Kulit kening bapak itu mengernyit
saat berusaha memanggil kembali ingatan tentang peristiwa yang terjadi ketika
ia masih kecil. Ia lahir tahun 1955. Sekitar empat puluh lima tahun yang lalu,
ia menyaksikan mayat manusia mengapung di sungai yang berada di depan kami
berdua. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali. Tidak hanya satu mayat, tapi
beberapa mayat. Mungkin lima atau enam kali, dengan mayat yang berbeda, di
tempat yang berbeda, dan di hari yang berbeda-beda pula. Ia menyaksikannya di
siang hari. Di sungai Bah Bolon.
Sungai Bah Bolon terletak di
Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Sungai yang melewati kota
Pematangsiantar ini memiliki luas yang tidak tentu, kadang lebar di satu tempat
dan menyempit di tempat lain. Deras arus dan kedalaman air juga berbeda-beda
antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Pada jaman dahulu, beberapa
masyarakat setempat percaya bahwa di sungai Bah Bolon terdapat buaya putih,
sehingga sungai ini dianggap berbahaya. Selain itu, sungai ini disebut sebagai
tempat pemandian raja. Di salah satu tepi sungai Bah Bolon diyakini terdapat
makam anak raja. Anak raja tersebut dikisahkan tewas akibat tenggelam dan
hanyut di sungai Bah Bolon.
Sungai Bah Bolon saat ini banyak
dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber irigasi pertanian. Sejumlah penduduk
berternak ikan dengan membuat kolam ikan di tepi sungai. Selain itu, beberapa
warga menggunakan sungai Bah Bolon sebagai sumber air minum dan untuk mencuci
pakaian.
Sungai ini juga menjadi sumber
air bagi pabrik-pabrik yang ada di daerah sekitarnya. Misalnya pabrik es,
pabrik korek api, dan pabrik rokok. Namun, beberapa warga juga menduga bahwa
pabrik-pabrik ini menjadikan sungai Bah Bolon sebagai tempat pembuangan limbah
pabrik. Pada tahun 2006, tersiar kabar wacana tentang kemungkinan pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Air di sungai Bah Bolon oleh Pemerintah Kota
Pematangsiantar.
Sungai Bah Bolon tidak hanya
mengalir melewati kota, namun juga melewati area perkebunan. Berbagai
perusahaan perkebunan milik pemerintah maupun swasta menempati ribuan hektar
lahan di Kabupaten Simalungun. Saat ini, sebagian besar area perkebunan
tersebut ditanami kelapa sawit. Beberapa lainnya ditanami karet dan coklat.
Perkebunan-perkebunan tersebut dibuka pertama kali pada jaman pemerintah
Kolonial Belanda.
Semenjak sekitar tahun 1800,
terjadi pertambahan hasil produksi atas tanaman-tanaman ekspor di Indonesia
(Hindia Belanda). Hal ini memancing semakin banyaknya aliran modal yang masuk
ke Indonesia. Sebagian besar merupakan modal swasta asing. Pengusahaan perkebunan
modern semakin diperkuat dengan Undang Undang Agraria 1870, yang juga menandai
perubahan dari sistem Kultuur Stelsel menjadi pengusahaan partikelir (swasta).
Pada tahun 1863, percobaan
pertama penanaman tembakau di daerah Deli, sekitar Medan, berhasil meningkatkan
produksinya. Pembukaan perkebunan tembakau ini berperan penting bagi
perkembangan industri perkebunan di Sumatera Utara, karena hal ini akan
berpengaruh pada pembukaan perkebunan karet dan kelapa sawit di kemudian hari.
Modal dari luar negeri mulai mengalir masuk.[i]
Seiring dengan meningkatnya
industri perkebunan, maka kebutuhan tenaga kerja juga meningkat. Pada akhir
abad 19 dan awal abad 20, pemerintah Belanda dan perusahaan perkebunan mulai
mendatangkan tenaga kerja dari luar wilayah, di antaranya dari pulau Jawa, dan
disebut "koeli kontrak".[ii]
Mereka diikat dengan kontrak dan diancam dengan hukuman poenale sanctie yang
terkenal kejam.
Jacobus Nienhuys, pemilik Deli
Maatschappij, perusahaan perkebunan tembakau di Deli, terkenal kekejamannya di
dalam mempraktekkan poenale sanctie. Pada masa itu perusahaan perkebunan
disebut menjalankan produksi menggunakan teror.[iii]
Keadaan buruh perkebunan sebenarnya mirip budak, sebagaimana di perkebunan
Amerika Selatan.
Pada tahun 1942, Jepang mengambil
alih penguasaan Indonesia dari tangan Belanda. Jepang juga mengontrol
perusahaan asing di Indonesia, termasuk perusahaan perkebunan di Simalungun.
Tidak hanya itu, menurut cerita warga setempat, beberapa serdadu Jepang
merampas istri seorang pejabat perkebunan di Simalungun. Pejabat yang bernama
E.P. Barnett dan istrinya tersebut adalah bangsa Eropa.
Warga setempat meyakini bahwa
akibat dari peristiwa kehilangan istrinya karena diambil oleh orang Jepang,
maka E.P. Barnett mengalami depresi dan akhirnya bunuh diri. Ia menceburkan
diri di sungai Bah Bolon yang dalam dan arusnya deras. Jasad E.P. Barnet
kemudian dimakamkan di halaman sebuah kantor perusahaan perkebunan tempatnya
bekerja. Hingga saat ini, makam E.P. Barnett masih ada, di daerah Bukit
Maradja.
Pada masa Kolonial Belanda dan
Jepang, jarang terdapat serikat buruh di perkebunan. Hal ini mengakibatkan
posisi buruh perkebunan lemah di hadapan perusahaan maupun pemerintah. Setelah
negara Indonesia berdiri, organisasi buruh di perkebunan tumbuh subur. Berkembanglah
berbagai organisasi buruh perkebunan dengan bermacam-macam aliran politik dan
latar belakang ideologi. Mereka memperjuangkan isu-isu normatif, bahkan ada
yang hingga politis.
Beberapa penduduk usia tua di
Simalungun yang saya temui bercerita bahwa pada jaman pemerintahan Soekarno,
buruh-buruh perkebunan tergabung di dalam organisasi buruh, termasuk yang
berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Hal yang sama juga terjadi
di sektor lain, seperti sektor petani yang terorganisir di BTI (Barisan Tani
Indonesia), dan sektor perempuan yang bernaung di bawah Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia).[iv]
Pada tahun 1960, pemerintahan
Soekarno mengeluarkan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Penjabarannya
diteruskan dalam UU 56/1960 yang dikenal sebagai Undang Undang Land Reform.
Pemerintah waktu itu berupaya menata kembali kepemilikan, penguasaan, dan
pengusahaan tanah. Namun, pelaksanaan UUPA mengalami persoalan, bahkan desain
programnya sendiri masih terdapat banyak kekurangan. Organisasi tani dan buruh
perkebunan yang berafiliasi dengan PKI saat itu paling gencar menuntut
penerapan UU Pokok Agraria.
Sebelum tahun 1965, situasi
politik nasional sangat fluktuatif. Faksi-faksi di kalangan politisi dan
tentara terlibat di dalam konflik hingga berujung pada terbunuhnya enam jendral
dan satu perwira pertama Angkatan Darat pada tanggal 30 September malam dan 1
Oktober dini hari 1965 di Jakarta. Buntut dari peristiwa ini adalah pembunuhan
terhadap ratusan ribu, bahkan ada yang menyebut tiga juta-an anggota dan
simpatisan PKI dan kekuatan politik kiri lainnya di sepanjang tahun 1966 hingga
1967. Peristiwa di Jakarta menular dan menyebar ke berbagai daerah.
Pembunuhan demi pembunuhan
akhirnya juga merambat ke Simalungun. Seorang putri mantan pegawai perkebunan
di Simalungun tahun 1960-an mengkisahkan pada saya tentang cerita-cerita di
perkebunan yang didengar dari bapaknya. Bapaknya pernah bercerita bahwa setelah
peristiwa 1965, tersebar kabar imbauan agar para pegawai perkebunan harus
menyiapkan lahan liang lahat untuk mereka sendiri. Hal ini sebagai antisipasi
jika terjadi pembunuhan pada mereka yang dilakukan oleh pihak musuh politik
PKI. Menurut bapaknya, pada era pemerintahan Soekarno, sebagian besar pegawai
dan buruh perusahaan perkebunan merupakan anggota organisasi pekerja yang
berafiliasi dengan PKI, sebagai partai yang relatif berkuasa pada saat itu.[v]
Walaupun kabar burung tentang
himbauan untuk menyiapkan liang lahat diri sendiri tersebut terkesan
berlebihan, namun desas-desus ini setidaknya memberi gambaran suasana mencekam
saat itu di daerah perkebunan Simalungun.
Liang lahat tersebut ternyata
tidak banyak dibutuhkan, karena jasad para korban lebih banyak dibuang ke
sungai Bah Bolon. Seorang warga setempat menceritakan bahwa beberapa jasad
korban pembunuhan 1965 sebenarnya juga ada yang dikubur di suatu lokasi yang
saat ini telah dijadikan area perkebunan. Menurutnya, di atas kuburan tersebut
kini telah ditanami pohon-pohon kelapa sawit. Akan tetapi, lebih banyak mayat
yang dibuang di sungai Bah Bolon, menurutnya.
Beberapa warga Simalungun
menyebut nama “Titi Maut” jika bercerita tentang peristiwa pembunuhan buntut
tragedi 1965. Istilah ini merujuk pada nama salah satu tempat yang dipercaya
digunakan sebagai lokasi eksekusi pembunuhan anggota dan simpatisan PKI. Titi
Maut merupakan nama sebuah jembatan yang melintasi sungai Bah Bolon. Jembatan
ini menghubungkan dua daerah, dan digunakan sebagai infrastruktur mobilisasi
warga. Menurut cerita-cerita masyarakat setempat, di atas jembatan Titi Maut
ini para korban disembelih dan jasadnya langsung diceburkan ke sungai Bah
Bolon. Eksekusi dilakukan di malam hari.
Menurut beberapa warga setempat
yang bercerita pada saya, pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI banyak
dilakukan oleh centeng-centeng (petugas keamanan) perkebunan. Namun
centeng-centeng ini tidak bekerja sendiri, melainkan “dikoordinasi” oleh
tentara.
Terdengar kabar bahwa kala itu
beberapa penduduk desa, terutama para buruh perkebunan dan petani, sebenarnya
sempat akan melakukan perlawanan. Namun dikarenakan kalah dukungan, maka
perlawanan tersebut dapat segera padam. Penangkapan dan pembunuhan pada para
anggota dan simpatisan PKI berlanjut.
“Kejadian itu adalah peristiwa
perang saudara,” demikian bapak tersebut mengakhiri ceritanya sore itu. Cerita
tentang pembunuhan di daerah perkebunan Simalungun sebagai akibat rentetan
peristiwa 30 September-1 Oktober 1965 di Jakarta. Cerita tentang sungai Bah
Bolon yang ada di depan kami.
Sore hari di awal bulan Maret
2010, di tepi Sungai Bah Bolon. Air sungai berkilau-kilau kuning kemerahan,
yang merupakan pantulan sinar matahari sore. Namun sekitar empat puluh lima
tahun yang lalu, air sungai Bah Bolon benar-benar terciprat warna merah,
berasal dari darah manusia.
Sungai Bah Bolon tidak hanya
mengalirkan air. Ia juga mengalirkan berbagai cerita, fakta ataupun fiksi.
Bahkan campuran antara fakta dan fiksi. Beberapa aliran cerita tersebut sengaja
dibendung, agar tidak mengalir lagi.*****
Yogyakarta, pertengahan April 2010
Catatan:
[i] Lihat J.A.C Mackie, 1963, Sedjarah Pembangunan Ekonomi Dalam Dunia Modern, Jakarta: PT Pembangunan Djakarta. (Penterjemah: Soekadijah c.s.). Halaman 118-195.
[ii] Para
pekerja perkebunan yang didatangkan dari Jawa dikenal dengan sebutan “Jawa
Kontrak.” Hingga saat ini, anak turun para pekerja dari Jawa masih berada di
daerah perkebunan dan sekitarnya. Mereka dikenal dengan istilah “Pujakesuma,”
yang merupakan akronim dari Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Untuk daerah
Simalungun, menurut Bupati Simalungun, T Zulkarnain Damanik, dari 882 ribu
jumlah penduduk di kabupaten Simalungun saat ini, hampir 52% adalah etnis Jawa.
(http://www.waspada.co.id, 26 January 2010)
[iii] Sebutan
ini diberikan oleh Jan Breman, sebagaimana dikutip Edi Cahyono. Lihat Soegiri
DS dan Edi Cahyono, 2003, Gerakan Serikat Buruh, Jaman Kolonial Hindia Belanda
Hingga Orde Baru, Jakarta: Hasta Mitra, hlm 112-113.
[iv] Pada
masa Soekarno, PKI memiliki organisasi sektor buruh perkebunan yang bernama
Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SABUPRI). SABUPRI mendapat dukungan dari
organisasi tani BTI, terutama karena kedekatan sektoral.
[v] Bandingkan
dengan jaman Soeharto, ketika Golkar berkuasa, maka seluruh pekerja akan masuk
menjadi anggota organisasi pekerja yang berafiliasi dengan Golkar atau bentukan
pemerintah. Namun, kedua kasus ini berbeda. Pada jaman Soekarno, setiap orang
bebas masuk organisasi yang disukainya. Jika pun PKI berjaya kala itu, dan banyak
karyawan perkebunan yang masuk ke dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI,
hal tersebut bukan dikarenakan paksaan atau bukan kewajiban dari pemerintah.
Sedangkan pada jaman Soeharto, para pekerja ditampung ke dalam organisasi yang
dibuat oleh pemerintah.