Thursday, March 26, 2009

CARI UANG DAN CARI GAGAH DI POLITIK


“Power tends to be cool. Absolute power to be cool absolutely.”
(Maaf Lord Acton, kalimat anda saya plesetkan…)


Sadarkah anda bahwa pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tidak semata mekanisme demokrasi dalam rangka sirkulasi pemerintahan? Di sana juga dijadikan lumbung sumber keuangan dan sekaligus panggung tarian narsisme. Tidak hanya keuntungan uang yang dikejar, namun juga citra diri. Uang dan citra harus dirayakan.

Banyak pihak meraup uang dari pemilu. Atau setidaknya berusaha mencobanya. Dari perusahaan sablon rumah tangga hingga persewaan helikopter dan pesawat terbang. Dari peserta kampanye bayaran hingga calon legislatif (caleg) iseng-iseng berhadiah. Dari tukang cari massa kampanye bayaran hingga tukang lobi antar pejabat tinggi negara. Dari tukang tempel brosur dan pasang bendera parpol di kampung hingga lembaga survey politik nasional. Dari penyanyi dangdut hingga intelektual pengamat politik. Dari tokoh agama jurkam (Juru Kampanye) hingga preman tukang pukul simpatisan partai lawan. Semua senang. Semua kebagian.


Eitt, tunggu dulu! Bagaimana dengan caleg-caleg? Bukankah mereka harus menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk membiaya kampanye? Kalau nggak terpilih jadi DPR kan rugi besar!? Ah, nggak juga. Setidaknya mereka sudah nyicil senang dulu. Dengan predikat "caleg," mereka merasa naik kasta menjadi orang pilihan, alias elite. Berapapun biaya yang diperlukan, pasti akan diusahakan. Oleh karena merasa telah menjadi orang penting, maka setiap penampilan dianggap penting.


Lihat saja wajah mereka ngumbar senyam-senyum di mana-mana lewat selebaran, poster, baner, spanduk, dan baliho yang dipasang di berbagai tiang listrik, pohon, tembok, dan papan reklame. Bahkan di kuburan samping rumah saya. Juga di sticker, kaos, koran, televisi, dan internet. Kalau senyuman itu ternyata palsu alias dibuat-buat, ya memang harus begitu kan kalau mau difoto? Ingat masa kecil kita, setiap akan difoto pasti disuruh tersenyum.


Kelak, jika benar-benar terpilih dan harus menghuni gedung parlemen, tentunya bukan hanya senyum yang disunggingkan, tapi tawa lebar bakal diumbar ketika mendapat gaji, tunjangan, fasilitas, proyek, dan mungkin suap kanan-kiri. Itu kalau terpilih jadi DPR. Lha kalau enggak?


Darah tinggi, stroke, jantung, stress, depresi adalah kata-kata kunci yang cukup menggangu kuping para caleg. Mereka merasa dilecehkan jika ada orang yang mengaitkan istilah-istilah tersebut pada keadaan paska pemilu nanti. Atau mungkin juga mereka terganggu oleh ketakutan jika istilah-istilah tersebut akhirnya benar-benar menimpa mereka, menjadi predikat di belakang nama mereka. Misalnya Andi Stress, Budi Stroke, dan sebagainya. Soalnya, di Solo ada caleg dari PAN yang mendaftarkan dirinya sendiri di Rumah Sakit Jiwa, sebagai antisipasi paska pemilu nanti kalau terjadi apa-apa. Pendaftaran tersebut ditolak oleh pihak Rumah Sakit. (Seputar Indonesia Siang, RCTI, Kamis 26 Maret 2009, jam 12.00 wib).


Jika pun tragedi tersebut terjadi, mereka tetap bisa senyam-senyum setelah pemilu nanti, meski tidak terpilih jadi DPR. Tapi tentu saja senyumnya beda. Ditambah cengar-cengir sendiri. Semoga saja tidak terjadi… Amin!. Amin Nangis ya?


Hebatnya, ternyata tidak hanya uang semata yang diburu dari pemilu, namun juga citra dan reputasi. Ya, citra dan reputasi! Entah siapa yang memulai, di sebagian masyarakat muncul persepsi bahwa mendapat uang dari politik adalah keren dan gagah. Saya jadi ingat kata-kata dosen saya waktu masih kuliah dulu. Namanya Joko Pitoyo, kalau omong ceplas-ceplos. Suatu ketika dengan gayanya yang khas sinis tapi lucu ia berujar bahwa mahasiswa-mahasiwa tukang demo itu kan sebenarnya pingin dianggap gagah agar ditaksir mahasiswi-mahasiswi. Dikarenakan susah cari pacar dan nggak laku-laku, maka mahasiwa-mahasiswa tersebut menjadi demonstran. Ngrasa gagah dan heroik gitu maksudnya. Masak sih, Pak? Apa iya ya?!


Ejekan dosen saya tersebut setidaknya mengisyaratkan bahwa dunia politik dapat dijadikan alat untuk kepentingan apa saja. Selain menjanjikan uang, dunia politik juga memfasilitasi pemuasan insting narsisme. Orang merasa nikmat ketika dicitrakan gagah, keren, dan heroik. Semakin nikmat, jadi kecanduan.


Menjadi aktivis mahasiswa, keren! Menjadi anggota DPR, keren! Menjadi konsultan politik, keren! Menjadi makelar politik, keren! Menjadi pengamat politik, keren! Menjadi team sukses caleg, keren! Mampu mengumpulkan masa bayaran, keren! Menjadi petualang politik, keren! Perhatikan juga bagaimana narsis-nya lembaga-lembaga konsultan dan survey politik. Iklan mereka selalu memamerkan rekam jejak keberhasilan survey dan konsultan politik. Ya iya lah, namanya juga iklan!


Maksud saya, mereka tidak peduli siapa yang menyewa. Mereka mengaku bekerja profesional dan objektif. Lembaga-lembaga konsultan dan survey tersebut tidak menjlentrehkan tentang latar belakang dan sejarah orang atau partai yang menyewa mereka. Tidak peduli jika pun orang atau partai yang menyewa mereka adalah politisi busuk dan berideologi uang. Satu-satunya syarat atau kriteria calon klien adalah punya uang atau tidak. Mungkin ini yang disebut sains bebas nilai. Ada uang, ada politik. Nggak ada uang, diusahakan dengan politik!

Padahal, saya dulu juga pingin bikin lembaga survey dan konsultan media atau politik. Tapi nggak jadi karena kompetensi yang saya miliki hanya pas-pasan, dan yang paling penting: tidak punya modal uang.



Omong-omong tentang konsultan media dan politik, saya punya cerita. Suatu malam syahdu pertengahan Maret, hari ke-empat masa kampanye terbuka pemilu legislatif 2009, saya chatting dengan seorang kawan melalui internet. Ia adalah mantan aktivis 1998. Saya berada di Yogya, sementara kawan saya, sebut saja namanya Endang Evaluasi, berada di Jakarta. Istilah “Endang Evaluasi” sebenarnya bukan saya yang menciptanya. Kemunculan istilah tersebut memiliki sejarahnya sendiri, yang tidak akan saya ceritakan di sini.


Awalnya kami hanya bicara ngalor-ngidul nggak jelas dan tidak karuan. Hingga saat Endang Evaluasi mengatakan sedang mencari orang untuk direkrut menjadi anggota team yang akan menggarap pengarahan atau penggiringan isu media massa nasional untuk pemenangan pemilu salah satu partai politik besar di negeri ini, yang dipimpin si Mbak yang gendut itu. Ia mulai menyebut satu persatu nama kota-kota besar di negeri ini yang akan dijadikan wilayah operasi. Ia juga merinci kiteria orang-orang yang akan direkrut untuk ditempatkan di kota-kota tersebut. Disertai prosedur tetap standar operasional (halah!).


Ketika saya mendedas pertanyaan, jawaban Endang Evaluasi jelas: motif uang. Ia tidak hendak menjadi anggota partai atau membesarkan partai. Ia tidak punya loyalitas pada organisasi dan tidak ambil pusing dengan visi misi partai. Bahkan ia tidak berpikiran mengembangkan aksinya menjadi lembaga konsultan media dan politik profesional, sebagaimana lembaga-lembaga survey dan konsultan media-politik yang ada. Mungkin karena tidak ada modal, he-he-he…


Setelah beberapa kalimat saling kami tukarkan, Endang Evaluasi tampaknya tahu bahwa saya sebenarnya tidak tertarik pada tawarannya. Atau mungkin dia tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan saya adalah pancingan baginya agar terus ngoceh panjang lebar, yang hal tersebut akan membuat saya terkekeh-kekeh dan dapat membuat perkiraan tentang apa yang terjadi pada Endang Evaluasi di Jakarta. Bahkan jika dia serius sekalipun dengan ceritanya, maka saya setidaknya akan tahu sikap politiknya. Mungkin juga dia mulai sebal dengan saya. Atau mungkin ada pertimbangan lain di benak Endang Evaluasi.


Tawaran tersebut kemudian ditutup dengan pernyataannya bahwa politik yang saya praktekkan terlalu santun. Saya tidak tahu apakah dia bersungguh-sungguh atau hanya bercanda ketika mengucapkan hal itu. Meskipun demikian, saya tetap mensyukuri kedua kemungkinan tersebut.


Untuk alasan yang pertama, jikapun politik saya memang terlalu santun, maka saya sangat bangga dengan kesantunan saya. Bagaimana mungkin ada orang yang menyayangkan atau menyesali perbuatan santun?! Bahkan para bajingan kelas atas negeri ini yang busuk pun selalu berusaha menampilkan politik santun dan elegan. Sebaliknya, saya merasa kasihan pada Endang Evaluasi. Jika politik saya dianggapnya terlau santun, maka apakah politik yang dia praktekkan tidak santun alias kasar? Semoga saja itu hanya pikiran negatif saya.


Kalau memang benar saya santun, saya harap kesantunan politik yang saya prakekkan tidak hanya pada bentuk atau luarnya saja, namun sekaligus juga isi atau dalamnya. Jika kesantunan itu hanya berupa bentuknya saja, maka isi-nya dapat saja berupa kekasaran dan kebusukan. Bukankah hal ini munafik? Tak ubahnya dengan apa yang dipraktekkan oleh para bandit klas atas negeri ini, yang selalu tampil rapi dalam berpakaian, sopan bertingkah laku dan bertutur kata, namun jahat dan busuk di dalam niat dan tujuan. Hati dan otak mereka kotor, meski dibalut tatakrama dan sopan santun klas atas yang dicitrakan halus dan beradab.


Tapi kemudian saya terusik dengan pikiran saya tersebut, karena saya merasa masih sering berpikiran kotor dan berhati kotor. Padahal saya belum juga jadi bandit kelas atas negeri ini. Saya membayangkan jika saya jadi bandit kelas atas, tentunya pada saat itu pikiran dan hati saya pasti jauh lebih kotor dan busuk. Saya merasa sangat munafik. Soal tata krama dan kesopanan, saya memang sering kurang ajar. He-he-he…


Atau mungkin maksud kawan saya adalah agar saya bersantun tapi jangan terlalu santun. Mungkin saja dia memiliki skala ukuran peringkat sopan santun dari derajat paling santun hingga derajat sangat sangat tidak santun. Mungkin saya disuruh untuk berada di tengah-tengah, santun yang sedang-sedang saja. Jika demikian, saya besok harus minta darinya tabel daftar derajat kesantunan berpolitik, kemudian akan saya pelajari di rumah dan bersegera mempraktekkannya.


Kembali ke ucapan kawan saya tadi. Jika pun ucapan kawan saya tersebut hanya gurauan atau canda, maka saya lebih bersyukur. Saya bersyukur karena dia hanya bercanda. Saya bersyukur dia masih santun dalam berpolitik. Dengan demikian, dia tidak perlu menjatuhkan saya agar dirinya menjadi di atas saya sehingga dianggap menjadi lebih hebat. Soalnya, sekarang saya memang lagi berada di bawah, sehingga nggak perlu dijatuhkan, to?!

Belum habis itu, saya kemudian juga bertanya-tanya di dalam hati, apakah kawan saya si Endang Evaluasi benar-benar menangani proyek “pembentukan opini media massa” partai yang disebutnya. Ataukah ia hanya mengaku demikian agar terlihat gagah, sehingga saya diharapkan berdecak kagum dan bergumam: ck…ck…, wah…wah…, hebat!

Saya memang kagum. Hanya saja bukan kagum bangga yang saya rasakan, melainkan kagum bingung. Kok bisa, ya?! Bagaimana bisa?! Maksudnya ada dua pertanyaan “kenapa bisa?” Pertanyaan pertama, kenapa ia bisa jadi makelar politik, atau pertanyaan yang kedua, kenapa ia bisa jadi pembohong dengan mengaku menjadi petualang politik bayaran. Soalnya, Endang Evaluasi itu sifatnya keibuan. Lembut dan mengayomi gitu. Untuk amannya, saya heran dua-duanya. Kemudian muncul pertanyaan ketiga: kok bisa ya dia menjadi parodi? Akan tetapi kenapa saya harus ambil pusing? Jangan-jangan pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan bentuk lain dari iri hati saya.



Namun seperti biasa, saya tetap nekad menduga-duga jawaban. Mungkin saja kawan saya si Endang Evaluasi itu telah diserang penyakit ngrasa gagah bisa cari uang dari politik. Atau mungkin mengidap sindrom politician wanna be. Apakah itu salah? Wah, jangan tanyakan itu ke saya! Kalau mau cari uang, silahkan saja. Silahkan cari uang. Atau silahkan kejar cita-cita menjadi politikus handal yang menurutnya jangan terlalu santun seperti politik saya. Soalnya, sampai sekarang pun saya memang bukan politikus. Itu kalau politikus didefinisikan sebagai orang yang gasak sana gasak sini. Saya tidak punya keberanian untuk melakukan itu.


Lantas, berarti saya ini belum keren ya, karena belum bisa mencari uang dari politik?! Sudah tidak punya uang, tidak berpolitik, lagi. Tidak keren babar blas!****



Yogyakarta, 26 Maret 2009