Kotagede, puluhan tahun
yang lalu. Waktu itu saya dan teman-teman saya masih berusia anak Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah Pertama. Kampung-kampung kami berada di wilayah bekas
pusat kerajaan Mataram Islam. Banyak situs-situs bekas kerajaan Mataram yang
masih tersisa. Misalnya kompleks pemakaman Raja, kolam pemandian keluarga raja,
tembok keraton, batu singgasana raja, pohon beringin besar, dan masjid.
Di beberapa situs,
terdapat tempat-tempat tertentu yang digunakan secara khusus bagi orang-orang
tertentu untuk melakukan ritual spiritual, seperti berdoa, yang berbeda dengan
cara ritual di Masjid. Kata Ibu saya, orang-orang yang melakukan ritual di
situs-situs tersebut adalah orang-orang Jawa. “… itu adalah keyakinan Jawa, Kejawen,” begitu kira-kira Ibu saya menjelaskan. Padahal,
kami juga orang Jawa.
Saya dan
teman-teman saya sering bermain di situs-situs bekas kerajaan Mataram tersebut,
termasuk di tempat-tempat yang digunakan sebagai ritual “orang-orang
berkeyakinan Jawa”. Biasanya, di tempat ritual tersebut terdapat bunga setaman
(mawar, melati, kenanga, dan kanthil), dupa, kemenyan, kadang-kadang uang logam
receh dan rokok. Kami sering mengobrak-abrik tumpukan bunga dan kemenyan di
tempat yang dijadikan ritual tersebut. Mengambil uang recehnya, jika ada.
Tumpukan bunganya kami sebar ke mana-mana.
Orang-orang yang
berada di sekitar tempat ritual tersebut biasanya hanya terbengong-bengong. Mungkin
mereka memaklumi karena kami masih anak-anak, atau mungkin tidak berani menegur
karena kami penduduk asli di wilayah itu. Kami tidak peduli dengan orang-orang
yang melakukan ritual di situs-situs tersebut. Biasanya kami tidak mengenal
meraka karena mereka banyak yang bukan berasal dari daerah kami. Jika secara
kebetulan ada tetangga kami di tempat tersebut, maka kami segera berlaku sopan.
Bagi kami pada
waktu itu, setidaknya bagi saya, keyakinan “orang-orang Jawa” tersebut aneh. Berdoa
di depan makam, di bawah pohon besar, di kolam pemandian, adalah aneh. Kami mengolok-oloknya
dengan cara kami, cara khas anak-anak. Mungkin saja ada teman saya yang
membayangkan apa yang kami lakukan meniru Nabi Ibrahim ketika menghancurkan
patung-patung simbol agama ayahnya. Kami seolah hendak mengatakan, “keyakinanmu
itu keliru, bodoh, konyol!”
Paris, Prancis, 7 Januari 2015. Kantor majalah Charlie Hebdo diserang dua orang bersenapan. Dua belas orang tewas. Al Qaeda
mengaku bertanggung jawab atas penyerangan tersebut. Berbagai komentar segera
bermunculan. Pemerintah Prancis menyatakan bahwa mereka akan terus
mempertahankan nilai-nilai liberte, egalite, fraternite, semboyan Revolusi Prancis di abad 18. Di lain pihak, pemimpin
Katolik Roma, Paus Francis, mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menghina
keyakinan (agama) orang lain. Paus menentang
kelakuan Charlie Hebdo.
Charlie Hebdo
merupakan majalah kartun satir yang memparodikan berbagai peristiwa, agama
maupun politik, terlepas dari kemunafikan yang mungkin menyertai Charlie Hebdo
sendiri. Bagi Charlie Hebdo, keyakinan ekstrim agama-agama adalah aneh.
Sebagaimana pandangan kami terhadap keyakinan Jawa: aneh. Charlie Hebdo
mengolok-olok simbol-simbol keyakinan spiritual berbagai macam agama dengan
cara gambar kartun satir. Sedangkan kami dahulu mengolok-olok keyakinan
spiritual orang-orang Jawa dengan cara anak-anak: mengobrak-abrik dan merusak
simbol-simbol dan alat-alat ritual, melontarkan kata-kata sinis pada
orang-orang di sekitar situs-situs tempat ritual. Charlie Hebdo menyebut
ekstrimis-ekstrimis agama sebagai kekonyolan, dan kami menyebut orang-orang
Jawa yang berdoa di situs-situs bekas kerajaan Mataram sebagai sesat.
Secara sekilas,
apa yang kami lakukan tampak mirip dengan apa yang dilakukan oleh Charlie
Hebdo. Sama-sama sinis dan mengolok-olok keyakinan spiritual orang lain. Akan
tetapi, setidaknya ada dua perbedaan antara pangkal sikap kami dan sikap
Charlie Hebdo. Pertama, kami berangkat dari ide-ide keagamaan atau spiritual.
Sedangkan Charlie Hebdo berangkat dari ide-ide kebebasan dan sekulerisme, entah
itu warisan Yunani, warisan Renaisans dan Pencerahan, atau bahkan ide-ide yang sama sekali
baru yang muncul di era globalisasi.
Perbedaan kedua,
Charlie Hebdo merupakan media massa komersial, sehingga memiliki kepentingan ekonomi,
kepentingan kapital, meski Charlie Hebdo disebut-sebut bertendensi left-wing. Kepentingan bisnis media
massa membuat Charlie Hebdo selalu berusaha mencapai target penjualan oplah
tinggi, termasuk tampil kontroversial, di antaranya mengolok-olok agama-agama
besar. Bahkan, paska penyerangan kantor Charlie Hebdo, oplah penjualan majalah
Charlie Hebdo edisi
14 januari 2015 meningkat
tajam.
Beberapa tahun
lalu saya membaca tulisan-tulisan tentang Mula
Jadi Na Bolon yang ada di Batak, Sumatera Utara. Mula Jadi Na Bolon merupakan konsep ketuhanan tertinggi yang dianut
masyarakat Batak kuno sebelum masuknya agama-agama Ibrahim ke Batak. Keyakinan Mula Jadi Na Bolon masih diturunkan dari
generasi-generasi hingga sekarang.
Para penganut
keyakinan Mula Jadi Na Bolon, serta
berbagai keyakinan atau agama kecil lainnya, termasuk keyakinan Jawa, mengalami
persoalan ketika diwajibkan mencantumkan nama agama di Kartu Tanda Penduduk
(KTP) oleh pemerintah Indonesia. Mereka terpaksa mencantumkan salah satu agama
yang diakui oleh negara di KTP, meski pada kenyataannya pikiran mereka
berkeyakinan lain. Pencantuman agama secara terpaksa ini juga dapat menimbulkan
persoalan tersendiri. Mereka dapat dituduh sesat dan menodai agama karena
melakukan ritual atau praktek hidup yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang
dicantumkan di KTP.
Beberapa orang
Batak penganut Kristen menganggap keyakinan Mula
Jadi Na Bolon sebagai sesat dan kafir, melakukan praktek-praktek keagamaan
yang bertentangan dengan Kristenitas. Anggapan tersebut tidak jauh berbeda
dengan pandangan saya dan teman-teman saya dahulu terhadap keyakinan
orang-orang Jawa. Cara kami melihat keyakinan orang-orang Jawa lebih mirip
dengan cara orang-orang Batak Kristen dalam melihat keyakinan Mula Jadi Na Bolon daripada cara Charlie
Hebdo melihat berbagai agama.
Pada tahun 2011, Terry Jones, seorang fundamentalis Kristen
Amerika Serikat, membakar copy al-Quran.
Apa yang dilakukan oleh Terry Jones menyulut kemarahan orang-orang Islam,
sebagaimana apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo ketika menggambar kartun Nabi
Muhammad. Namun sekali lagi, ide-ide yang dibawa oleh Terry Jones tidak begitu
saja bisa diidentikan dengan ide-ide yang dibawa oleh Charlie Hebdo. Apa yang
dilakukan Terry Jones lebih mirip dengan apa yang saya dan teman-teman saya
lakukan dahulu ketika merusak simbol-simbol keyakinan spiritual orang lain.
Al-Quran tidak
dianggap sakral oleh Terry Jones, sebagaimana saya dan teman-teman saya dahulu tidak
menganggap sakral simbol-simbol yang disakralkan oleh keyakinan Jawa. Pandangan
spiritual kami berbeda terhadap pandangan sprititual keyakinan Jawa terkait
persoalan apa yang disakralkan dan apa yang diprofankan. Sedangkan Charlie
Hebdo menganggap tidak ada yang sakral, semua profan, dan semua bisa dijual
demi kepentingan profit. Hal ini selaras dengan ide pembentukan masyarakat
komoditas yang dibawa oleh klas borjuasi saat menumbangkan kekuasaan feodalisme
pada Revolusi Prancis abad 18. Ide-ide kebebasan yang dianut Charlie Hebdo itu
sendiri tidak bisa dikatakan sebagai sakral sebagaimana istilah “hal yang
sakral” dimengerti di dalam konsep agama.
Beberapa waktu
lalu, seorang teman saya yang berlatar belakang santri dan bukan orang Kotagede
berkelakar, “Orang-orang Kotagede itu menyembah pohon beringin besar”. Sekarang
saya jawab secara kelakar pula, “Lha kamu menyembah kyai-mu”.***
Yogyakarta, 20 Janurari 2015
No comments:
Post a Comment