Thursday, January 19, 2012

AGUSTINUS (ST. AUGUSTINE) TENTANG FILSAFAT SEJARAH

Agustinus (354-430) merupakan tokoh terbesar di antara para pemuka agama Kristen sepanjang era Patristik. Ia bahkan merupakan salah satu tokoh terbesar dari seluruh sejarah gereja Kristen. Pemikirannya memiliki pengaruh yang luas di kalangan filsafat maupun teologi di Eropa pada masa itu. Bahkan, pemikirannya menguasai pemikiran Kristiani hingga abad 13 (800 tahun) (Bertens, 1981: 22-24).

Pikiran filosofis Agustinus dipengaruhi, di dalam pengertian luas, oleh Manikheisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme. Terkait dengan pandangan tentang sejarah, lebih spesifik lagi Filsafat Sejarah, Agustinus berusaha mensintesiskan pandangan kitab suci, dalam hal ini Genesis, dengan pandangan filsafat Neoplatonisme Plotinos. Para penentangnya menuduh Agustinus adalah seorang pantheis dan bertentangan dengan doktrin kreasio ex-nihilo.

Agustinus mengambil beberapa gagasan Plotinos (Neo-Platonisme) yang dianggap cocok dengan kitab suci. Beberapa diubah isinya agar sesuai dengan kitab suci. Sumber segala kebenaran adalah kitab suci. Akal manusia harus takluk pada kitab suci. Agustinus sendiri tidak membedakan ajaran Plotinos dengan Neo-platonisme (Bertens, 1981: 22-23). Menurut Agustinus, beberapa pemikiran Neo-Platonisme dapat dimanfaatkan oleh kalangan Kristen untuk menjelaskan beberapa aspek ajaran Kristen tentang alam, dan menolong umat Kristen di dalam memahami secara lebih baik keyakinan Kekristenan mereka (Marenbon, 1988: 15).

Salah satu karya Agustinus yang berpengaruh, dan menampakkan pikirannya tentang sejarah, adalah De Civitate Dei atau The City of God. Buku ini ditulis dengan latar belakang kegaduhan suasana masyarakat waktu itu, di mana Roma diserbu oleh bangsa-bangsa Barbar. Banyak orang saat itu menganggap bahwa apa yang terjadi pada Roma dikarenakan orang-orang Roma telah meninggalkan agama mereka (pagan) dan beralih ke agama baru, yakni Kristen. Mereka menganggap bahwa terjadi suatu hukuman atau kutukan.

Agustinus menjawab dengan membantah pendapat tersebut melalui buku The City of God yang terdiri dari duapuluh dua buku. Ia membutuhkan sekitar tiga belas tahun untuk menyelesaikan karya tersebut. Bukan hanya bantahan  atau jawaban atas persoalan masyarakat waktu itu, buku tersebut juga memuat suatu uraian filsafat sejarah yang sistematis (Mayer, 1960: 363-364).

Buku The City of God dapat dibagi menjadi dua bagian utama. Pertama, buku 1 hingga 10, berkaitan dengan keyakinan pagan bangsa Roma dan kekejaman yang telah dilakukan oleh Roma selama ini terhadap musuh-musuhnya. Peristiwa runtuhnya Roma akibat serangan bangsa Barbar adalah sama dengan apa yang dilakukan Roma terhadap musuh-musuhnya. Bagian kedua, buku 11 hingga 22, menerangkan tentang kemunculan dua kota, yakni Kota Tuhan dan Kota Iblis. Agustinus menerangkan bagaimana kedua kota ini berproses hingga akhir (Mayer, 1960: 364).

Agustinus berpendapat bahwa jalannya sejarah memiliki pola linear. Hal ini berbeda dengan para pemikir sejarah pada masa kuno, dalam hal ini Yunani kuno yang menganggap bahwa sejarah berpola siklis. Sejarah, menurut Agustinus, adalah proses linear. Pemikiran filsafat sejarah Agustinus dituntun oleh suatu pandangan dunia yang bersifat teleologis atau bertujuan (Mayer, 1960: 364). Sejarah berjalan dengan suatu tujuan tertentu.

Sejarah manusia telah dirancang oleh Tuhan. Ia memerintahkan dan menguji manusia. Agustinus juga mengatakan  bahwa masa lalu manusia menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. Seluruh kejadian di dalam sejarah manusia merupakan pelajaran, dan dari sana dapat diambil pelajaran tentang apa yang dibutuhkan bagi keselamatan di masa yang akan datang (Jones, 1969: 133-134).

Dengan demikian, sejarah tidak diterangkan melalui bekerjanya faktor-faktor ekonomi, sosial, ataupun politik. Sejarah, oleh Agustinus, diterangkan melalui bekerjanya hukum-hukum Tuhan dan pemeliharaan oleh Tuhan (Mayer, 1960: 364). Tentang keyakinan bahwa Tuhan memelihara berjalannya sejarah ini, Agustinus meyakini juga terjadi pada perjalanan hidupnya sendiri, sehingga ia dapat memeluk agama Kristen (Marenbon, 1988: 14).

Seluruh sejarah yang dituntun oleh Tuhan tersebut memiliki awal dan akhir (Mayer, 1960: 364). Sejarah memiliki arah dan merupakan drama yang ditentukan Tuhan. Setiap fase di dalam sejarah merupakan susunan menuju suatu puncak sejarah. Segala peristiwa yang mengikuti setiap fase akan menguatkan puncak sejarah (Jones, 1969: 135). Awal sejarah manusia, menurut Agustinus, adalah peristiwa jatuhnya Adam-Hawa, atau dosa pertama manusia. Sedangkan akhir dari sejarah adalah kemenangan Tuhan atas kekuatan jahat (Mayer, 1960: 364).

Menurut Agustinus, puncak dari sejarah manusia adalah riwayat Yesus. Segala peristiwa yang terjadi sebelum kelahiran Yesus dirancang oleh Tuhan untuk menuju peristiwa besar tersebut. Sedangkan segala peristiwa setelah kebangkitan Yesus adalah dirancang untuk menambah dampak peristiwa besar Yesus (Jones, 1969: 135).

Tuhan sendiri sebenarnya telah memberi tanda-tanda sejarah. Jauh hari sebelum wahyu besar diturunkan untuk manusia, yakni dengan peristiwa Yesus dan kehidupannya, Tuhan telah memberi tanda-tanda tertentu pada manusia yang dengannya misteri kehidupan abadi diungkapkan. Sejarah bangsa Yahudi merupakan tanda tersebut, yakni melalui berbagai ucapan para nabi, ritus-ritus, kaum pendeta, upacara-upacara, dan sebagainya, yang merupakan kehidupan jasmani maupun batiniah bangsa Yahudi sebagaimana diungkapkan di dalam sejarah. Itu semua merupakan pertanda dan pemberitahuan oleh Tuhan tentang drama keselamatan (Jones, 1969: 134).

Menurut Agustinus, terdapat pertentangan abadi antara kekuatan-kekuatan kebaikan dan kejahatan. Tidak ada posisi di tengah-tengah antara kebaikan dan kejahatan, antara Kota Tuhan dan Kota Iblis. Manusia harus membuat pilihan di antara keduanya. Manusia tidak bisa bersikap atau memilih netral (Mayer, 1960: 364).

Jika manusia memilih Kota Iblis (keburukan), maka ia bisa saja mendapatkan kekuasaan duniawi, menumpuk kekayaan, menikmati kesenangan jasmani. Namun, pada akhirnya ia akan dihukum atas dosa-dosanya serta akan menderita sebagai ganjaran kejahatannya. Sebaliknya, jika manusia memilih Kota Tuhan (kebaikan), maka ia mungkin tidak menjadi orang terkenal di bumi, mungkin menderita dianiaya, tanpa kekayaan bendawi, tidak mendapat pujian masyarakat. Namun pada akhirnya nanti, ia akan diganjar kejayaan surga atas ketaatannya pada Tuhan (Mayer, 1960: 364). Agustinus melihat di dalam sejarah terdapat pertarungan antara dua prinsip tindakan manusia, dua cinta, yakni cinta pada Tuhan dan tunduk akan hukum-Nya, dan cinta terhadap diri sendiri, kesenangan akan duniawi (Copleston, 1950: 87).

Agustinus berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan yang terdapat di dalam free will. Tuhan memberi kehendak bebas pada manusia. Namun, jika kehendak bebas tersebut disalahgunakan, maka akan berakibat dosa. Menurut Agustinus, keberadaan kejahatan di dunia merupakan distorsi dari sesuatu yang sebenarnya baik (Titus dkk, 1984: 460). Kehendak adalah bebas. Namun, pada saat yang sama merupakan subjek bagi kewajiban moral, dan mencintai Tuhan merupakan suatu kewajiban (Copleston, 1950: 83).

Jika dilihat penjelasan detil Agustinus tentang terjadinya berbagai peristiwa di dalam sejarah, memang akan ditemui kelemahan yang ditimbulkan oleh argumen-argumennya yang bersifat teleologi antroposentris. Agustinus telah memiliki segala jawaban atas berbagai peristiwa di dalam sejarah. Misalnya, ia membantah anggapan banyak kalangan yang percaya bahwa kehancuran Roma dikarenakan penduduk Roma mulai meninggalkan agama pagan dan beralih ke Kristen. Agustinus malah menyatakan bahwa bukan karena Roma telah beralih ke Kristen, melainkan karena Roma tidak segera berpindah ke Kristen dan tidak memeluk Kristen secara sempurna maka Roma mengalami keruntuhan (Jones, 1969: 134). Dengan kenyataan seperti tersebut, maka sains sejarah tidak memiliki ruang di dalam perdebatan.

Meski demikian, Agustinus tetap memiliki sumbangan besar di dalam bidang sejarah. Sumbangan Agustinus akan terlihat jelas jika ia dibandingkan dengan para sejarawan Yunani terdahulu yang pernah ada, misal Herodotos dan Thucydides. Meski kedua sejarawan tersebut bersifat lebih saintifik, namun konsepsi sejarah mereka lebih sempit daripada Agustinus. Mereka hanya berurusan dengan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi. Para sejarawan Yunani kuno membatasi diri untuk menulis peristiwa yang terjadi sebagaimana mereka alami sendiri, atau setidaknya yang terjadi di masa mereka. Namun, meski peristiwa-peristiwa sejarah tersebut sedang terjadi, para pemikir Yunani banyak yang tidak bisa mengemukakan penjelasan sejarah tentangnya. Penjelasannya sering bersifat irasional, seperti faktor kebetulan (Jones, 1969: 135).

Bagi Agustinus, segala peristiwa yang terjadi bukan lah kebetulan. Sebagaimana telah disinggung di atas, Tuhan melakukan pemeliharaan terhadap sejarah manusia. Baginya, terdapat kesatuan dan arah bagi berjalannya sejarah. Sejarah manusia adalah suatu drama yang mengungkapkan akhir yang penuh makna, dan bukan sesuatu yang tidak bermakna. Tidak ada sesuatu yang irasional. Jika manusia tidak dapat mengerti peristiwa di dalam sejarah, maka sesungguhnya hal ini karena manusia belum bisa memahami maksud dari kehendak Tuhan membuat peristiwa tersebut. Ketika manusia telah memahami maksud Tuhan, maka mereka akan memahami alasan terjadinya suatu peristiwa di dalam sejarah yang hal ini berkaitan dengan tujuan akhir dari maksud Tuhan (Jones, 1969: 135).

Perbedaan lainnya antara Agustinus dengan para sejarawan Yunani adalah sifat keumuman dibandingkan dengan kepicikan (sempit) pemikiran sejarawan Yunani. Para sejarawan Yunani hanya bicara tentang bangsa Yunani. Jikapun mereka menyinggung bangsa lain, maka hal ini dikarenakan ada hubungan dengan peristiwa yang terjadi dengan bangsa Yunani sebagai tokoh utama. Keuniversalan di dalam penulisan sejarah yang dibawa Agustinus merupakan perkembangan baru di bidang sejarah waktu itu. Agustinus menyodorkan suatu drama atau kisah tentang manusia, bukan kisah tentang bangsa Roma atau Yunani saja. Universalisme di dalam pendekatan sejarah ini memang dipengaruhi oleh ajaran Kristen. Agustinus membawa kesatuan sejarah umat manusia (Jones, 1969: 136).

Pemikiran Agustinus tentang filsafat sejarah memiliki pengaruh bukan hanya di kalangan pemikiran keagamaan saja, namun juga terhadap filsafat sekular (Mayer, 1960: 364). Pada intinya, pemikiran Agustinus tentang Filsafat Sejarah adalah sejarah ide, yakni berasal dari ide dan digerakkan oleh ide. Ide di sini merupakan ide tertinggi, yakni Tuhan. Sejarah digerakkan oleh ide. Materi adalah kendaraan. Sementara itu, gerak sejarah berpola linear. Jalannya sejarah bersifat teratur. Sejarah bersifat teleologis-religius.***


DAFTAR PUSTAKA

Bertens, Kees. 1981. Ringksasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Copleston, Frederick. 1950. A History of Philosophy, Volume II, Augustine to Scotus. London: Search Press.
Jones, W.T. 1969. The Medieval Mind, A History of Western Philosophy. New York: Harcourt, Brace & amp; World, Inc.
Marenbon, John. 1988. Early Medieval Philosophy (480-1150). London, New York: Routledge.
Mayer, Frederick. 1950. A History of Ancient and Medieval Philosophy. New York: American Book Company.
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. (terjemahan dari: Living Issues in Philosophy. Penterjemah: H.M. Rasjidi).