Monday, December 28, 2009

MENYAMBANGI GELISAH PETANI LAHAN PANTAI KULON PROGO


Hari Kamis (24/12/09) di minggu yang lalu, di dalam perjalanan menuju kawasan pertanian lahan pantai Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, saya menyaksikan para petani sedang memanen padi di sawah. Sebelum masuk ke kawasan pantai, saya melewati desa-desa dengan area persawahan yang luas. Di area persawahan tersebut terlihat sekian banyak petani sedang memanen padi. Laki-laki dan perempuan tampak sibuk sambil riang bercengkrama di area persawahan dan di sepanjang jalan yang melewati area persawahan. Sementara itu, di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan area persawahan terdapat hamparan butiran gabah yang sedang dijemur.

Sebagian dari petani tersebut sedang memotong padi di sawah. Sementara sebagian lainnya berada di pinggir jalan area persawahan, sibuk dengan aktivitas pekerjaan masing-masing. Ada yang merontokkan gabah dari batangnya dengan mesin perontok manual, ada yang menjemur gabah di sisi-sisi jalan, mengikat jerami, memasukkan gabah ke dalam kantung-kantung, dan aktivitas lainnya.


Bahagia rasanya melihat wajah-wajah para petani yang berseri-seri, meski wajah dan tubuh mereka dibakar sinar matahari menjelang siang yang sangat menyengat. Namun kebahagiaan saya terganggu oleh pikiran yang tiba-tiba terlintas di benak, yaitu tentang berapa jumlah uang yang akan didapatkan para petani dari penjualan padi hasil panen tersebut. Selama ini, nilai tukar petani selalu rendah. Biaya proses produksi sering tidak sebanding dengan keuntungan hasil produksi. Bahkan ketika Indonesia mampu melakukan swasembada beras pada tahun 1984, para petani tetap hidup miskin.


Tak lama kemudian, saya memasuki kawasan pertanian lahan pantai. Saya masuk dari ujung paling timur, yakni di wilayah Kelurahan Banaran. Saya menyusuri jalan yang berada di sepanjang pantai, berjarak sekitar seratus meter dari bibir pantai. Memasuki area pertanian lahan pantai, yang terlihat adalah hamparan gundukan pasir pantai (gumuk pasir) yang di atasnya tumbuh berbagai tanaman. Kawasan pertanian lahan pantai ini merupakan hamparan pasir hitam yang telah diolah warga setempat selama bertahun-tahun menjadi sebuah lahan pertanian yang subur.


Di sepanjang area pertanian lahan pantai pesisir Kulon Progo dari Kelurahan Banaran di ujung timur hingga Kelurahan Karang Wuni di ujung barat, area pantai telah menjadi lahan produktif pertanian. Lombok, semangka, melon, terong, kacang panjang, timun, adalah beberapa tanaman yang paling banyak ditemui di lahan pantai ini. Bahkan, juga terdapat perkebunan pohon buah naga. Saya melihat beberapa petani sedang mengurus tanaman. Menyirami, merabuk, membenih, dan beberapa lainnya sedang memetik panenan. Hebatnya, petani setempat menciptakan sistem sumur renteng sebagai sumber air tawar yang digunakan untuk menyirami tanaman di lahan pasir.


Memang, penduduk di kawasan pesisir Kulon Progo kebanyakan berprofesi sebagai petani. Namun di tempat-tempat tertentu terdapat penduduk yang berprofesi sebagai nelayan. Para nelayan tersebut tidak memiliki perahu sendiri, tetapi hanya menjadi buruh nelayan bagi pemilik perahu. Sementara itu, beberapa petani juga merangkap sebagai tenaga dorong kapal nelayan yang naik maupun turun laut. Salah satunya ada di pantai Trisik yang terletak di area pertanian lahan pantai sebelah timur. Di pantai ini juga terdapat warung-warung yang menjual ikan hasil tangkapan nelayan.


Di sebelah barat pantai Trisik terdapat area transmigrasi lokal yang merupakan hasil program pemerintah setempat dan didampingi oleh Dinas Transmigrasi. Sebagian penduduk desa memiliki rumah-rumah di wilayah transmigrasi lokal. Di area transmigrasi lokal ini berjajar rumah-rumah yang dindingnya terbuat dari block batako dan atapnya berbahan asbes. Terdapat dua area transmigrasi lokal, yaitu di kawasan pantai Desa Bugel Kecamatan Panjatan dandi kawasan pantai desa Karangsewu Kecamatan Galur. Letaknya sekitar 200 meter dari bibir pantai.


Di daerah tengah-tengah antara Pantai Trisik dengan lokasi transmigrasi lokal, terdapat beberapa bangunan yang bukan rumah penduduk. Bangunan tersebut memiliki halaman dan dikelilingi pagar kawat besi. Ini lah kompleks kantor PT Jogja Magasa Iron, perusahaan tambang swasta yang akan mengeksplorasi bijih besi di kawasan pantai Kulon Progo. (Komposisi kepemilikan saham PT Jogja Magasa Iron adalah PT Jogja Magasa Mining (Indonesia) sebesar 30% dan Indo Mines Limited (Australia) sebesar 70%.) Wilayah pantai Kulon Progo ini direncanakan akan dijadikan tambang bijih besi, beserta pabrik pengolahannya. Pilot project penambangan pasir besi tersebut berada di Pantai Trisik, dan saat ini telah beroperasi.


Menurut rencana, luas kawasan pantai yang akan dijadikan tambang adalah hampir 3000 hektar, dengan panjang 22 kilometer membentang sepanjang kawasan pantai, dan masuk dari bibir pantai ke daratan selebar 1,8 kilometer. Selain itu, pengerukan pasir akan dilakukan hingga kedalaman 14,5 meter. Lokasi penambangan ini melintasi empat kecamatan, yakni Galur, Panjatan, Temon, dan Wates, serta sepuluh desa, yakni Banaran, Karangasem, Garongan, Pleret, Bugel, Glagah, Palian, Sindutan, Jangkaran, dan Karangwuni.


Pembukaan area pertambangan bijih besi tersebut jelas akan menggusur pertanian lahan pantai yang selama ini digarap warga setempat. Berkali-kali warga pesisir Kulon Progo melakukan aksi demonstrasi di berbagai tempat untuk menolak beroperasinya proyek penambangan ini. Bahkan pada aksi di depan kantor Bupati Kulon Progo tanggal 20 Oktober 2009, ribuan petani terlibat bentrokan dahsyat melawan Polisi.


Tak lama kemudian, saya tiba di tujuan, yakni rumah seorang teman di kawasan transmigrasi lokal. Ia adalah petani penggarap lahan pantai. Pria berusia sekitar 45 tahun tersebut dan istrinya sedang memanen mentimun di samping rumahnya. Di sebelah tanaman timun terdapat tanaman terong, lombok merah, dan daun bawang (loncang). Baginya, pertanian lahan pantai adalah salah satu sumber pendapatan keuangan yang penting bagi keluarga. Terutama untuk membiayai sekolah seorang putranya yang masih duduk di Sekolah Dasar. Ia tidak bisa membayangkan jika lahan pertanian yang telah digarap bertahun-tahun akan diambil oleh perusahaan untuk dijadikan tambang pasir. Penghasilan keluarga tentu akan berkurang.


Ada tiga hal yang dikhawatirkan bapak tersebut jika penambangan dilakukan. Pertama, kerusakan lingkungan. Eksploitasi penambangan pasir besi di lahan pantai yang direncanakan memakan lahan seluas hampir 3000 hektar dan beroperasi selama tiga puluh tahun kiranya lebih dari cukup untuk menghancurkan struktur tanah, mengakibatkan ketidaksuburan dan kelangkaan air untuk pengairan tanaman.


Ia mencontohkan, di sebelah utara rumah transmigrasinya terdapat lahan yang berlubang-lubang besar dan dalam akibat pengerukan pasir oleh orang-orang yang sengaja mengambil maupun menjual pasir pantai sebagai bahan bangunan. Area yang telah berubang-lubang tersebut tidak dapat ditanami kembali karena telah terjadi perubahan kontur lahan, kerusakan sifat kesuburan tanah, serta hilangnya air tanah akibat pengerukan. Oleh karena itu, dapat dibayangkan bagaimana kerusakan kesuburan lahan pantai dan berkurangnya sumber air jika dilakukan penambangan selama tigapuluh tahun. Apalagi wilayah pantai yang dijadikan area pertambangan nantinya akan dikeruk hingga kedalaman 14,5 meter.


Kedua, hilangnya mata pencaharian warga sebagai petani lahan pantai. Petani penggarap lahan pantai di Kulon Progo jumlahnya ribuan, muda maupun tua, laki maupun perempuan. Jika area pertanian lahan pantai diubah menjadi pertambangan bijih besi, maka hal itu sama dengan memaksa ribuan warga setempat untuk berhenti dari profesi mereka sebagai petani lahan pantai. Padahal, bertani adalah sumber kehidupan sekaligus ketrampilan mereka yang telah diasah bertahun-tahun. Di samping itu, tidak semua warga memiliki tanah pertanian di luar lahan pantai. Jika terdapat sebagian warga yang juga menggarap tanah di luar lahan pantai, maka mereka hanya buruh tani yang mengerjakan tanah milik orang lain. Beberapa warga memang memiliki lahan pertanian sendiri, dan beberapa lainnya adalah penyewa tanah di luar lahan pantai.


Menurut bapak itu, pihak perusahaan dan pemerintah pernah mengatakan bahwa proyek penambangan dan pengolahan biji besi akan merekrut warga setempat sebagai tenaga kerja. Berita di media massa menyebutkan bahwa proyek ini akan menyerap tenaga kerja sebanyak 1500 hingga 2000 orang. Namun jumlah ini terlalu kecil dibandingkan banyaknya penduduk yang tergusur dari profesi mereka sebagai petani lahan pantai yang jumlahnya ribuan. Daya serap tenaga kerja di perusahaan tidak akan sebanding dengan banyaknya jumlah penduduk setempat yang membutuhkan mata pencaharian sebagai sumber penghidupan. Hanya sedikit warga yang akan terserap sebagai tenaga kerja di perusahaan.


Warga tahu bahwa perekrutan tenaga kerja tersebut sangat terbatas, baik dari segi jumlah, tingkat pendidikan, dan umur. Mungkin juga jenis kelamin. Selain itu, perusahaan tentu akan mengajukan syarat-syarat bagi calon tenaga kerja, misalnya syarat minimal tingkat pendidikan serta umur maksimal dan minimal (dicari yang muda-muda, karena tenaganya kuat). Apapun syaratnya, banyak warga akan tersingkir dari akses kerja di perusahaan. Sementara di sisi lain, mereka kehilangan mata pencaharian sebagai petani penggarap lahan pantai.


Ketiga, ketidakjelasan nasib warga desa yang lanjut usia. Di sela semilir angin pantai yang berhembus, bapak tani tersebut mengungkapkan kegundahannya terkait nasib para orang tua lanjut usia jika penambangan bijih besi dioperasikan. Salah satu elemen masyarakat yang akan menjadi korban paling menderita adalah para orang tua yang usianya di atas 60-an tahun. Perubahan fungsi lahan pantai menjadi area pertambangan bijih besi berarti pula tertutupnya lokasi tersebut dari akses aktivitas warga setempat yang tidak berhubungan dengan perusahaan pertambangan. Padahal, menurutnya, warga setempat yang berusia lanjut selama ini masih bisa beraktivitas dan boleh dibilang menjadi lebih produktif dengan keberadaan area pertanian lahan pantai. Orang-orang tua tersebut masih bisa membantu mencabuti rumput liar, memanen sayur, serta aktivitas pertanian yang lain. Dengan beroperasinya penambangan, maka orang-orang tua lanjut usia akan tersingkir dari lahan tempat mereka beraktivitas mencari penghasilan, minimal sebagai subsisten. Sementara, mereka juga tidak memiliki akses pada dunia usaha dan dunia kerja di luar pertanian. Beban hidup akan semakin berat, bagi para orang tua lanjut usia tersebut maupun bagi keluarganya.


Oleh karena itu, hingga saat ini ribuan warga penggarap pertanian lahan pantai tetap berjuang agar lahan pantai tidak dialihfungsikan menjadi area tambang bijih besi. Sebagaimana diucapkan bapak tersebut, penjara dan tetesan darah tidak akan pernah membuat para petani mundur. Menurutnya, hal ini dilakukan terutama demi masa depan generasi penerus. Ia mengungkapkan bahwa para orang tua dan kakek-kakek mereka pada jaman dahulu berjuang berusaha merebut lahan pantai dari penguasaan penjajah Belanda dan Jepang. Maka saat ini para petani akan mempertahankannya.


Hingga saat ini status kepemilikan tanah di kawasan pesisir Kulon Progo masih menjadi persengketaan. Konflik tanah ini melibatkan klaim tanah negara, tanah milik bersertifikat, tanah desa, dan tanah milik Kadipaten Pakualaman (Pakualam Ground).


Hari memang belum sore ketika saya berpamitan pulang. Di laut, kapal-kapal nelayan terlihat masih hilir-mudik mencari ikan. Sementara di lautan yang lebih ke tengah, beberapa kapal besar juga tampak berlalu-lalang. Biasanya kapal pengangkut batu bara dan pengangkut minyak pelabuhan Cilacap, menurut bapak itu. Air laut berwarna biru, dengan ombak besar yang berdebur silih berganti, khas laut selatan. Di ujung hamparan tanaman-tanaman sayuran yang mendekati bibir pantai dibatasi oleh pohon-pohon cemara. Tercium bau air laut bercampur dengan bau pasir pantai dan bau daun pohon cemara. Langit juga tampak biru, bersih dan indah. Sementara, angin berdesis, menimbulkan suara gemerisik ketika menerpa dedaunan. Semua menggoda saya untuk tidak beranjak dari tempat itu. Namun saya memutuskan untuk segera pulang.


Di dalam perjalanan pulang, saya berpikir. Di pantai Kulon Progo yang indah, tersimpan dua potensi kekayaan alam, yakni pertanian dan bijih besi. Kedua potensi kekayaan alam tersebut kini menimbulkan masalah. Petani penggarap lahan pantai berhadap-hadapan melawan kolaborasi antara perusahaan tambang swasta dengan pemerintah. Satu lagi potensi yang muncul dari peristiwa ini: potensi konflik sosial! Petani berhadap-hadapan melawan kekuatan pemodal dan kekuasaan negara.


Di saat kebudayaan urban berkembang di mana-mana, masyarakat pesisir Kulon Progo sedang berjibaku mempertahankan akar tradisi kehidupan pedesaan mereka: pertanian. Banyak faktor yang menyebabkan warga pesisir Kulon Progo memilih pertanian sebagai mata pencaharian mereka. Namun, mereka tetap memiliki kebanggaan menjadi petani, meski tak jarang sedih dengan nilai tukar petani yang selalu dikalahkan oleh negara.


Saat ini, sebagian besar masyarakat, terutama di kota-kota besar, menganggap petani sebagai profesi yang inferior. Kebudayaan agraris dipandang sebelah mata, terutama oleh anak-anak muda perkotaan. Sebagian besar anak-anak muda perkotaan tidak tertarik pada profesi petani. Dunia pertanian ditinggalkan, bahkan oleh sebagian pemuda warga desa sendiri. Di dalam keadaan yang demikian, pada saat yang sama, ribuan warga pesisir Kulon Progo berjuang mempertahankan pertanian sebagai mata pencaharian penyangga kehidupan. Inilah pertanian dengan jiwa.


Namun sungguh sayang, sikap pemerintah eksekutif maupun legislatif di daerah maupun pusat yang memberi kesempatan eksplorasi tambang bijih besi merupakan wujud ketidakberpihakan mereka pada petani penggarap lahan pantai Kulon Progo. Di dalam kasus ini, negara telah menempatkan diri di pihak pemilik modal dan anti pertanian. Akselerasi pendapatan profit yang bersifat jangka pendek dan hanya untuk kalangan terbatas lebih diutamakan daripada kontinuitas sumber penghidupan mayoritas warga, juga kelestarian alam.


Tuntutan para petani pesisir Kulon Progo kerap dijawab dengan menggunakan bahasa-bahasa kekuasaan, termasuk represi aparat keamanan. Pemerintah selalu mengeluarkan argumentasi-argumentasi teknis-prosedural birokratis. Negara malah membunuh dunia pertanian yang telah dihidupkan dan dipertahankan dari bawah oleh warga desa. Sebenarnya adalah hal yang mudah bagi negara jika ingin persoalan ini segera selesai. Masalahnya adalah keberpihakan.


Pengalihfungsian lahan pantai menjadi tambang bijih besi mungkin akan menghasilkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang berkali-kali lebih besar dalam waktu relatif singkat. Namun ia juga akan mendatangkan kecenderungan-kecenderungan baru yang tidak berbasis pada dunia pertanian. Selain itu, pada saat yang sama, sektor pertanian dihancurkan dan ribuan petani penggarap lahan pantai digusur dari profesinya. Jika kelak kawasan lahan pantai benar-benar dijadikan area tambang, maka akan terjadi interupsi dan mungkin diskontinuitas kebudayaan agraris masyarakat setempat dengan segenap nilai-nilainya. Juga terjadi kerusakan ekologi.


Beberapa hari terakhir ini sebagian bahan kebutuhan pokok di dalam negeri mengalami kenaikan harga. Mungkin sebagian faktor kenaikan tersebut adalah seiring datangnya hari Natal, sebagaimana juga terjadi pada hari-hari besar lainnya, ditambah moment pergantian tahun yang juga sedang menjelang. Selayaknya hukum pasar, maka peningkatan permintaan diikuti kenaikan harga. Logika yang mengikuti peristiwa ini kemudian adalah: konsumen susah, produsen senang. Namun kenyataannya tidak selalu demikian.


Persoalan petani di Indonesia tidak semata pada teknis pertanian dan pemasaran hasil pertanian. Naiknya harga komoditas di pasar konsumen sering tidak berbanding lurus dengan kenaikan kwalitas kehidupan petani kecil. Para petani juga harus berhadapan dengan persoalan kepemilikan lahan garapan dan persoalan keberpihakan pemerintah. Ditambah lagi persoalan rantai distribusi komoditas yang melibatkan tengkulak.****


Yogyakarta, akhir Desember 2009