Saturday, December 27, 2008

KEMANA PENCULIKAN 1997/1998?

Hari Hak Azasi Manusia 10 Desember ini masih terasa hambar bagi pengungkapan kasus penculikan aktivis di tahun 1997-1998. Sepuluh tahun berlalu dan 13 orang korban penculikan belum kembali tanpa kepastian. Ironisnya, kasus tersebut sekian waktu kerap dikomodifikasi secara politis demi kepentingan-kepentingan yang belum tentu berhubungan dengan pengungkapan kasus itu sendiri.

Misalnya polemik pengaktifan kembali Panitia Khusus DPR RI tentang Penculikan Aktivis 1997-1998 beberapa bulan yang lalu. Bahwa kasus tersebut harus diungkap, adalah kewajiban negara. Namun yang menjadi persoalan, kasus ini muncul kembali menjelang pemilu 2009. Di dalam sejarahnya selama ini, kasus-kasus sensasional selalu muncul setiap menjelang pemilu.

*****

Indonesia yang saat ini menjadi anggota dewan HAM PBB ternyata tidak menjadi jaminan penuntasan kasus perampasan HAM serius tersebut. Pengesahan konvensi internasional tentang perlindungan orang dari tindak penghilangan paksa tahun 2006 lalu oleh PBB juga tak kunjung mendatangkan kabar baik. Negara masih menjadi alat politik kekuatan sisa rezim Orde Baru dan para petualang oportunis yang suka menggunakan isu-isu sensitif sebagai komoditas politik.


Maka dalam rangka itu, kasus orang hilang 1997/1998 dijadikan salah satu amunisi untuk saling tembak menyerang. Tentu saja, para pihak yang merasa tidak terlibat dengan rezim Orde Baru dengan mudahnya menggunakan isu penculikan untuk menyerang lawan politik yang pernah memiliki jabatan di pemerintahan pada masa Orde Baru. Mereka bersemangat mengusung isu penculikan untuk dapat mendiskreditkan lawan politik, mengharap simpati dari keluarga korban penculikan, dan mengharap mendapat dukungan masyarakat karena dianggap berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan hukum. Meningkatnya perolehan suara pemilu 2009 adalah tujuan akhir.


Sedangkan beberapa orang yang selama ini dianggap terlibat peristiwa penculikan melakukan kontra opini. Mereka mengatakan adanya semacam operasi intelejen pada peristiwa tersebut, yang bertujuan melakukan pemfitnahan. Tak kurang isu konflik di tubuh militer dianggap menjadi bagian dari konspirasi yang memakan korban penculikan. Mereka berusaha cuci tangan, atau setidaknya melindungi teman dari jeratan hukum.


Seperti disindir Seno Gumira Ajidarma di dalam cerpennya di Kompas (16/11/08), orang-orang yang diduga terkait, setidaknya diduga mengetahui peristiwa penculikan karena posisi jabatannya pada 1997/1998, sedang beramai-ramai mencalonkan menjadi presiden. Bahkan beberapa mantan korban penculikan 1997/1998 yang dikembalikan hidup-hidup telah dihubungi untuk direkrut menjadi calon legislatif. Ada yang bersedia, ada yang mewakilkan orang dekatnya, dan beberapa lainnya menolak.


Beberapa pihak lainnya, elit sipil maupun militer, menempatkan diri pada posisi aman dengan alasan tidak mau menengok ke belakang dan menganggap kasus tersebut telah selesai. Kasus didiamkan untuk dilupakan. “Memaafkan, melupakan, tatap masa depan” adalah kata-kata yang dimanipulasi sebagai alat mengalihkan perhatian. Seolah tuntutan pengungkapan kasus tersebut adalah perbuatan tidak mengikhlaskan masa lalu. Padahal, mengikhlaskan tidak sama dengan melupakan. Apalagi kasusnya belum terungkap tuntas.


Di sisi lain, keluarga korban penculikan hingga sekarang tetap dipermainkan psikisnya. Janji-janji moralis dari para politisi, serta janji-janji formalis dari negara, hanya menjadi candu yang semakin meracuni harapan-harapan para keluarga korban.



*****

Produk hukum tentang anti penghilangan paksa merupakan perwujudan formal semangat menjunjung hak azasi, sebagai hasil dinamika masyarakat yang terus berkembang. Zaman terus berubah dan masyarakat sipil sadar hak-haknya. Perubahan-perubahan ini menciptakan pemikiran dan perangkat baru di dunia hukum, dan melahirkan berbagai perundangan serta kelembagaan.


Hukum merupakan penjabaran formal keadaan moralitas kekuasaan di masyarakat, namun bukan gambaran utuh moralitas keseluruhan masyarakat itu sendiri. Di sinilah terjadi dialektika antara hukum dengan moralitas, kekuasaan, dan struktur kekuasaan. Oleh karenanya, perlu dilacak bentuk moralitas, kekuasaan, dan struktur kekuasaan yang berlaku.


Sistem nilai di masyarakat modern melarang penghilangan orang secara paksa, dengan tujuan politik maupun non-politik. Sebagaimana deklarasi universal hak-hak azasi manusia PBB yang disahkan 10 Desember 1948, bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan sama martabat dan hak-haknya. Maka penghilangan paksa merupakan tindakan immoral. Akan tetapi deklarasi PBB tidak memiliki kekuatan mengikat sebelum diturunkan ke dalam konvenan dan diratifikasi oleh negara anggotanya.


Demikian pula dengan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, masih bersifat abstrak dan belum memiliki kekuatan formal. Kekuasaan-kekuasaan abstrak tersebut merupakan kekuasaan moralis yang kemudian dikongkretkan ke dalam kekuasaan sistem norma politik, dan selanjutnya dilegalkan ke dalam produk hukum sehingga menjadi moral legal.


Namun hukum adalah produk politik. Produk dan praktek hukum terkait penculikan 1997/1998 merupakan hasil pertarungan kekuatan politik yang ada di tingkat suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. Apa yang terjadi dengan peristiwa dan kelanjutan pengusutan kasus tersebut saat ini sebenarnya merupakan cerminan atau gambaran peta kekuatan dan kekuasaan politik yang sedang berjalan.


Terseok-seoknya pengungkapan kasus penculikan menggambarkan lemahnya realitas politik terhadap tuntutan pengungkapannya. Realitas politik yang lemah tersebut secara dialektis mempengaruhi realitas hukum. Lemahnya realitas politik dan realitas hukum atas upaya pengungkapan kasus penghilangan paksa 1997/1998 akan mempengaruhi realitas moral kasus tersebut. Artinya, akan terjadi demoralisasi masyarakat pada kasus tersebut, atau apatisme dan tidak percaya pada kekuasaan formal negara. Dampak lebih lanjut adalah demoralisasi pada setiap kejadian penghilangan paksa, dan juga pelanggaran hak azasi manusia pada umumnya.


Demoralisasi di sini bukan berarti tercerabutnya rasa moralitas luhur yang ada di masyarakat, melainkan terjadinya apatisme terhadap moralitas negara, di dalam hal ini terhadap pejabat negara. Hal ini dikarenakan kenyataan tidak sinkronnya antara moral yang diyakini masyarakat dengan sistem norma moral dan moral legal yang dipraktekkan negara. Masyarakat menjadi apatis terhadap upaya hukum penyelesaian kasus penghilangan paksa dan pelanggaran hak azasi manusia.

Di sisi lain, kenyataan komodifikasi oleh beberapa kekuatan politik di luar negara atas isu penculikan 1997/1998, serta tak kunjung terungkapnya kasus tersebut, juga berdampak terjadinya demoralisasi masyarakat pada dunia politik umumnya. Masyarakat menjadi apolitis. Dampaknya, masyarakat enggan terlibat di dalam kerja-kerja politik untuk mendesak pengungkapan kasus tersebut. Padahal, praktek hukum atas kasus tersebut adalah hasil proses politik. Oleh karenaya, praktek hukum terhadap kasus penculikan 1997/1998 saat ini adalah gambaran peta kekuatan politik yang sedang berkuasa****


Yogyakarta, awal Desember 2008