Tuesday, January 20, 2015

ORANG JAWA DAN CHARLIE HEBDO


Kotagede, puluhan tahun yang lalu. Waktu itu saya dan teman-teman saya masih berusia anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Kampung-kampung kami berada di wilayah bekas pusat kerajaan Mataram Islam. Banyak situs-situs bekas kerajaan Mataram yang masih tersisa. Misalnya kompleks pemakaman Raja, kolam pemandian keluarga raja, tembok keraton, batu singgasana raja, pohon beringin besar, dan masjid.


Di beberapa situs, terdapat tempat-tempat tertentu yang digunakan secara khusus bagi orang-orang tertentu untuk melakukan ritual spiritual, seperti berdoa, yang berbeda dengan cara ritual di Masjid. Kata Ibu saya, orang-orang yang melakukan ritual di situs-situs tersebut adalah orang-orang Jawa. “… itu adalah keyakinan Jawa, Kejawen,” begitu kira-kira Ibu saya menjelaskan. Padahal, kami juga orang Jawa.

Saya dan teman-teman saya sering bermain di situs-situs bekas kerajaan Mataram tersebut, termasuk di tempat-tempat yang digunakan sebagai ritual “orang-orang berkeyakinan Jawa”. Biasanya, di tempat ritual tersebut terdapat bunga setaman (mawar, melati, kenanga, dan kanthil), dupa, kemenyan, kadang-kadang uang logam receh dan rokok. Kami sering mengobrak-abrik tumpukan bunga dan kemenyan di tempat yang dijadikan ritual tersebut. Mengambil uang recehnya, jika ada. Tumpukan bunganya kami sebar ke mana-mana.

Orang-orang yang berada di sekitar tempat ritual tersebut biasanya hanya terbengong-bengong. Mungkin mereka memaklumi karena kami masih anak-anak, atau mungkin tidak berani menegur karena kami penduduk asli di wilayah itu. Kami tidak peduli dengan orang-orang yang melakukan ritual di situs-situs tersebut. Biasanya kami tidak mengenal meraka karena mereka banyak yang bukan berasal dari daerah kami. Jika secara kebetulan ada tetangga kami di tempat tersebut, maka kami segera berlaku sopan.

Bagi kami pada waktu itu, setidaknya bagi saya, keyakinan “orang-orang Jawa” tersebut aneh. Berdoa di depan makam, di bawah pohon besar, di kolam pemandian, adalah aneh. Kami mengolok-oloknya dengan cara kami, cara khas anak-anak. Mungkin saja ada teman saya yang membayangkan apa yang kami lakukan meniru Nabi Ibrahim ketika menghancurkan patung-patung simbol agama ayahnya. Kami seolah hendak mengatakan, “keyakinanmu itu keliru, bodoh, konyol!”

Paris, Prancis, 7 Januari 2015. Kantor majalah Charlie Hebdo diserang dua orang bersenapan. Dua belas orang tewas. Al Qaeda mengaku bertanggung jawab atas penyerangan tersebut. Berbagai komentar segera bermunculan. Pemerintah Prancis menyatakan bahwa mereka akan terus mempertahankan nilai-nilai liberte, egalite, fraternite, semboyan Revolusi Prancis di abad 18. Di lain pihak, pemimpin Katolik Roma, Paus Francis, mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menghina keyakinan (agama)  orang lain. Paus menentang kelakuan Charlie Hebdo.

Charlie Hebdo merupakan majalah kartun satir yang memparodikan berbagai peristiwa, agama maupun politik, terlepas dari kemunafikan yang mungkin menyertai Charlie Hebdo sendiri. Bagi Charlie Hebdo, keyakinan ekstrim agama-agama adalah aneh. Sebagaimana pandangan kami terhadap keyakinan Jawa: aneh. Charlie Hebdo mengolok-olok simbol-simbol keyakinan spiritual berbagai macam agama dengan cara gambar kartun satir. Sedangkan kami dahulu mengolok-olok keyakinan spiritual orang-orang Jawa dengan cara anak-anak: mengobrak-abrik dan merusak simbol-simbol dan alat-alat ritual, melontarkan kata-kata sinis pada orang-orang di sekitar situs-situs tempat ritual. Charlie Hebdo menyebut ekstrimis-ekstrimis agama sebagai kekonyolan, dan kami menyebut orang-orang Jawa yang berdoa di situs-situs bekas kerajaan Mataram sebagai sesat.

Secara sekilas, apa yang kami lakukan tampak mirip dengan apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo. Sama-sama sinis dan mengolok-olok keyakinan spiritual orang lain. Akan tetapi, setidaknya ada dua perbedaan antara pangkal sikap kami dan sikap Charlie Hebdo. Pertama, kami berangkat dari ide-ide keagamaan atau spiritual. Sedangkan Charlie Hebdo berangkat dari ide-ide kebebasan dan sekulerisme, entah itu warisan Yunani, warisan Renaisans dan Pencerahan, atau bahkan ide-ide yang sama sekali baru yang muncul di era globalisasi.

Perbedaan kedua, Charlie Hebdo merupakan media massa komersial, sehingga memiliki kepentingan ekonomi, kepentingan kapital, meski Charlie Hebdo disebut-sebut bertendensi left-wing. Kepentingan bisnis media massa membuat Charlie Hebdo selalu berusaha mencapai target penjualan oplah tinggi, termasuk tampil kontroversial, di antaranya mengolok-olok agama-agama besar. Bahkan, paska penyerangan kantor Charlie Hebdo, oplah penjualan majalah Charlie Hebdo edisi 14 januari 2015 meningkat tajam.

Beberapa tahun lalu saya membaca tulisan-tulisan tentang Mula Jadi Na Bolon yang ada di Batak, Sumatera Utara. Mula Jadi Na Bolon merupakan konsep ketuhanan tertinggi yang dianut masyarakat Batak kuno sebelum masuknya agama-agama Ibrahim ke Batak. Keyakinan Mula Jadi Na Bolon masih diturunkan dari generasi-generasi hingga sekarang.

Para penganut keyakinan Mula Jadi Na Bolon, serta berbagai keyakinan atau agama kecil lainnya, termasuk keyakinan Jawa, mengalami persoalan ketika diwajibkan mencantumkan nama agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) oleh pemerintah Indonesia. Mereka terpaksa mencantumkan salah satu agama yang diakui oleh negara di KTP, meski pada kenyataannya pikiran mereka berkeyakinan lain. Pencantuman agama secara terpaksa ini juga dapat menimbulkan persoalan tersendiri. Mereka dapat dituduh sesat dan menodai agama karena melakukan ritual atau praktek hidup yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang dicantumkan di KTP.

Beberapa orang Batak penganut Kristen menganggap keyakinan Mula Jadi Na Bolon sebagai sesat dan kafir, melakukan praktek-praktek keagamaan yang bertentangan dengan Kristenitas. Anggapan tersebut tidak jauh berbeda dengan pandangan saya dan teman-teman saya dahulu terhadap keyakinan orang-orang Jawa. Cara kami melihat keyakinan orang-orang Jawa lebih mirip dengan cara orang-orang Batak Kristen dalam melihat keyakinan Mula Jadi Na Bolon daripada cara Charlie Hebdo melihat berbagai agama.

Pada tahun 2011, Terry Jones, seorang fundamentalis Kristen Amerika Serikat, membakar copy al-Quran. Apa yang dilakukan oleh Terry Jones menyulut kemarahan orang-orang Islam, sebagaimana apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo ketika menggambar kartun Nabi Muhammad. Namun sekali lagi, ide-ide yang dibawa oleh Terry Jones tidak begitu saja bisa diidentikan dengan ide-ide yang dibawa oleh Charlie Hebdo. Apa yang dilakukan Terry Jones lebih mirip dengan apa yang saya dan teman-teman saya lakukan dahulu ketika merusak simbol-simbol keyakinan spiritual orang lain.

Al-Quran tidak dianggap sakral oleh Terry Jones, sebagaimana saya dan teman-teman saya dahulu tidak menganggap sakral simbol-simbol yang disakralkan oleh keyakinan Jawa. Pandangan spiritual kami berbeda terhadap pandangan sprititual keyakinan Jawa terkait persoalan apa yang disakralkan dan apa yang diprofankan. Sedangkan Charlie Hebdo menganggap tidak ada yang sakral, semua profan, dan semua bisa dijual demi kepentingan profit. Hal ini selaras dengan ide pembentukan masyarakat komoditas yang dibawa oleh klas borjuasi saat menumbangkan kekuasaan feodalisme pada Revolusi Prancis abad 18. Ide-ide kebebasan yang dianut Charlie Hebdo itu sendiri tidak bisa dikatakan sebagai sakral sebagaimana istilah “hal yang sakral” dimengerti di dalam konsep agama.

Beberapa waktu lalu, seorang teman saya yang berlatar belakang santri dan bukan orang Kotagede berkelakar, “Orang-orang Kotagede itu menyembah pohon beringin besar”. Sekarang saya jawab secara kelakar pula, “Lha kamu menyembah kyai-mu”.***

Yogyakarta, 20 Janurari 2015

No comments:

Post a Comment