Pada peradaban
Mesir kuno dan Babilonia kuno, unsur-unsur awal aritmetika, geometri, dan astronomi muncul sebagai hasil kegiatan praktis
sehari-hari, seperti pengukuran tanah pertanian dan penghitungan gerak
benda-benda angkasa untuk menentukan berbagai jenis musim. Kemudian, bangsa
Yunani kuno mewarisi dan mempelajari aritmetika, geometri, dan astronomi dari peradaban Mesir dan
Babilonia. Orang-orang Yunani mengembangkan lebih jauh pengetahuan-pengetahuan
tersebut melalui abstraksi yang melahirkan bidang logika deduktif yang akan
berkembang menjadi disiplin matematika. Peradaban Hindia, Maya, dan China kuno
juga telah memiliki sistem angka, penghitungan, dan pengukuran, namun tidak
berkembang menjadi matematika sebagai sebuah bidang pengetahuan khusus.
Di
Yunani, Herakleitos (fl. 504
SM) berpendapat bahwa realitas senantiasa berada di dalam keadaan perubahan.
Herakleitos menggunakan analogi air sungai yang mengalir untuk menjelaskan
pemikirannya. Realitas adalah seperti aliran air sungai, bergerak dan berubah, tidak
dapat dipahami ketika diam tanpa gerak. Realitas hanya dapat dipahami sebagai
sebuah keseluruhan perubahan.
Jika Herakleitos
berpendapat bahwa realitas, atau sesuatu, hanya dapat dipahami atas dasar gerak
dan perubahan, maka para filosof mazhab Elea, yakni Parmenides dan para
pengikutnya, berpendapat lain. Mereka menolak gerak dan perubahan. Realitas
adalah tetap dan diam. Salah satunya adalah Zeno (lahir 490 SM), yang terkenal
dengan Paradoks Zeno. Argumen Zeno yang disebut “Akhilles dan Kura-kura”
menghadirkan persoalan pengukuran obyek yang bergerak. Argumen Zeno yang lain, tentang
“Anak Panah”, menyatakan keadaan diam.
Zeno berpendapat
bahwa anak panah yang tampak terbang sebenarnya bersifat diam. Segala sesuatu
yang menempati suatu ruang yang berukuran sama dengan sesuatu tersebut
sesungguhnya berada di dalam keadaan berhenti di ruang tersebut. Pada setiap
saat tertentu dari terbangnya suatu anak panah, maka anak panah tersebut hanya
dapat menempati suatu ruang yang sama dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu,
pada setiap saat terbangnya suatu anak panah, sebenarnya anak panah tersebut tidak
bergerak.
Argumen Zeno membawa
implikasi bahwa, di suatu posisi tertentu, sesuatu dapat diukur sifat-sifatnya,
misalnya panjang dan massa, namun tanpa bisa diukur sifat kecepatan gerak atau
perubahan sesuatu tersebut. Bagi pemikiran Zeno, ketidakmampuan mengukur
kecepatan gerak ini tidak menjadi persoalan karena Zeno berpendapat bahwa gerak
memang tidak ada. Tidak ada perubahan. Pada saat sesuatu menempati ruang, dan
ruang tersebut berukuran sama dengan sesuatu yang menempatinya, maka pada saat itu
syarat-syarat yang memungkinkan bagi sebuah pengukuran posisi dapat terpenuhi. Posisi pasti sesuatu yang diukur
dapat diketahui secara relatif tepat.
Demokritos (460-370
SM) menanggapi persoalan mazhab Elea tentang gerak. Demokritos mengajukan
pemikiran tentang entitas-entitas yang memiliki ukuran paling kecil di alam
semesta, dan tidak dapat dibagi lagi, disebut atomos (atomoi). Menurut
Demokritos, realitas terdiri dari atom-atom (“yang penuh”) dan ruang di mana
atom-atom bergerak (“yang kosong”). Kata modern “atom” berasal dari pemikiran atomos Demokritos ini, dan mendasari
konsep modern tentang partikel.
Logika deduktif
dan matematika orang-orang Yunani kuno gagal menjelaskan persoalan gerak dan
perubahan secara memadai. Solusi ditemukan pada abad 17 M melalui matematika
kalkulus, dengan
Newton dan Leibniz, namun
sebelumnya harus melalui India dan Arab yang memperkenalkan angka nol (0) ke
Eropa. Konsep limit di dalam kalkulus mengisyaratkan bahwa pengukuran hanya
dapat dilakukan jika kontinuitas waktu masih berjalan, meski berada di dalam
rentang yang sekecil mungkin, sejauh imajinasi manusia dapat menjangkaunya.
Tentu saja, angka nol (0) tidak boleh sembarangan digunakan jika tidak
menginginkan runtuhnya bangunan logika matematika.
Penghitungan
Newton menjelaskan secara
deterministik tentang
bagaimana benda-benda di alam semesta berinteraksi. Namun, Fisika Klasik Newtonian tidak memadai untuk
menjelaskan gerak
alam pada level atom dan
sub-atom. Beberapa
persoalan belum terpecahkan, misal tentang cahaya. Max Planck muncul dengan membawa pemikiran tentang paket-paket
energi (kuanta) radiasi, dan menginisiasi teori kuantum yang akan menjelaskan
perilaku alam di skala mikroskopik.
Setelah Einstein menjelaskan tentang efek foto elektrik, bahwa cahaya memiliki sifat gelombang dan partikel, disusul
kemudian oleh para fisikawan kuantum yang menyatakan
bahwa sesuatu memiliki sifat gelombang dan partikel sekaligus. Keadaan ini
dijelaskan oleh matematika melalui persamaan Schrödinger, bahwa sesuatu merupakan fungsi
gelombang.
Persamaan matematis
dunia kuantum membawa Werner Heisenberg pada “Prinsip Ketidakpastian
Heisenberg”. Menurut temuan Heisenberg, sesuatu tidak dapat ditentukan secara
tepat posisi dan geraknya pada waktu yang sama. Pada saat sesuatu dapat diukur
kecepatannya secara tepat, maka pada saat itu sesuatu tersebut tidak dapat
diketahui posisinya secara pasti. Sebaliknya, ketika sesuatu tersebut diketahui
secara tepat posisinya, maka sesuatu tersebut tidak dapat diketahui
kecepatannya secara tepat. Informasi yang didapat selalu tidak sempurna.
Einstein mengatakan
bahwa waktu tidak absolut, melainkan relatif. Waktu tidak dapat dipisahkan dari
ruang, dan ruang-waktu bersifat tidak rata. Posisi dan tingkat kecepatan gerak
atau perubahan sesuatu akan mempengaruhi waktu yang dialaminya. Sesuatu yang
bergerak semakin cepat akan mengalami perlambatan waktu. Gerak itu sendiri juga
dinyatakan relatif karena tidak ada kerangka acuan universal. Persoalan
pengukuran menjadi tidak begitu saja mudah ditentukan. Perubahan waktu, massa,
dan panjang tergantung pada kecepatan [pengamat]. Muncul persoalan: teori mana
atau pengukuran siapa yang lebih tepat?
Para saintis
berusaha menggabungkan berbagai teori terpisah yang
ada, misal dengan kemunculan string
theory tahun 1970-an, meski teori string ini dikritik sebagai sebuah
filsafat dan bukan sebuah sains. Hawking, dan Mlodinow, menawarkan konsep model-dependent
realism sebagai pijakan filosofis penyatuan teori-teori yang berbeda
tentang satu fenomena yang sama. Berbagai versi teori yang ada akan dihubungkan
ke dalam satu jaringan yang oleh para saintis diberi nama M-theory, yang sekaligus merupakan kandidat bagi Theory of Everything (ToE). Theory of Everything ini, melalui pengukuran
dan penghitungan yang sesederhana mungkin, diharap dapat memberi penjelasan
secara detil perihal alam.
Para saintis masih perlu
membuktikan melalui observasi terhadap Theory of Everything, jika memang telah diketemukan. Perihal observasi ini menjadi salah satu persoalan di balik
perseteruan antara mekanika kuantum dan teori relativitas di panggung Fisika Modern, di mana keduanya menyodorkan temuan-temuan yang sama-sama belum pernah mereka amati secara langsung. Secara matematis, teori-teori
tersebut tampak indah.
Apa yang
diusahakan oleh para pemikir sejak jaman kuno hingga saat ini adalah melakukan
penghitungan, pengukuran, dan pembuktian secara seakurat mungkin terhadap posisi dan gerak
realitas. Tampaknya diperlukan
adanya penggabungan antara pengetahuan langsung dan pengetahuan tidak langsung
yang bersifat konsisten dari berbagai sudut pandang.***
Yogyakarta, pertengahan Januari 2015
No comments:
Post a Comment