Saturday, March 27, 2010

GUA BATU RABAH DAN GUA PERTAPAAN LUTAI


Pada tangal 20 November 2009, saya dan Handian Purwawangsa berkunjung ke kompleks Batu Rabah di Desa Bepara, Kecamatan Pamukan Utara, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Kami diantar oleh Harinal Rominaldi (Kepala Desa Bepara) dan Samson (seorang pemandu yang mengetahui seluk beluk Batu Rabah). Kepala Desa dan pemandu tersebut adalah penduduk asli setempat. Mereka dari suku Dayak Samihin. Menurut mereka, kompleks Batu Rabah biasa digunakan sebagai tempat ritual aliran spiritual Kaharingan. Kaharingan merupakan nama suatu aliran kepercayaan spiritual yang dianut oleh beberapa masyarakat di Kalimantan Selatan.




Setelah berjalan kaki melalui area perkebunan kelapa sawit dan hutan kecil, kami sampai di kompleks Batu Rabah. Di tempat ini terdapat tebing atau gundukan batu yang tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu rendah. Tebing atau gundukan batu ini yang disebut Batu Rabah. Gundukan batu tersebut diselimuti berbagai tumbuh-tumbuhan, terutama tumbuhan merambat. Beberapa pohon besar juga tumbuh di sisi-sisi gundukan dan di area sekitarnya.


Di samping kompleks Batu Rabah terdapat sungai yang airnya berwarna coklat. Penduduk setempat menyebutnya sebagai Sungai Samihin. Ada juga yang menyebutnya Sungai Cengal. Masyarakat setempat menggunakan sungai ini sebagai sumber air kebutuhan sehari-hari.


Saya dan Harinal Rominaldi berjalan mendekat ke bibir sungai. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh bisikan Kepala Desa Bepara tersebut yang menyatakan bahwa baru saja ada buaya di pinggir sungai, sekitar dua meter dari tempat kami berdiri. Ia lantas menunjukkan bekas jejak buaya yang masih baru. Menurutnya, mungkin buaya tersebut menceburkan diri ke sungai karena mendengar kami datang.


Masyarakat setempat memiliki cerita turun temurun tentang asal mula Batu Rabah. Alkisah pada jaman dahulu kala terdapat seseorang yang bernama Dayuhan. Ia adalah orang sakti. Dayuhan mempunyai keinginan naik ke langit. Ia kemudian menyusun batu-batu hingga menyerupai menara. Tumpukan batu-batu tersebut akan ia gunakan sebagai tangga panjatan untuk naik ke langit.


Ketika Dayuhan sedang bekerja menyusun batu, ia merasa haus. Ia berniat untuk minum air sungai yang terletak tidak jauh dari tempatnya menyusun batu. Dayuhan kemudian memerintahkan seekor kodok (di dalam bahasa Dayak Samihin disebut ”Ukang”) untuk menjaga batu yang sudah disusunnya tersebut. Dayuhan berpesan agar si Ukang segera memberi tahu dirinya jika tumpukan batu tersebut terlihat akan roboh.


Tumpukan batu yang disusun oleh Dayuhan sudah sangat tinggi. Sedangkan pandangan mata Ukang terhalang oleh bulu matanya sendiri. Oleh karena itu, Ukang tersebut tidak bisa melihat puncak dari susunan batu. Akibatnya batu yang telah disusun tersebut roboh, dan menjadi gundukan batu. Oleh karena itu, gundukan batu tersebut diberi nama Batu Rabah (rabah = roboh).


Di kaki tebing atau gundukan batu ini terdapat dua gua. Di lokasi pertama, kami menjumpai gua kecil yang diberi nama Gua Batu Rabah. Di sebelahnya, terdapat gua agak besar dan lebih dalam, yang diberi nama Gua Pertapaan Lutai. Walau berada di lokasi batu yang sama, namun kedua gua tersebut terpisah dan lubangnya tidak saling terhubung.


Gua pertama, atau Gua Batu Rabah, tidak dapat dimasuki manusia karena mulut gua yang sangat sempit dan rendah jaraknya dari tanah. Gua ini kecil. Menurut Samson dan Harinal Rominaldi, sebenarnya gua tersebut dahulu agak besar. Namun karena mengalami peruntuhan dan amblas akibat proses alam, maka semakin lama gua tersebut menjadi semakin sempit.


Persis di depan mulut Gua Batu Rabah, terdapat pernik-pernik yang digunakan sebagai tempat sesaji sarana upacara ritual aliran Kaharingan. Pernik-pernik tersebut berupa kayu yang dibuat menjadi semacam wadah dan didirikan dengan empat penyangga. Pada bagian atas wadah terdapat rumbai-rumbai daun tertentu yang dipotong dengan pola tertentu.


Ritual di mulut Gua Batu Rabah biasanya dilakukan dengan mempersembahkan anak ayam. Beberapa anak ayam dilepaskan di mulut gua, dan kemudian dipercaya bahwa anak ayam tersebut akan dimakan oleh penunggu gua. Gua Batu Rabah dipercaya dijaga oleh dua ekor macan ghaib. Ritual ini biasanya dilakukan ketika seseorang sedang mengharap atau menginginkan sesuatu. Biasanya permohonan keselamatan dan kesejahteraan.


Pada jaman dahulu, masyarakat setempat pernah memiliki kepercayaan bahwa konon di dalam Gua Batu Rabah terdapat sarang burung walet ghaib yang berjumlah sangat banyak. Namun tidak mudah untuk bisa mendapatkannya. Untuk mendapatkan sarang burung walet tersebut dibutuhkan syarat atau tumbal berupa kelapa gading yang ditanam oleh raja. Istilah ”kelapa gading yang ditanam oleh raja” merupakan kiasan bagi anak bungsu atau anak pertama dari orang yang berniat mengambil sarang burung walet tersebut.


Gua yang kedua, atau Gua Pertapaan Lutai, lubangnya lebih besar dan dalam dibandingkan Gua Batu Rabah. Letaknya berada di sebelah Gua Batu Rabah, dan harus memanjat naik ke atas terlebih dahulu untuk mencapainya. Kata "Lutai" berasal dari nama tokoh di dalam mitologi masyarakat setempat. Menurut cerita masyarakat setempat, Lutai adalah orang yang sangat sakti dan merupakan keturunan petir. Ia berbadan besar. Sebelah badan Lutai berwarna merah, karena keturunan petir.


Di langit-langit gua tersebut terdapat stalactite. Pada saat kami masuk ke dalam gua ini, kami melihat beberapa kelelawar hutan yang sedang bergantungan di langit-langit gua dan stalactite. Kelelawar tersebut besar-besar. Mereka sedang tidur. Dinding-dinding gua adalah batu. Dasar atau lantai Gua Pertapaan Lutai berupa tanah lempung yang agak basah namun pecah-pecah, menandakan bekas adanya genangan air. Kontur dasar gua tidak rata, bergelombang, bahkan terdapat lubang dan cekungan yang dalam. Di dalam beberapa lubang dan cekungan tersebut terdapat genangan air yang warnanya coklat agak kehijauan.


Menurut Samson dan Harinal Rominaldi, gua tersebut sebenarnya dahulu berisi air. Hal ini memang terlihat dari sisa-sisa kontur dasar gua dan juga sisa air yang ada di dalam cekungan-cekungan dasar gua, seperti sumur. Bahkan, menurut keyakinan masyarakat setempat, konon naik-turunnya permukaan air sumur di dalam gua tersebut mengikuti keadaan pasang-surutnya air laut di pantai yang berjarak cukup jauh dari lokasi gua tersebut. Di sebelah timur, wilayah Kabupaten Kotabaru berbatasan dengan laut.


Gua Pertapaan Lutai memiliki lubang yang masuk ke dalam. Lubang tersebut semakin mengecil dan gelap. Oleh karena itu, kami tidak berani masuk lebih jauh ke dalam. Hanya saja, menurut cerita turun temurun masyarakat setempat, lubang tersebut pada akhirnya bercabang dua. Salah satu ujung dari lubang tersebut bermuara di Malang, Jawa Timur. Saya kaget mendengarnya.


Berdasar cerita masyarakat setempat, konon pada jaman Belanda pernah dilakukan penjajakan terhadap kedalaman dan ujung lubang di dalam gua ini. Penjajakan dilakukan dengan menggunakan dua buah kelapa yang telah ditandai. Kedua buah kelapa ini dimasukkan ke dalam kedua lubang atau sumur tersebut. Masing-masing lubang dimasukki satu buah kelapa. Satu kelapa muncul dan keluar di Kota Malang, Pulau Jawa. Satu kelapa lainnya muncul dan keluar di Babolo, Kalimantan Timur. Selain itu, menurut cerita turun temurun masyarakat setempat, pemerintah Belanda pernah memerintahkan dua orang buangan untuk menelusuri sumur atau lubang tersebut. Orang buangan yang pertama sampai di Malang setelah tiga tahun, sedangkan orang buangan yang lain sampai di Babolo dalam waktu tiga bulan.


Setelah saya dan Handian Purwawangsa merasa cukup puas melihat dan mendengar uraian tentang kompleks Batu Rabah, kami kemudian beranjak meninggalkan tempat tersebut. Kami kembali melewati rimbunan pohon-pohon perdu maupun pohon-pohon besar. Beberapa batang pohon besar yang tumbang merintangi jalan yang kami lalui. Di sepanjang perjalanan pulang, Samson menerangkan nama-nama berbagai macam tumbuhan, pohon dan buah-buahan, serta menerangkan kegunaannya. Ada tumbuhan yang berguna sebagai obat-obat tertentu, dan ada tumbuhan yang getahnya digunakan sebagai racun pada Sumpit, yakni senjata tradisional masyarakat Dayak.


Sementara, Harinal Rominaldi lebih banyak menceritakan perbandingan keadaan hutan jaman dahulu dengan saat ini. Menurutnya, hutan primer di wilayahnya (Desa Bepara) saat ini telah habis. Sebagian besar telah menjadi lahan perkebunan. Ia juga menceritakan tentang aksi pembalakan liar (illegal logging) pada jaman Orde Baru. Para pembalak liar (illegal logger) pada jaman dahulu bebas melakukan aksinya karena bekerja sama dengan aparat keamanan dan oknum pejabat pemerintah. Para pembalak liar tersebut membawa alat-alat berat yang modern. Pada waktu itu masyarakat setempat hanya mampu menonton, karena takut untuk melarang. Sebagai akibat dari habisnya hutan primer ini, masyarakat adat tergusur dari habitatnya. Berbagai hewan juga berkurang dan jarang ditemui lagi*****


Yogyakarta, 28 Maret 2010