbuhan dan akumulasi kapital. Seluruh rintangan bagi investasi dan pasar bebas harus disingkirkan, serta diperlukan suatu tatanan perdagangan global demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka gagasan globalisasi dimunculkan,[15] yang pada dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali paham Liberalisme, suatu paham yang kemudian dikenal sebagai Neo-Liberalisme. Aturan dasar Neo-Liberal adalah liberalisasi perdagangan dan finansial, harga ditentukan pasar, akhiri inflasi, (stabilitas ekonomi makro dan privatisasi), dan perkecil peran pemerintah. Pokok-pokok pendirian Neo-Liberalisme meliputi kebebasan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, hentikan subsidi negara kepada rakyat, dan penghapusan ideologi kesejahteraan bersama dan kepemilikan komunal. Aktor-aktor utama yang berkuasa di balik Globalisasi Neo-Liberal adalah: a). TNCs (Trans National Corporations), yang merupakan perusahaan-perusahaan multi nasional; b). WTO (World Trade Organization), dewan perserikatan dagang global bentukan TNCs dengan negara-negara yag diuntungkan TNCs; dan c). IMF (International Monetary Fund) beserta saudara kembarnya Bank Dunia (World Bank), yang merupakan lembaga keuangan global.[16]
Maju Kena, Mundur Hancur


Satu hal yang pasti sebagai penjelasan alasan dikuranginya subsidi BBM pada 1 Oktober 2005 lalu adalah di dalam rangka proyek Globalisasi Neo-Liberal yang menghendaki pencabutan subsidi negara untuk rakyat, liberalisasi perdagangan minyak, dan perkecil peran pemerintah di dalam kehidupan ekonomi, sehingga perusahaan-perusahaan swasta internasional dapat secara leluasa bermain dan meraup keuntungan dari perdagangan minyak di Indonesia. Akhirnya, rakyat menjadi korban kenaikan harga dan kelangkaan minyak. Padahal, Indonesia adalah negara anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries).[17] Mengacu data Kompas, sebenarnya tidak ada kesenjangan terlalu besar antara permintaan dan suplai minyak internasional, karena permintaan minyak dunia yang meningkat relatif diikuti dengan pasokan. Kenaikan harga minyak internasional yang sempat mencapai 70,80 dollar AS per barel pada 29 Agustus 2005 yang lalu, diakui oleh Steve Forbes (penerbit majalah Forbes) lebih disebabkan spekulasi yang dilakukan para pengelola dana investasi (fund manager), terutama di Ameerika Utara. Jika demikian, nasib derita warga miskin ada di tangan para fund manager, dan korporasi-korporasi internasional di lantai bursa New York.[18]
Susilo Bambang Yudhoyono, serta presiden-presiden terdahulu, bukan tidak berdaya di hadapan melambungnya harga minyak dunia. Ia tidak berdaya di hadapan IMF, Bank Dunia, WTO, dan TNCs yang secara bersama-sama telah menjerat Indonesia selama bertahun-tahun ke dalam hutang dan mendikte orientasi ekonomi-politik Indonesia melalui SAP yang ditandatangani di dalam LoI.

Selain liberalisasi sektor migas, pemerintah dengan persetujuan parlemen, juga telah, sedang, dan akan melakukan hal yang sama pada sektor-sektor yang lain. Empat perguruan tinggi negeri telah ditetapkan statusnya sebagai BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang merupakan bentuk lepas tanggung jawab pembiayaan pemerintah di bidang pendidikan. Kasus disanderanya bayi oleh rumah sakit swasta karena orang tuanya tidak memiliki uang untuk membayar biaya perawatan, atau melambungnya harga obat generik beberapa waktu lalu adalah bukti bahwa rakyat semakin sulit mengakses fasilitas kesehatan. Di sektor perumahan, selama ini lebih banyak dibangun perumahan klas menengah ke atas, terlebih perumahan mewah, yang lebih mendatangkan laba, dan pemerintah tidak bisa berbuat banyak karena telah diserahkan pada swasta. Rencana pemerintah mengimpor 250.000 ton beras di tahun depan merupakan bentuk ketidak berpihakan pada petani kecil dalam negeri. Privatisasi yang dilakukan pada berbagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara), Bank pemerintah (maupun alumni BPPN-Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dan sektor-sektor lainnya, termasuk Indosat yang jatuh ke tangan Singapura, merupakan bagian dari narasi besar yang didesain demi terbentuknya tata ekonomi liberal, yang akan menguntungkan perusahaan-perusahaan swasta internasional. Bahkan air juga diupayakan untuk diswastanisasi melalui Rancangan Undang Undang Irigasi.

Para elit penguasa negeri ini (termasuk parlemen) telah melepas tanggung jawabnya atas kesejahteraan rakyat dengan cara melempar nasib rakyat ke sistem ekonomi-politik persaingan pasar bebas dan kepemilikan swasta atas sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada akhirnya, pasar tidak hanya menentukan harga barang, jasa, dan modal, namun juga nasib kesejahteraan setiap individu di negeri ini. Pasar akan menentukan siapa yang boleh kaya dan siapa yang harus miskin.

Saat ini, jutaan, bahkan milyaran orang miskin menjerit kelaparan di berbagai belahan dunia. Saat ini, ribuan kaum muda di berbagai belahan dunia berada di garis depan perlawanan terhadap Globalisasi Neo-Liberal. Saat ini pula, orientasi gerakan sosial harus diperjelas dan dipertegas!****

Yogyakarta, 16 Oktober 2005


* Artikel ini dimuat di majalah “Brosur Lebaran” edisi No. 44 1426 H/2005 M, Angkatan Muda Muhammadiyah Kotagede Yogyakarta.



Catan kaki:

[1] Target alokasi subsidi BBM setahun di dalam APBN-P 2005 sebesar Rp 76,5 trilyun. Kenaikan harga minyak dunia yang sempat mencapai 70 dollar AS diperkirakan mengakibatkan bertambahnya beban subsidi hingga sekitar Rp 138 trilyun.

[2] Alasan lainnya adalah penyehatan APBN 2005, menahan laju penyelundupan, mengatasi kelangkaan, pengurangan subsidi kepada yang tidak berhak, dan penghentian tekanan nilai tukar rupiah.
[3] Lihat 2000-2004: Dari Sistem Subsidi BBM ke Subsidi Minyak Tanah, Tim Sosialisasi Penghapusan Subsidi BBM 2004, Dirjen Migas Departemen ESDM RI, 2004.
[4] BBMWATCH memperkirakan kenaikan harga BBM hingga 100% memberi dampak langsung kenaikan harga sebesar 4,22%. Lihat BBMWATCH No. 23 vol. III, Januari 2005. Namun angka tersebut merupakan inflasi non-riil, karena prosentase di lapangan bisa lebih tinggi.
[5] Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, prosentase penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan (hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS per hari) adalah 27,12%. Lihat Kompas 7 Agustus 2005. Namun menurut Bank Dunia, jumlahnya lebih dari 110 juta jiwa, dan tentu lebih dari 27,12%.
[6] Berdasarkan data PBB, dari 6 milyar jiwa penduduk dunia, terdapat 1,2 milyar penduduk miskin jika indikatornya biaya hidup kurang dari 1 dollar AS per hari. Jika indikatornya kurang dari 2 dollar AS per hari, maka terdapat 2 milyar orang miskin. Lihat Kompas 7 Agustus 2005.
[7] Lihat Kompas 24 Januari 2005.
[8] Lihat Franz Dahler dan Eka Budianta, 2000, Pijar Peradaban Manusia, Yogyakarta, Kanisius: hlm. 196.
[9] Terdapat tiga negara, yakni Venezuela, Kuba, dan Belarusia tidak ikut menandatangani dokumen akhir KTT PBB, sebagai bentuk protes atas dominasi negara-negara kaya. Lebih dari 170 pemimpin negara, termasuk Indonesia, menyetujui dan menandatangani dokumen tersebut. Lihat Kompas 18 September 2005.
[10] Millenium Development Goals merupakan kesepakatan tujuan pembangunan negara anggota PBB yang berkumpul di New York September 2000. Pada tahun 1999, PBB mencanangkan MDGs dan sebanyak 191 negara anggota sepakat mengurangi kemiskinan hingga setengahnya pada tahun 2015. Terdapat 8 tujuan MDGs, dan dirinci ke dalam 18 target, yang semuanya diukur melalui 48 indikator. Lihat Kompas 7 Agustus 2005.
[11] Menurut Jeffrey D. Sachs (penasehat khusus PBB untuk mengepalai proyek MDGs), AS hanya memberi 0,16% dari PDB untuk pembangunan di negara berkembang. Janji awal adalah 0,7% dari PDB. Padahal, AS menggunakan 5% PDB (sekitar 450 milyar dollar AS) untuk militernya. Lihat Kompas 7 Agustus 2005.
[12] IMF dan Bank Dunia merupakan arsitek sekaligus eksekutor utama kebijakan hutang negara miskin, termasuk Indonesia. IMF telah “mengincar” Indonesia sejak tahun 1949, ketika Konferensi Meja Bundar menyepakati masuknya perusahaan asing ke Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai pasar produk impor, serta Indonesia mengekspor bahan mentah. Pengaruh IMF baru benar-benar terjadi tahun 1957-1958, ketika Indonesia tak mampu merombak struktur perekonomian warisan kolonial. IMF datang lagi pada tahun 1997, memaksa Soeharto menandatangani Letter of Intent pada tahun 1998, dan harus menjalankan program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program­-SAP) ala IMF. Aktor-aktor utama dibalik IMF dan Bank Dunia yang memfasilitasi hutang luar negeri adalah AS, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang, dan Arab Saudi. Lihat Gali Lubang Tutup Lubang, Koalisi Anti Utang dan KAPAI, 1 Februari 2000.
[13] Lihat Franz Dahler dan Eka Budianta, op. cit.: hlm.199-200.
[14] Liberalisme di dalam ilmu ekonomi merupakan filsafat ekonomi yang berintikan kebebasan individu, kepemilikan pribadi, dan inisiatif individu serta usaha swasta. Liberalisme merupakan landasan filosofis ekonomi klasik, yang menjadi sumber dan akar Kapitalisme. Inti Kapitalisme adalah kepemilikan pribadi alat-alat produksi. Kepemilikan pribadi atau swastanisasi akan bersifat komersialisasi segala sesuatu.
[15] Globalisasi bukanlah kata netral, melainkan sebuah paham. Globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional ke sistem ekonomi dunia berdasar keyakinan pada perdagangan bebas. Globalisasi merupakan satu fase perjalanan panjang Kapitalisme setelah era Kolonialisme.
[16] Lihat Mansour Fakih, 2002, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan Insist Press: hlm. 215-219.
[17] Menurut data BBMWATCH Januari 2005, Indonesia mengimpor minyak mentah 400.000 barel per hari. Namun pada saat yang sama, mengekspor minyak mentah 525.000 barel per hari. Impor BBM 330.000 barel per hari, dan ekspor produk kilang 154.000 barel per hari. Sungguh aneh jika kenaikan harga minyak mentah dunia membuat pemerintah bangkrut. Selain itu, kebijakan pemerintah selama ini yang lebih suka impor BBM membuat Indonesia tidak bisa mengolah minyak mentah sendiri, sehingga selalu panik jika harga BBM internasional naik. Lihat BBMWATCH No. 23 vol. III Januari 2005.
[18] Lihat Kompas 11 September 2005.