Sunday, May 9, 2010

CERITA MENGALIR DARI SUNGAI BAH BOLON


Kulit kening bapak itu mengernyit saat berusaha memanggil kembali ingatan tentang peristiwa yang terjadi ketika ia masih kecil. Ia lahir tahun 1955. Sekitar empat puluh lima tahun yang lalu, ia menyaksikan mayat manusia mengapung di sungai yang berada di depan kami berdua. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali. Tidak hanya satu mayat, tapi beberapa mayat. Mungkin lima atau enam kali, dengan mayat yang berbeda, di tempat yang berbeda, dan di hari yang berbeda-beda pula. Ia menyaksikannya di siang hari. Di sungai Bah Bolon.

Sungai Bah Bolon terletak di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Sungai yang melewati kota Pematangsiantar ini memiliki luas yang tidak tentu, kadang lebar di satu tempat dan menyempit di tempat lain. Deras arus dan kedalaman air juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Pada jaman dahulu, beberapa masyarakat setempat percaya bahwa di sungai Bah Bolon terdapat buaya putih, sehingga sungai ini dianggap berbahaya. Selain itu, sungai ini disebut sebagai tempat pemandian raja. Di salah satu tepi sungai Bah Bolon diyakini terdapat makam anak raja. Anak raja tersebut dikisahkan tewas akibat tenggelam dan hanyut di sungai Bah Bolon.

Sungai Bah Bolon saat ini banyak dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber irigasi pertanian. Sejumlah penduduk berternak ikan dengan membuat kolam ikan di tepi sungai. Selain itu, beberapa warga menggunakan sungai Bah Bolon sebagai sumber air minum dan untuk mencuci pakaian.

Sungai ini juga menjadi sumber air bagi pabrik-pabrik yang ada di daerah sekitarnya. Misalnya pabrik es, pabrik korek api, dan pabrik rokok. Namun, beberapa warga juga menduga bahwa pabrik-pabrik ini menjadikan sungai Bah Bolon sebagai tempat pembuangan limbah pabrik. Pada tahun 2006, tersiar kabar wacana tentang kemungkinan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air di sungai Bah Bolon oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar.

Sungai Bah Bolon tidak hanya mengalir melewati kota, namun juga melewati area perkebunan. Berbagai perusahaan perkebunan milik pemerintah maupun swasta menempati ribuan hektar lahan di Kabupaten Simalungun. Saat ini, sebagian besar area perkebunan tersebut ditanami kelapa sawit. Beberapa lainnya ditanami karet dan coklat. Perkebunan-perkebunan tersebut dibuka pertama kali pada jaman pemerintah Kolonial Belanda.

Semenjak sekitar tahun 1800, terjadi pertambahan hasil produksi atas tanaman-tanaman ekspor di Indonesia (Hindia Belanda). Hal ini memancing semakin banyaknya aliran modal yang masuk ke Indonesia. Sebagian besar merupakan modal swasta asing. Pengusahaan perkebunan modern semakin diperkuat dengan Undang Undang Agraria 1870, yang juga menandai perubahan dari sistem Kultuur Stelsel menjadi pengusahaan partikelir (swasta).

Pada tahun 1863, percobaan pertama penanaman tembakau di daerah Deli, sekitar Medan, berhasil meningkatkan produksinya. Pembukaan perkebunan tembakau ini berperan penting bagi perkembangan industri perkebunan di Sumatera Utara, karena hal ini akan berpengaruh pada pembukaan perkebunan karet dan kelapa sawit di kemudian hari. Modal dari luar negeri mulai mengalir masuk.[i]

Seiring dengan meningkatnya industri perkebunan, maka kebutuhan tenaga kerja juga meningkat. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, pemerintah Belanda dan perusahaan perkebunan mulai mendatangkan tenaga kerja dari luar wilayah, di antaranya dari pulau Jawa, dan disebut "koeli kontrak".[ii] Mereka diikat dengan kontrak dan diancam dengan hukuman poenale sanctie yang terkenal kejam.

Jacobus Nienhuys, pemilik Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan tembakau di Deli, terkenal kekejamannya di dalam mempraktekkan poenale sanctie. Pada masa itu perusahaan perkebunan disebut menjalankan produksi menggunakan teror.[iii] Keadaan buruh perkebunan sebenarnya mirip budak, sebagaimana di perkebunan Amerika Selatan.

Pada tahun 1942, Jepang mengambil alih penguasaan Indonesia dari tangan Belanda. Jepang juga mengontrol perusahaan asing di Indonesia, termasuk perusahaan perkebunan di Simalungun. Tidak hanya itu, menurut cerita warga setempat, beberapa serdadu Jepang merampas istri seorang pejabat perkebunan di Simalungun. Pejabat yang bernama E.P. Barnett dan istrinya tersebut adalah bangsa Eropa.

Warga setempat meyakini bahwa akibat dari peristiwa kehilangan istrinya karena diambil oleh orang Jepang, maka E.P. Barnett mengalami depresi dan akhirnya bunuh diri. Ia menceburkan diri di sungai Bah Bolon yang dalam dan arusnya deras. Jasad E.P. Barnet kemudian dimakamkan di halaman sebuah kantor perusahaan perkebunan tempatnya bekerja. Hingga saat ini, makam E.P. Barnett masih ada, di daerah Bukit Maradja.

Pada masa Kolonial Belanda dan Jepang, jarang terdapat serikat buruh di perkebunan. Hal ini mengakibatkan posisi buruh perkebunan lemah di hadapan perusahaan maupun pemerintah. Setelah negara Indonesia berdiri, organisasi buruh di perkebunan tumbuh subur. Berkembanglah berbagai organisasi buruh perkebunan dengan bermacam-macam aliran politik dan latar belakang ideologi. Mereka memperjuangkan isu-isu normatif, bahkan ada yang hingga politis.

Beberapa penduduk usia tua di Simalungun yang saya temui bercerita bahwa pada jaman pemerintahan Soekarno, buruh-buruh perkebunan tergabung di dalam organisasi buruh, termasuk yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Hal yang sama juga terjadi di sektor lain, seperti sektor petani yang terorganisir di BTI (Barisan Tani Indonesia), dan sektor perempuan yang bernaung di bawah Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).[iv]

Pada tahun 1960, pemerintahan Soekarno mengeluarkan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Penjabarannya diteruskan dalam UU 56/1960 yang dikenal sebagai Undang Undang Land Reform. Pemerintah waktu itu berupaya menata kembali kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Namun, pelaksanaan UUPA mengalami persoalan, bahkan desain programnya sendiri masih terdapat banyak kekurangan. Organisasi tani dan buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI saat itu paling gencar menuntut penerapan UU Pokok Agraria.

Sebelum tahun 1965, situasi politik nasional sangat fluktuatif. Faksi-faksi di kalangan politisi dan tentara terlibat di dalam konflik hingga berujung pada terbunuhnya enam jendral dan satu perwira pertama Angkatan Darat pada tanggal 30 September malam dan 1 Oktober dini hari 1965 di Jakarta. Buntut dari peristiwa ini adalah pembunuhan terhadap ratusan ribu, bahkan ada yang menyebut tiga juta-an anggota dan simpatisan PKI dan kekuatan politik kiri lainnya di sepanjang tahun 1966 hingga 1967. Peristiwa di Jakarta menular dan menyebar ke berbagai daerah.

Pembunuhan demi pembunuhan akhirnya juga merambat ke Simalungun. Seorang putri mantan pegawai perkebunan di Simalungun tahun 1960-an mengkisahkan pada saya tentang cerita-cerita di perkebunan yang didengar dari bapaknya. Bapaknya pernah bercerita bahwa setelah peristiwa 1965, tersebar kabar imbauan agar para pegawai perkebunan harus menyiapkan lahan liang lahat untuk mereka sendiri. Hal ini sebagai antisipasi jika terjadi pembunuhan pada mereka yang dilakukan oleh pihak musuh politik PKI. Menurut bapaknya, pada era pemerintahan Soekarno, sebagian besar pegawai dan buruh perusahaan perkebunan merupakan anggota organisasi pekerja yang berafiliasi dengan PKI, sebagai partai yang relatif berkuasa pada saat itu.[v]

Walaupun kabar burung tentang himbauan untuk menyiapkan liang lahat diri sendiri tersebut terkesan berlebihan, namun desas-desus ini setidaknya memberi gambaran suasana mencekam saat itu di daerah perkebunan Simalungun.

Liang lahat tersebut ternyata tidak banyak dibutuhkan, karena jasad para korban lebih banyak dibuang ke sungai Bah Bolon. Seorang warga setempat menceritakan bahwa beberapa jasad korban pembunuhan 1965 sebenarnya juga ada yang dikubur di suatu lokasi yang saat ini telah dijadikan area perkebunan. Menurutnya, di atas kuburan tersebut kini telah ditanami pohon-pohon kelapa sawit. Akan tetapi, lebih banyak mayat yang dibuang di sungai Bah Bolon, menurutnya.

Beberapa warga Simalungun menyebut nama “Titi Maut” jika bercerita tentang peristiwa pembunuhan buntut tragedi 1965. Istilah ini merujuk pada nama salah satu tempat yang dipercaya digunakan sebagai lokasi eksekusi pembunuhan anggota dan simpatisan PKI. Titi Maut merupakan nama sebuah jembatan yang melintasi sungai Bah Bolon. Jembatan ini menghubungkan dua daerah, dan digunakan sebagai infrastruktur mobilisasi warga. Menurut cerita-cerita masyarakat setempat, di atas jembatan Titi Maut ini para korban disembelih dan jasadnya langsung diceburkan ke sungai Bah Bolon. Eksekusi dilakukan di malam hari.

Menurut beberapa warga setempat yang bercerita pada saya, pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI banyak dilakukan oleh centeng-centeng (petugas keamanan) perkebunan. Namun centeng-centeng ini tidak bekerja sendiri, melainkan “dikoordinasi” oleh tentara.

Terdengar kabar bahwa kala itu beberapa penduduk desa, terutama para buruh perkebunan dan petani, sebenarnya sempat akan melakukan perlawanan. Namun dikarenakan kalah dukungan, maka perlawanan tersebut dapat segera padam. Penangkapan dan pembunuhan pada para anggota dan simpatisan PKI berlanjut.

“Kejadian itu adalah peristiwa perang saudara,” demikian bapak tersebut mengakhiri ceritanya sore itu. Cerita tentang pembunuhan di daerah perkebunan Simalungun sebagai akibat rentetan peristiwa 30 September-1 Oktober 1965 di Jakarta. Cerita tentang sungai Bah Bolon yang ada di depan kami.

Sore hari di awal bulan Maret 2010, di tepi Sungai Bah Bolon. Air sungai berkilau-kilau kuning kemerahan, yang merupakan pantulan sinar matahari sore. Namun sekitar empat puluh lima tahun yang lalu, air sungai Bah Bolon benar-benar terciprat warna merah, berasal dari darah manusia.

Sungai Bah Bolon tidak hanya mengalirkan air. Ia juga mengalirkan berbagai cerita, fakta ataupun fiksi. Bahkan campuran antara fakta dan fiksi. Beberapa aliran cerita tersebut sengaja dibendung, agar tidak mengalir lagi.*****

Yogyakarta, pertengahan April 2010


Catatan:


[i] Lihat J.A.C Mackie, 1963, Sedjarah Pembangunan Ekonomi Dalam Dunia Modern, Jakarta: PT Pembangunan Djakarta. (Penterjemah: Soekadijah c.s.). Halaman 118-195.

[ii] Para pekerja perkebunan yang didatangkan dari Jawa dikenal dengan sebutan “Jawa Kontrak.” Hingga saat ini, anak turun para pekerja dari Jawa masih berada di daerah perkebunan dan sekitarnya. Mereka dikenal dengan istilah “Pujakesuma,” yang merupakan akronim dari Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Untuk daerah Simalungun, menurut Bupati Simalungun, T Zulkarnain Damanik, dari 882 ribu jumlah penduduk di kabupaten Simalungun saat ini, hampir 52% adalah etnis Jawa. (http://www.waspada.co.id, 26 January 2010)

[iii] Sebutan ini diberikan oleh Jan Breman, sebagaimana dikutip Edi Cahyono. Lihat Soegiri DS dan Edi Cahyono, 2003, Gerakan Serikat Buruh, Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, Jakarta: Hasta Mitra, hlm 112-113.

[iv] Pada masa Soekarno, PKI memiliki organisasi sektor buruh perkebunan yang bernama Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SABUPRI). SABUPRI mendapat dukungan dari organisasi tani BTI, terutama karena kedekatan sektoral.

[v] Bandingkan dengan jaman Soeharto, ketika Golkar berkuasa, maka seluruh pekerja akan masuk menjadi anggota organisasi pekerja yang berafiliasi dengan Golkar atau bentukan pemerintah. Namun, kedua kasus ini berbeda. Pada jaman Soekarno, setiap orang bebas masuk organisasi yang disukainya. Jika pun PKI berjaya kala itu, dan banyak karyawan perkebunan yang masuk ke dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI, hal tersebut bukan dikarenakan paksaan atau bukan kewajiban dari pemerintah. Sedangkan pada jaman Soeharto, para pekerja ditampung ke dalam organisasi yang dibuat oleh pemerintah.