Berdasar permintaan
BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) melakukan
pemblokiran terhadap 22 website yang dianggap menyebarkan atau mendukung
pemikiran Islam radikal.[1] Pemblokiran
ini sebenarnya bukan tindakan pertama kali yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pada masa
pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, setidaknya
menurut pengakuan pemerintah, pemblokiran juga pernah
dilakukan terhadap situs-situs serupa.[2] Pada intinya, negara melarang pemikiran tertentu, dan dalam hal ini pemikiran
tersebut disebarluaskan melalui
internet.
Pemerintah
juga beberapa kali melakukan pelarangan penyebaran pemikiran tertentu melalui
media lainnya, misal buku. Rezim Soeharto di era Orde Baru sering melarang
buku-buku tertentu, yang pada intinya melarang pemikiran yang ada di dalam buku-buku
tersebut. Kajian-kajian pemikiran tertentu dilarang, bahkan kajian yang
dilakukan di universitas yang merupakan lembaga saintifik. Pada era paska reformasi 1998, pelarangan tersebut beberapa kali masih
terjadi, meski tidak semasif di era Orde Baru.
Pelarangan
terhadap buku-buku tertentu masih terjadi di sepanjang era reformasi. Misal, pada tahun 2008 Kejaksaan Agung melarang buku HM Misbach, Kisah Haji
Merah.
Pada tahun 2009, Kejagung melarang buku Suara Gereja bagi Umat Tertindas:
Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus
Diakhiri serta beberapa buku lainnya. Pada tahun 2014, Majelis Ulama
Indonesia mendukung penarikan buku Tadzkiroh
karya Abu Bakar Ba’asyir dari pasar karena isi buku tersebut dianggap
bermasalah.[3]
Pada tahun 2001, terjadi razia dan
pembakaran buku-buku kiri yang dianggap menyebarkan
pemikiran Marxisme dan Komunisme.[4] Aksi tersebut dilakukan
oleh kelompok-kelompok sipil yang menyatakan diri anti komunis. Fakta-fakta
di atas ini menunjukkan bahwa negara dan warga sipil
sama-sama pernah terlibat di dalam pelarangan penyebaran pikiran tertentu. Pemblokiran situs-situs
Islam dan pelarangan buku-buku
tertentu dilakukan oleh negara, yakni melalui Kemkominfo dan Kejaksaan Agung.
Sedangkan razia dan pembakaran buku-buku kiri tahun 2001 dilakukan oleh warga
sipil.
Benang merah yang menautkan antara pemblokiran situs-situs
Islam saat ini, razia dan pembakaran buku-buku
kiri di tahun 2001, serta
pelarangan buku-buku di sepanjang era paska reformasi 1998
adalah perihal adanya tindakan pelarangan dan pemberangusan pemikiran tertentu.
Adagium Latin di bidang hukum yang
berbunyi cogitatianis
poenam nemo patitur kira-kira
berarti bahwa seseorang tidak dapat dihukum atas apa yang dipikirkannya. Memang terdapat
pengecualian,
yakni ketika perbuatan lahir hukum
dicampuri pikiran manusia, seperti disengaja atau direncanakan, sehingga
tindakan dan maksud atau pemikiran yang mendorongnya dapat dikenai hukuman.
Selain itu, adagium tersebut tidak mutlak berlaku di negara penganut ideologi eksklusif, misal negara theokratis, di mana negara mengurusi dan mencampuri
urusan pemikiran warga negara. Di negara
tipe ini, negara dapat mengadili dan menghukum warga
negara atas apa yang dipikirkan oleh warga negara bersangkutan. Misal, di Arab
Saudi, pemikiran atheis dapat dikenai hukuman. Bahkan di tahun 2014, atheis digolongkan sebagai teroris di negara
tersebut.[5]
Beberapa pertanyaan
perlu diajukan pada kasus pemblokiran situs-situs Islam di Indonesia. Apakah
situs-situs tersebut terbukti telah
menyebarkan pikiran ajakan tindak pidana dan disertai adanya upaya atau langkah-langkah
konkrit untuk mewujudkan tindak pidana tersebut? Jika isi situs-situs tersebut selalu mengacu pada
teks-teks yang dikutip dari al-Quran,
maka apakah kemudian teks-teks yang dikutip tersebut dianggap mendorong radikalisme? Ataukah
semata persoalan ketidaktepatan penafsiran terhadap
teks-teks?
Persoalan mungkin akan
digeser ke persoalan penafsiran al-Quran. Jika penafsiran terhadap teks-teks al-Quran dianggap
tidak tepat, lantas
apakah negara dapat melakukan kriminalisasi terhadap
seseorang karena aktifitas pikirannya di dalam menafsirkan kitab suci? Jika negara dapat melakukan kriminalisasi terhadap pikiran seseorang
terkait tafsir kitab suci, maka negara telah terlibat di
dalam urusan kriteria pemikiran yang benar dan pemikiran yang sesat atas suatu
pemikiran keagamaan. Negara tersebut mungkin telah menjadi negara theokrasi, berperan menentukan pemikiran
theologis apa yang boleh hidup dan pemikiran theologis apa
yang tidak boleh hidup di negara dan diikuti warga negara. Lebih jauh lagi, negara akan mengatur materi
apa yang boleh dipikirkan dan apa yang tidak boleh dipikirkan oleh warga
negara.
Pemikiran Marxisme dan Komunisme dilarang disebarluaskan di Indonesia melalui
TAP MPRS/25/66, meski terdapat pengecualian untuk kepentingan akademik.
Pelarangan pemikiran Marxisme dan Komunisme di Indonesia memiliki aturan legal.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh mendalangi peristiwa G/30/S 1965 sehingga PKI dibubarkan dan dilarang berdiri kembali. Ideologi di belakang PKI harus
dilarang. Juga alasan yang dibuat-buat tentang atheisme. Secara legal, ruang kebebasan bagi pemikiran
Marxisme dan Komunisme di Indonesia dibatasi, bahkan ditindas.
Pada kasus pemblokiran
situs-situs Islam, pemikiran Islam tidak pernah dilarang secara hukum di
Indonesia. Pelarangan (pemblokiran) situs-situs Islam didasarkan pada tuduhan
bahwa situs-situs tersebut menyebarkan atau mendukung pemikiran radikal, dan
pemikiran radikal ini dianggap sebagai sumber tindak pidana. Namun,
sesungguhnya, konsep radikal itu sendiri sering bergeser ukurannya.
Sebagai penutup, diskusi tentang kebebasan pada akhirnya harus
melibatkan variabel negara dan aktor di balik kekuasaan negara. Selama masih
ada negara, maka persoalan kebebasan adalah persoalan tentang keputusan pemegang
kekuasaan negara. Di manapun dan kapanpun, selama masih ada negara, maka perihal kebebasan dimonopoli oleh pemegang kekuasaan negara. Dengan kekuasaan yang
dimilikinya, pemegang kekuasaan politik dapat melakukan penindasan (fisik
maupun pemikiran) terhadap pihak-pihak yang dianggap berpotensi mengancam masa
depan pihak yang sedang memegang kekuasaan politik. Kekuasaan politik akan menentukan
ide-ide yang boleh beredar dan yang tidak boleh beredar di tengah warga negara.
Selama masih ada negara, perbincangan tentang kebebasan, atau kemerdekaan,
menjadi tidak signifikan jika tanpa melibatkan variabel kekuasaan politik.***
Notes:
[1] “BNPT Minta Kominfo
Blokir 22 Situs Radikal”, Selasa, 31 Maret 2015, http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4627/BNPT+Minta+Kominfo+Blokir+22+Situs+Radikal/0/berita_satker
[2] “Sekitar 300 situs radikal sudah diblokir
Kemenkoinfo”, 28 September 2011, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/09/110928_tifatul.shtml
[3] “MUI Dukung Penarikan Buku Abu Bakar Baasyir”,
Jumat, 3 Januari 2014, http://nasional.kompas.com/read/2014/01/03/2034488/MUI.Dukung.Penarikan.Buku.Abu.Bakar.Baasyir
[4] “Asvi Warman: Pembakaran
Buku Kiri, Seperti Tindakan Komunis”, 10 Mei 2001, http://news.liputan6.com/read/12668/asvi-warman-pembakaran-buku-kiri-seperti-tindakan-komunis
[5] “Saudi Arabia: New Terrorism Regulations
Assault Rights”, March 20, 2014, http://www.hrw.org/news/2014/03/20/saudi-arabia-new-terrorism-regulations-assault-rights
No comments:
Post a Comment