Tuesday, January 13, 2015

PERIHAL PERUBAHAN DAN PENGUKURAN

Bagaimana cara mengetahui suatu posisi dan perubahan secara utuh? Apakah ada metode untuk melakukan pengukuran secara menyeluruh pada saat yang sama? Mengukur adalah memahami.

Pada peradaban Mesir kuno dan Babilonia kuno, unsur-unsur awal aritmetika, geometri, dan astronomi muncul sebagai hasil kegiatan praktis sehari-hari, seperti pengukuran tanah pertanian dan penghitungan gerak benda-benda angkasa untuk menentukan berbagai jenis musim. Kemudian, bangsa Yunani kuno mewarisi dan mempelajari aritmetika, geometri, dan astronomi dari peradaban Mesir dan Babilonia. Orang-orang Yunani mengembangkan lebih jauh pengetahuan-pengetahuan tersebut melalui abstraksi yang melahirkan bidang logika deduktif yang akan berkembang menjadi disiplin matematika. Peradaban Hindia, Maya, dan China kuno juga telah memiliki sistem angka, penghitungan, dan pengukuran, namun tidak berkembang menjadi matematika sebagai sebuah bidang pengetahuan khusus.

Di Yunani, Herakleitos (fl. 504 SM) berpendapat bahwa realitas senantiasa berada di dalam keadaan perubahan. Herakleitos menggunakan analogi air sungai yang mengalir untuk menjelaskan pemikirannya. Realitas adalah seperti aliran air sungai, bergerak dan berubah, tidak dapat dipahami ketika diam tanpa gerak. Realitas hanya dapat dipahami sebagai sebuah keseluruhan perubahan.

Jika Herakleitos berpendapat bahwa realitas, atau sesuatu, hanya dapat dipahami atas dasar gerak dan perubahan, maka para filosof mazhab Elea, yakni Parmenides dan para pengikutnya, berpendapat lain. Mereka menolak gerak dan perubahan. Realitas adalah tetap dan diam. Salah satunya adalah Zeno (lahir 490 SM), yang terkenal dengan Paradoks Zeno. Argumen Zeno yang disebut “Akhilles dan Kura-kura” menghadirkan persoalan pengukuran obyek yang bergerak. Argumen Zeno yang lain, tentang “Anak Panah”, menyatakan keadaan diam.

Zeno berpendapat bahwa anak panah yang tampak terbang sebenarnya bersifat diam. Segala sesuatu yang menempati suatu ruang yang berukuran sama dengan sesuatu tersebut sesungguhnya berada di dalam keadaan berhenti di ruang tersebut. Pada setiap saat tertentu dari terbangnya suatu anak panah, maka anak panah tersebut hanya dapat menempati suatu ruang yang sama dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, pada setiap saat terbangnya suatu anak panah, sebenarnya anak panah tersebut tidak bergerak.

Argumen Zeno membawa implikasi bahwa, di suatu posisi tertentu, sesuatu dapat diukur sifat-sifatnya, misalnya panjang dan massa, namun tanpa bisa diukur sifat kecepatan gerak atau perubahan sesuatu tersebut. Bagi pemikiran Zeno, ketidakmampuan mengukur kecepatan gerak ini tidak menjadi persoalan karena Zeno berpendapat bahwa gerak memang tidak ada. Tidak ada perubahan. Pada saat sesuatu menempati ruang, dan ruang tersebut berukuran sama dengan sesuatu yang menempatinya, maka pada saat itu syarat-syarat yang memungkinkan bagi sebuah pengukuran posisi dapat terpenuhi. Posisi pasti sesuatu yang diukur dapat diketahui secara relatif tepat.

Demokritos (460-370 SM) menanggapi persoalan mazhab Elea tentang gerak. Demokritos mengajukan pemikiran tentang entitas-entitas yang memiliki ukuran paling kecil di alam semesta, dan tidak dapat dibagi lagi, disebut atomos (atomoi). Menurut Demokritos, realitas terdiri dari atom-atom (“yang penuh”) dan ruang di mana atom-atom bergerak (“yang kosong”). Kata modern “atom” berasal dari pemikiran atomos Demokritos ini, dan mendasari konsep modern tentang partikel.

Logika deduktif dan matematika orang-orang Yunani kuno gagal menjelaskan persoalan gerak dan perubahan secara memadai. Solusi ditemukan pada abad 17 M melalui matematika kalkulus, dengan Newton dan Leibniz, namun sebelumnya harus melalui India dan Arab yang memperkenalkan angka nol (0) ke Eropa. Konsep limit di dalam kalkulus mengisyaratkan bahwa pengukuran hanya dapat dilakukan jika kontinuitas waktu masih berjalan, meski berada di dalam rentang yang sekecil mungkin, sejauh imajinasi manusia dapat menjangkaunya. Tentu saja, angka nol (0) tidak boleh sembarangan digunakan jika tidak menginginkan runtuhnya bangunan logika matematika.

Penghitungan Newton menjelaskan secara deterministik tentang bagaimana benda-benda di alam semesta berinteraksi. Namun, Fisika Klasik Newtonian tidak memadai untuk menjelaskan gerak alam pada level atom dan sub-atom. Beberapa persoalan belum terpecahkan, misal tentang cahaya. Max Planck muncul dengan membawa pemikiran tentang paket-paket energi (kuanta) radiasi, dan menginisiasi teori kuantum yang akan menjelaskan perilaku alam di skala mikroskopik.

Setelah Einstein menjelaskan tentang efek foto elektrik, bahwa cahaya memiliki sifat gelombang dan partikel, disusul kemudian oleh para fisikawan kuantum yang menyatakan bahwa sesuatu memiliki sifat gelombang dan partikel sekaligus. Keadaan ini dijelaskan oleh matematika melalui persamaan Schrödinger, bahwa sesuatu merupakan fungsi gelombang.

Persamaan matematis dunia kuantum membawa Werner Heisenberg pada “Prinsip Ketidakpastian Heisenberg”. Menurut temuan Heisenberg, sesuatu tidak dapat ditentukan secara tepat posisi dan geraknya pada waktu yang sama. Pada saat sesuatu dapat diukur kecepatannya secara tepat, maka pada saat itu sesuatu tersebut tidak dapat diketahui posisinya secara pasti. Sebaliknya, ketika sesuatu tersebut diketahui secara tepat posisinya, maka sesuatu tersebut tidak dapat diketahui kecepatannya secara tepat. Informasi yang didapat selalu tidak sempurna.

Einstein mengatakan bahwa waktu tidak absolut, melainkan relatif. Waktu tidak dapat dipisahkan dari ruang, dan ruang-waktu bersifat tidak rata. Posisi dan tingkat kecepatan gerak atau perubahan sesuatu akan mempengaruhi waktu yang dialaminya. Sesuatu yang bergerak semakin cepat akan mengalami perlambatan waktu. Gerak itu sendiri juga dinyatakan relatif karena tidak ada kerangka acuan universal. Persoalan pengukuran menjadi tidak begitu saja mudah ditentukan. Perubahan waktu, massa, dan panjang tergantung pada kecepatan [pengamat]. Muncul persoalan: teori mana atau pengukuran siapa yang lebih tepat?

Para saintis berusaha menggabungkan berbagai teori terpisah yang ada, misal dengan kemunculan string theory tahun 1970-an, meski teori string ini dikritik sebagai sebuah filsafat dan bukan sebuah sains. Hawking, dan Mlodinow, menawarkan konsep model-dependent realism sebagai pijakan filosofis penyatuan teori-teori yang berbeda tentang satu fenomena yang sama. Berbagai versi teori yang ada akan dihubungkan ke dalam satu jaringan yang oleh para saintis diberi nama M-theory, yang sekaligus merupakan kandidat bagi Theory of Everything (ToE). Theory of Everything ini, melalui pengukuran dan penghitungan yang sesederhana mungkin, diharap dapat memberi penjelasan secara detil perihal alam.

Para saintis masih perlu membuktikan melalui observasi terhadap Theory of Everything, jika memang telah diketemukan. Perihal observasi ini menjadi salah satu persoalan di balik perseteruan antara mekanika kuantum dan teori relativitas di panggung Fisika Modern, di mana keduanya menyodorkan temuan-temuan yang sama-sama belum pernah mereka amati secara langsung. Secara matematis, teori-teori tersebut tampak indah.

Apa yang diusahakan oleh para pemikir sejak jaman kuno hingga saat ini adalah melakukan penghitungan, pengukuran, dan pembuktian secara seakurat mungkin terhadap posisi dan gerak realitas. Tampaknya diperlukan adanya penggabungan antara pengetahuan langsung dan pengetahuan tidak langsung yang bersifat konsisten dari berbagai sudut pandang.***

Yogyakarta, pertengahan Januari 2015

No comments:

Post a Comment