Agustinus (354-430) merupakan
tokoh terbesar di antara para pemuka agama Kristen sepanjang era Patristik. Ia
bahkan merupakan salah satu tokoh terbesar dari seluruh sejarah gereja Kristen.
Pemikirannya memiliki pengaruh yang luas di kalangan filsafat maupun teologi di
Eropa pada masa itu. Bahkan, pemikirannya menguasai pemikiran Kristiani hingga
abad 13 (800 tahun) (Bertens, 1981: 22-24).
Pikiran filosofis Agustinus
dipengaruhi, di dalam pengertian luas, oleh Manikheisme, Skeptisisme, dan
Neoplatonisme. Terkait dengan pandangan tentang sejarah, lebih spesifik lagi
Filsafat Sejarah, Agustinus berusaha mensintesiskan pandangan kitab suci, dalam
hal ini Genesis, dengan pandangan filsafat Neoplatonisme Plotinos. Para
penentangnya menuduh Agustinus adalah seorang pantheis dan bertentangan dengan
doktrin kreasio ex-nihilo.
Agustinus mengambil beberapa
gagasan Plotinos (Neo-Platonisme) yang dianggap cocok dengan kitab suci.
Beberapa diubah isinya agar sesuai dengan kitab suci. Sumber segala kebenaran
adalah kitab suci. Akal manusia harus takluk pada kitab suci. Agustinus sendiri
tidak membedakan ajaran Plotinos dengan Neo-platonisme (Bertens, 1981: 22-23).
Menurut Agustinus, beberapa pemikiran Neo-Platonisme dapat dimanfaatkan oleh
kalangan Kristen untuk menjelaskan beberapa aspek ajaran Kristen tentang alam,
dan menolong umat Kristen di dalam memahami secara lebih baik keyakinan
Kekristenan mereka (Marenbon, 1988: 15).
Salah satu karya Agustinus
yang berpengaruh, dan menampakkan pikirannya tentang sejarah, adalah De
Civitate Dei atau The City of God. Buku ini ditulis dengan latar belakang
kegaduhan suasana masyarakat waktu itu, di mana Roma diserbu oleh bangsa-bangsa
Barbar. Banyak orang saat itu menganggap bahwa apa yang terjadi pada Roma
dikarenakan orang-orang Roma telah meninggalkan agama mereka (pagan) dan
beralih ke agama baru, yakni Kristen. Mereka menganggap bahwa terjadi suatu
hukuman atau kutukan.
Agustinus menjawab dengan
membantah pendapat tersebut melalui buku The City of God yang terdiri dari
duapuluh dua buku. Ia membutuhkan sekitar tiga belas tahun untuk menyelesaikan
karya tersebut. Bukan hanya bantahan
atau jawaban atas persoalan masyarakat waktu itu, buku tersebut juga
memuat suatu uraian filsafat sejarah yang sistematis (Mayer, 1960: 363-364).
Buku The City of God dapat
dibagi menjadi dua bagian utama. Pertama, buku 1 hingga 10, berkaitan dengan
keyakinan pagan bangsa Roma dan kekejaman yang telah dilakukan oleh Roma selama
ini terhadap musuh-musuhnya. Peristiwa runtuhnya Roma akibat serangan bangsa
Barbar adalah sama dengan apa yang dilakukan Roma terhadap musuh-musuhnya.
Bagian kedua, buku 11 hingga 22, menerangkan tentang kemunculan dua kota, yakni
Kota Tuhan dan Kota Iblis. Agustinus menerangkan bagaimana kedua kota ini
berproses hingga akhir (Mayer, 1960: 364).
Agustinus berpendapat bahwa
jalannya sejarah memiliki pola linear. Hal ini berbeda dengan para pemikir
sejarah pada masa kuno, dalam hal ini Yunani kuno yang menganggap bahwa sejarah
berpola siklis. Sejarah, menurut Agustinus, adalah proses linear. Pemikiran
filsafat sejarah Agustinus dituntun oleh suatu pandangan dunia yang bersifat
teleologis atau bertujuan (Mayer, 1960: 364). Sejarah berjalan dengan suatu
tujuan tertentu.
Sejarah manusia telah
dirancang oleh Tuhan. Ia memerintahkan dan menguji manusia. Agustinus juga
mengatakan bahwa masa lalu manusia
menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. Seluruh kejadian di dalam
sejarah manusia merupakan pelajaran, dan dari sana dapat diambil pelajaran
tentang apa yang dibutuhkan bagi keselamatan di masa yang akan datang (Jones,
1969: 133-134).
Dengan demikian, sejarah
tidak diterangkan melalui bekerjanya faktor-faktor ekonomi, sosial, ataupun
politik. Sejarah, oleh Agustinus, diterangkan melalui bekerjanya hukum-hukum
Tuhan dan pemeliharaan oleh Tuhan (Mayer, 1960: 364). Tentang keyakinan bahwa
Tuhan memelihara berjalannya sejarah ini, Agustinus meyakini juga terjadi pada
perjalanan hidupnya sendiri, sehingga ia dapat memeluk agama Kristen (Marenbon,
1988: 14).
Seluruh sejarah yang dituntun
oleh Tuhan tersebut memiliki awal dan akhir (Mayer, 1960: 364). Sejarah
memiliki arah dan merupakan drama yang ditentukan Tuhan. Setiap fase di dalam
sejarah merupakan susunan menuju suatu puncak sejarah. Segala peristiwa yang
mengikuti setiap fase akan menguatkan puncak sejarah (Jones, 1969: 135). Awal
sejarah manusia, menurut Agustinus, adalah peristiwa jatuhnya Adam-Hawa, atau
dosa pertama manusia. Sedangkan akhir dari sejarah adalah kemenangan Tuhan atas
kekuatan jahat (Mayer, 1960: 364).
Menurut Agustinus, puncak
dari sejarah manusia adalah riwayat Yesus. Segala peristiwa yang terjadi
sebelum kelahiran Yesus dirancang oleh Tuhan untuk menuju peristiwa besar
tersebut. Sedangkan segala peristiwa setelah kebangkitan Yesus adalah dirancang
untuk menambah dampak peristiwa besar Yesus (Jones, 1969: 135).
Tuhan sendiri sebenarnya
telah memberi tanda-tanda sejarah. Jauh hari sebelum wahyu besar diturunkan
untuk manusia, yakni dengan peristiwa Yesus dan kehidupannya, Tuhan telah
memberi tanda-tanda tertentu pada manusia yang dengannya misteri kehidupan
abadi diungkapkan. Sejarah bangsa Yahudi merupakan tanda tersebut, yakni
melalui berbagai ucapan para nabi, ritus-ritus, kaum pendeta, upacara-upacara,
dan sebagainya, yang merupakan kehidupan jasmani maupun batiniah bangsa Yahudi
sebagaimana diungkapkan di dalam sejarah. Itu semua merupakan pertanda dan
pemberitahuan oleh Tuhan tentang drama keselamatan (Jones, 1969: 134).
Menurut Agustinus, terdapat
pertentangan abadi antara kekuatan-kekuatan kebaikan dan kejahatan. Tidak ada
posisi di tengah-tengah antara kebaikan dan kejahatan, antara Kota Tuhan dan
Kota Iblis. Manusia harus membuat pilihan di antara keduanya. Manusia tidak
bisa bersikap atau memilih netral (Mayer, 1960: 364).
Jika manusia memilih Kota
Iblis (keburukan), maka ia bisa saja mendapatkan kekuasaan duniawi, menumpuk
kekayaan, menikmati kesenangan jasmani. Namun, pada akhirnya ia akan dihukum
atas dosa-dosanya serta akan menderita sebagai ganjaran kejahatannya.
Sebaliknya, jika manusia memilih Kota Tuhan (kebaikan), maka ia mungkin tidak
menjadi orang terkenal di bumi, mungkin menderita dianiaya, tanpa kekayaan
bendawi, tidak mendapat pujian masyarakat. Namun pada akhirnya nanti, ia akan
diganjar kejayaan surga atas ketaatannya pada Tuhan (Mayer, 1960: 364).
Agustinus melihat di dalam sejarah terdapat pertarungan antara dua prinsip
tindakan manusia, dua cinta, yakni cinta pada Tuhan dan tunduk akan hukum-Nya,
dan cinta terhadap diri sendiri, kesenangan akan duniawi (Copleston, 1950: 87).
Agustinus berpandangan bahwa
manusia memiliki kebebasan yang terdapat di dalam free will. Tuhan memberi
kehendak bebas pada manusia. Namun, jika kehendak bebas tersebut
disalahgunakan, maka akan berakibat dosa. Menurut Agustinus, keberadaan
kejahatan di dunia merupakan distorsi dari sesuatu yang sebenarnya baik (Titus
dkk, 1984: 460). Kehendak adalah bebas. Namun, pada saat yang sama merupakan subjek
bagi kewajiban moral, dan mencintai Tuhan merupakan suatu kewajiban (Copleston,
1950: 83).
Jika dilihat penjelasan detil
Agustinus tentang terjadinya berbagai peristiwa di dalam sejarah, memang akan
ditemui kelemahan yang ditimbulkan oleh argumen-argumennya yang bersifat
teleologi antroposentris. Agustinus telah memiliki segala jawaban atas berbagai
peristiwa di dalam sejarah. Misalnya, ia membantah anggapan banyak kalangan
yang percaya bahwa kehancuran Roma dikarenakan penduduk Roma mulai meninggalkan
agama pagan dan beralih ke Kristen. Agustinus malah menyatakan bahwa bukan
karena Roma telah beralih ke Kristen, melainkan karena Roma tidak segera
berpindah ke Kristen dan tidak memeluk Kristen secara sempurna maka Roma
mengalami keruntuhan (Jones, 1969: 134). Dengan kenyataan seperti tersebut,
maka sains sejarah tidak memiliki ruang di dalam perdebatan.
Meski demikian, Agustinus
tetap memiliki sumbangan besar di dalam bidang sejarah. Sumbangan Agustinus
akan terlihat jelas jika ia dibandingkan dengan para sejarawan Yunani terdahulu
yang pernah ada, misal Herodotos dan Thucydides. Meski kedua sejarawan tersebut
bersifat lebih saintifik, namun konsepsi sejarah mereka lebih sempit daripada
Agustinus. Mereka hanya berurusan dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
terjadi. Para sejarawan Yunani kuno membatasi diri untuk menulis peristiwa yang
terjadi sebagaimana mereka alami sendiri, atau setidaknya yang terjadi di masa
mereka. Namun, meski peristiwa-peristiwa sejarah tersebut sedang terjadi, para
pemikir Yunani banyak yang tidak bisa mengemukakan penjelasan sejarah
tentangnya. Penjelasannya sering bersifat irasional, seperti faktor kebetulan
(Jones, 1969: 135).
Bagi Agustinus, segala
peristiwa yang terjadi bukan lah kebetulan. Sebagaimana telah disinggung di
atas, Tuhan melakukan pemeliharaan terhadap sejarah manusia. Baginya, terdapat
kesatuan dan arah bagi berjalannya sejarah. Sejarah manusia adalah suatu drama
yang mengungkapkan akhir yang penuh makna, dan bukan sesuatu yang tidak
bermakna. Tidak ada sesuatu yang irasional. Jika manusia tidak dapat mengerti
peristiwa di dalam sejarah, maka sesungguhnya hal ini karena manusia belum bisa
memahami maksud dari kehendak Tuhan membuat peristiwa tersebut. Ketika manusia
telah memahami maksud Tuhan, maka mereka akan memahami alasan terjadinya suatu
peristiwa di dalam sejarah yang hal ini berkaitan dengan tujuan akhir dari
maksud Tuhan (Jones, 1969: 135).
Perbedaan lainnya antara
Agustinus dengan para sejarawan Yunani adalah sifat keumuman dibandingkan
dengan kepicikan (sempit) pemikiran sejarawan Yunani. Para sejarawan Yunani
hanya bicara tentang bangsa Yunani. Jikapun mereka menyinggung bangsa lain,
maka hal ini dikarenakan ada hubungan dengan peristiwa yang terjadi dengan
bangsa Yunani sebagai tokoh utama. Keuniversalan di dalam penulisan sejarah
yang dibawa Agustinus merupakan perkembangan baru di bidang sejarah waktu itu.
Agustinus menyodorkan suatu drama atau kisah tentang manusia, bukan kisah
tentang bangsa Roma atau Yunani saja. Universalisme di dalam pendekatan sejarah
ini memang dipengaruhi oleh ajaran Kristen. Agustinus membawa kesatuan sejarah
umat manusia (Jones, 1969: 136).
Pemikiran Agustinus tentang
filsafat sejarah memiliki pengaruh bukan hanya di kalangan pemikiran keagamaan
saja, namun juga terhadap filsafat sekular (Mayer, 1960: 364). Pada intinya,
pemikiran Agustinus tentang Filsafat Sejarah adalah sejarah ide, yakni berasal
dari ide dan digerakkan oleh ide. Ide di sini merupakan ide tertinggi, yakni
Tuhan. Sejarah digerakkan oleh ide. Materi adalah kendaraan. Sementara itu,
gerak sejarah berpola linear. Jalannya sejarah bersifat teratur. Sejarah bersifat
teleologis-religius.***
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, Kees. 1981. Ringksasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Copleston, Frederick. 1950. A History of Philosophy, Volume II, Augustine to Scotus. London:
Search Press.
Jones, W.T. 1969. The
Medieval Mind, A History of Western Philosophy. New York: Harcourt, Brace
& amp; World, Inc.
Marenbon, John. 1988. Early Medieval Philosophy (480-1150). London, New York: Routledge.
Mayer, Frederick. 1950. A History of Ancient and Medieval Philosophy. New York: American
Book Company.
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan.
1984. Persoalan-persoalan Filsafat.
Jakarta: Bulan Bintang. (terjemahan dari: Living Issues in Philosophy.
Penterjemah: H.M. Rasjidi).