Sunday, August 12, 2012

IRAMA SUMBANG RHOMA

Hari ini (12/08/2012) Rhoma Irama diputus tidak bersalah oleh Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) atas persoalan dakwah yang dianggap mengandung kampanye politik menjelang Pilkada DKI putaran kedua.[1] Di dalam dakwah yang dilakukan di masjid Al Isra, Grogol, Jakarta Barat, Rhoma dianggap melakukan dua kesalahan, yakni kampanye politik Pilkada dan menyebarkan kebencian SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan).[2] Untuk kasus pertama, Panwaslu menyatakan Rhoma bukan bagian tim kampanye salah satu peserta Pemilu, sehingga diputus tidak bersalah. Untuk kasus kedua, Rhoma disebut akan diadukan ke Polisi karena menyangkut pidana.[3]



Atas persoalan dakwah yang dipersoalkan tersebut, Rhoma mengatakan bahwa ia tidak sedang berkampanye untuk salah satu pasangan calon Gubernur. Rhoma mengaku bahwa dirinya hanya menyampaikan ajaran Islam sebagaimana dikatakan di dalam kitab suci, tentang bagaimana memilih pimpinan bagi orang Islam.[4] Selain itu, Rhoma mengutip perkataan Ketua Dewan Penyelenggara Pemilu Jimlie Asshidiqie bahwa kampanye dengan menggunakan isu SARA dibenarkan.[5] Pernyataan Rhoma ini seakan juga hendak mengatakan bahwa ia tidak melanggar ketentuan pidana. Namun di sisi lain, pernyataan itu sebenarnya membenarkan bahwa Rhoma sedang terlibat kampanye.

Banyak orang berang dan marah dengan dakwah Rhoma. Pertama, dakwah tersebut dianggap bermuatan politis. Terhadap anggapan ini, maka ada baiknya perlu diingat lagi tentang konteks negara Indonesia. Apakah Indonesia merupakan negara sekuler sehingga memisahkan keterkaitan antara agama dengan negara? Jika Indonesia bukan negara sekuler, maka apa yang dilakukan oleh Rhoma, bahkan jika ia berceramah politik Pilkada di masjid sekalipun, pada prinsipnya dimungkinkan, asal sesuai jadwal kampanye.

Hal ini berbeda dengan negara-negara sekuler yang memisahkan antara urusan agama dengan urusan negara. Bahkan, di banyak negara sekuler sekalipun, agama diperbolehkan menyuarakan aspirasinya melalui partai-partai politik, termasuk membentuk partai politik yang berbasis agama, yang akan mempengaruhi kebijakan politik negara. Namun di negara-negara sekuler, negara tidak mengurusi persoalan agama. Agama adalah urusan warga. Sementara di Indonesia, negara mencampuri urusan agama warganya, terutama dengan penentuan agama-agama resmi yang diijinkan negara dan keberadaan Departemen Agama.

Dapat ditilik kembali di dalam sejarah manusia di masa lalu, dan hingga saat ini di beberapa negara, bahwa agamawan dan kekuatan politik selalu saling mendukung. Agama dan politik saling menjalin hingga datang gerakan sekulerisme di Eropa pada abad 17-18 yang kemudian memisahkan antara agama dan negara. Namun hingga kini, apakah Indonesia mengaku sebagai negara sekuler, yang berarti memisahkan antara agama dan negara?

Agama tidak pernah bersifat individual, sehingga adalah hal wajar jika para pemuka agama juga selalu mencampuri urusan sosial-politik, baik dalam bentuk terjun langsung sebagai politisi maupun sebagai pendukung politisi. Pada hakekatnya, apa yang dilakukan para pemuka agama tersebut adalah berpolitik. Jika saat ini ada orang yang berpendapat bahwa tidak seharusnya agamawan terlibat urusan politik, maka sebaiknya orang tersebut mulai berpikir untuk membuat aturan pemisahan antara agama dan negara di Indonesia.

Bagi kalangan yang menghendaki agar para pemuka agama tidak menyinggung persoalan politik, maka sebenarnya mereka sedang dijiwai oleh semangat sekulerisme. Namun mengapa hingga hari ini belum ada gerakan yang besar menuntut sekulerisasi terhadap Indonesia? Kemungkinan pertama, mereka tidak tahu bahwa apa yang mereka inginkan sebenarnya adalah sekulerisme. Kemungkinan kedua, mereka takut untuk mengatakan secara terbuka keinginan terhadap sekulerisasi.

Persoalan kedua, isi dakwah Rhoma Irama dianggap dapat menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat Jakarta karena membelah antara muslim dan non-muslim. Lebih jauh lagi, isi ceramah tersebut dianggap dapat mengancam persatuan Indonesia, mengancam Bhineka Tunggal Ika.

Namun Rhoma mengatakan bahwa ia hanya menyampaikan apa yang diperintahkan Tuhan sebagaimana tertulis di dalam kitab suci, yakni bagi orang Islam wajib memilih pemimpin yang beragama Islam. Rhoma menggugat jika ia dianggap menebarkan kebencian SARA karena ia menyampaikan ajaran kitab suci. Rhoma mengaku hanya menyampaikan apa yang diajarkan agama dan apa yang tertulis di kitab suci.

Jika demikian kenyataannya, maka tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Rhoma telah salah sasaran. Rhoma hanya menyampaikan apa yang ia baca di dalam kitab suci, sehingga ia bukan penggagas ide-ide yang dianggap dapat menimbulkan konflik dan memecah Indonesia. Ide-ide itu ada di dalam kitab suci, setidaknya demikian yang dikatakan Rhoma secara implisit. Jika ide-ide yang disampaikan Rhoma di dalam dakwahnya dianggap salah, maka tidak seharusnya Rhoma dijadikan pihak yang bersalah.

Namun orang dapat saja mengatakan bahwa Rhoma telah salah tafsir terhadap kitab suci. Orang lebih suka menuduh telah terjadi salah tafsir kepada seseorang yang sedang mengutip kitab suci. Ayat kitab suci yang dikutip dianggap ditafsirkan secara bertentangan dengan akal sehat, kemanusiaan, nurani, dan lain-lain. Persoalan penafsiran kitab suci memang menjadi perdebatan panjang karena jarang dicapai konsesus yang pasti. Persoalan penafsiran akan selalu terkait kepentingan subyektif. Kitab suci agama apa pun akan selalu mengalami persoalan penafsiran karena genre teks-teks di dalam kitab suci itu sendiri.

Pembelaan Rhoma terhadap tuduhan SARA hanya berlaku di dalam kasus ucapannya tentang kriteria pimpinan bagi muslim. Persoalan SARA bukan hanya persoalan agama, namun juga persoalan ras, suku, dan antar golongan. Rhoma mungkin mendapatkan pembenaran pada persoalan agama. Namun di dalam ceramahnya, Rhoma juga mempersoalkan ras dan suku.

Di dalam ceramahnya, Rhoma memang tidak secara eksplisit menebarkan kebencian kepada ras dan suku tertentu, juga tidak secara eksplisit menjelek-jelekkan suku dan ras tertentu. Namun penyebutan suku Jawa dan ras China yang disandingkan dengan preferensi pilihan Pilkada, secara implisit hendak mengatakan bahwa kedua kelompok ini tidak layak untuk dipilih. Ketidaklayakan tentu dihubungkan dengan penilaian tentang kekurangan atau hal negatif tertentu yang dianggap dimiliki dua kelompok ini. Penilaian Rhoma terhadap suku Jawa dan ras China telah didasarkan asumsi bias primordial yang mengarah pada hal-hal negatif yang bisa mengarah pada kebencian. Di dalam konteks ini, isu SARA yang disampaikan adalah kebencian terhadap suku Jawa dan ras China.

Lantas apakah Rhoma dapat segera dihukum penjara? Tergantung. Perbuatan Rhoma terlebih dahulu harus disepakati sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan di Indonesia. Sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan, maka harus ada ketentuan hukum yang melarang perbuatan tersebut dan menghukum setiap pelanggaran ketentuan larangan yang telah dibuat. Jika syarat-syarat ini telah terpenuhi, maka tinggal berharap pada itikad baik para aparat hukum yang berwenang agar menjalankan ketentuan hukum yang ada, dan tidak bermain dengan celah hukum. Namun jika propaganda anti suku dan ras tertentu dibolehkan di Indonesia, maka Rhoma Irama tidak bermasalah dengan hukum. Orang lain juga tidak bermasalah.


Rhoma juga mengatakan bahwa saat ini Indonesia berada di alam demokrasi, jaman serba tebuka. Tidak boleh ada yang ditutup-tututpi. Rakyat harus diberi informasi tentang siapa calon pemimpin politik mereka. Latar belakang kandidat harus dibuka. Rhoma sudah melangkah benar dalam hal ini.

Di dalam sistem demokrasi, pada prinsipnya, setiap warga negara dijamin kebebasan berpikir dan mengekspresikan pikirannya tersebut. Rhoma boleh melakukan propaganda pemikirannya, termasuk memblejeti orang-orang yang tidak disukainya, karena dijamin oleh demokrasi.  Ketidaksukaan terhadap calon pemimpin tertentu dilakukan oleh Rhoma dengan mendasarkan pada ide-ide yang disebutnya sebagai perintah Tuhan, yang tertulis di dalam kitab suci. Sebaliknya, para pihak yang menentang Rhoma seharusnya juga menggunakan hak berpikir dan mengekspresikan pikirannya untuk membantah propaganda dan atau ide-ide Rhoma. Pihak yang memiliki pikiran berbeda dari Rhoma seharusnya juga mulai untuk mempropagandakan pikirannya, termasuk menyebutkan di bagian-bagian mana saja dari pikiran Rhoma yang dianggap keliru dan tidak disetujui.

Demokrasi akan mengajarkan pada orang-orang bahwa pengetahuan yang semula diperlakukan sakral pada akhirnya akan didesakralisasi ketika setiap orang bisa mendiskusikannya.***

Yogyakarta, 12 Agustus 2012

Catatan: