Friday, April 3, 2015

PEMBLOKIRAN PEMIKIRAN

Berdasar permintaan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) melakukan pemblokiran terhadap 22 website yang dianggap menyebarkan atau mendukung pemikiran Islam radikal.[1] Pemblokiran ini sebenarnya bukan tindakan pertama kali yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pada masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, setidaknya menurut pengakuan pemerintah, pemblokiran juga pernah dilakukan terhadap situs-situs serupa.[2] Pada intinya, negara melarang pemikiran tertentu, dan dalam hal ini pemikiran tersebut disebarluaskan melalui internet.


Pemerintah juga beberapa kali melakukan pelarangan penyebaran pemikiran tertentu melalui media lainnya, misal buku. Rezim Soeharto di era Orde Baru sering melarang buku-buku tertentu, yang pada intinya melarang pemikiran yang ada di dalam buku-buku tersebut. Kajian-kajian pemikiran tertentu dilarang, bahkan kajian yang dilakukan di universitas yang merupakan lembaga saintifik. Pada era paska reformasi 1998, pelarangan tersebut beberapa kali masih terjadi, meski tidak semasif di era Orde Baru.

Pelarangan terhadap buku-buku tertentu masih terjadi di sepanjang era reformasi. Misal, pada tahun 2008 Kejaksaan Agung melarang buku HM Misbach, Kisah Haji Merah. Pada tahun 2009, Kejagung melarang buku Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri serta beberapa buku lainnya. Pada tahun 2014, Majelis Ulama Indonesia mendukung penarikan buku Tadzkiroh karya Abu Bakar Ba’asyir dari pasar karena isi buku tersebut dianggap bermasalah.[3]

Pada tahun 2001, terjadi razia dan pembakaran buku-buku kiri yang dianggap menyebarkan pemikiran Marxisme dan Komunisme.[4] Aksi tersebut dilakukan oleh kelompok-kelompok sipil yang menyatakan diri anti komunis. Fakta-fakta di atas ini menunjukkan bahwa negara dan warga sipil sama-sama pernah terlibat di dalam pelarangan penyebaran pikiran tertentu. Pemblokiran situs-situs Islam dan pelarangan buku-buku tertentu dilakukan oleh negara, yakni melalui Kemkominfo dan Kejaksaan Agung. Sedangkan razia dan pembakaran buku-buku kiri tahun 2001 dilakukan oleh warga sipil.

Benang merah yang menautkan antara pemblokiran situs-situs Islam saat ini, razia dan pembakaran buku-buku kiri di tahun 2001, serta pelarangan buku-buku di sepanjang era paska reformasi 1998 adalah perihal adanya tindakan pelarangan dan pemberangusan pemikiran tertentu.

Adagium Latin di bidang hukum yang berbunyi cogitatianis poenam  nemo patitur kira-kira berarti bahwa seseorang tidak dapat dihukum atas apa yang dipikirkannya. Memang terdapat pengecualian, yakni ketika perbuatan lahir hukum dicampuri pikiran manusia, seperti disengaja atau direncanakan, sehingga tindakan dan maksud atau pemikiran yang mendorongnya dapat dikenai hukuman. Selain itu, adagium tersebut tidak mutlak berlaku di negara penganut ideologi eksklusif, misal negara theokratis, di mana negara mengurusi dan mencampuri urusan pemikiran warga negara. Di negara tipe ini, negara dapat mengadili dan menghukum warga negara atas apa yang dipikirkan oleh warga negara bersangkutan. Misal, di Arab Saudi, pemikiran atheis dapat dikenai hukuman. Bahkan di tahun 2014, atheis digolongkan sebagai teroris di negara tersebut.[5]

Beberapa pertanyaan perlu diajukan pada kasus pemblokiran situs-situs Islam di Indonesia. Apakah situs-situs tersebut terbukti telah menyebarkan pikiran ajakan tindak pidana dan disertai adanya upaya atau langkah-langkah konkrit untuk mewujudkan tindak pidana tersebut? Jika isi situs-situs tersebut selalu mengacu pada teks-teks yang dikutip dari al-Quran, maka apakah kemudian teks-teks yang dikutip tersebut dianggap mendorong radikalisme? Ataukah semata persoalan ketidaktepatan penafsiran terhadap teks-teks?

Persoalan mungkin akan digeser ke persoalan penafsiran al-Quran. Jika penafsiran terhadap teks-teks al-Quran dianggap tidak tepat, lantas apakah negara dapat melakukan kriminalisasi terhadap seseorang karena aktifitas pikirannya di dalam menafsirkan kitab suci? Jika negara dapat melakukan kriminalisasi terhadap pikiran seseorang terkait tafsir kitab suci, maka negara telah terlibat di dalam urusan kriteria pemikiran yang benar dan pemikiran yang sesat atas suatu pemikiran keagamaan. Negara tersebut mungkin telah menjadi negara theokrasi, berperan menentukan pemikiran theologis apa yang boleh hidup dan pemikiran theologis apa yang tidak boleh hidup di negara dan diikuti warga negara. Lebih jauh lagi, negara akan mengatur materi apa yang boleh dipikirkan dan apa yang tidak boleh dipikirkan oleh warga negara.

Pemikiran Marxisme dan Komunisme dilarang disebarluaskan di Indonesia melalui TAP MPRS/25/66, meski terdapat pengecualian untuk kepentingan akademik. Pelarangan pemikiran Marxisme dan Komunisme di Indonesia memiliki aturan legal. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh mendalangi peristiwa G/30/S 1965 sehingga PKI dibubarkan dan dilarang berdiri kembali. Ideologi di belakang PKI  harus dilarang. Juga alasan yang dibuat-buat tentang atheisme. Secara legal, ruang kebebasan bagi pemikiran Marxisme dan Komunisme di Indonesia dibatasi, bahkan ditindas.

Pada kasus pemblokiran situs-situs Islam, pemikiran Islam tidak pernah dilarang secara hukum di Indonesia. Pelarangan (pemblokiran) situs-situs Islam didasarkan pada tuduhan bahwa situs-situs tersebut menyebarkan atau mendukung pemikiran radikal, dan pemikiran radikal ini dianggap sebagai sumber tindak pidana. Namun, sesungguhnya, konsep radikal itu sendiri sering bergeser ukurannya.

Sebagai penutup, diskusi tentang kebebasan pada akhirnya harus melibatkan variabel negara dan aktor di balik kekuasaan negara. Selama masih ada negara, maka persoalan kebebasan adalah persoalan tentang keputusan pemegang kekuasaan negara. Di manapun dan kapanpun, selama masih ada negara, maka perihal kebebasan dimonopoli oleh pemegang kekuasaan negara. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, pemegang kekuasaan politik dapat melakukan penindasan (fisik maupun pemikiran) terhadap pihak-pihak yang dianggap berpotensi mengancam masa depan pihak yang sedang memegang kekuasaan politik. Kekuasaan politik akan menentukan ide-ide yang boleh beredar dan yang tidak boleh beredar di tengah warga negara. Selama masih ada negara, perbincangan tentang kebebasan, atau kemerdekaan, menjadi tidak signifikan jika tanpa melibatkan variabel kekuasaan politik.***

Notes:


[1] “BNPT Minta Kominfo Blokir 22 Situs Radikal”, Selasa, 31 Maret 2015, http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4627/BNPT+Minta+Kominfo+Blokir+22+Situs+Radikal/0/berita_satker
[2] “Sekitar 300 situs radikal sudah diblokir Kemenkoinfo”, 28 September 2011, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/09/110928_tifatul.shtml
[3] “MUI Dukung Penarikan Buku Abu Bakar Baasyir”, Jumat, 3 Januari 2014, http://nasional.kompas.com/read/2014/01/03/2034488/MUI.Dukung.Penarikan.Buku.Abu.Bakar.Baasyir
[4] “Asvi Warman: Pembakaran Buku Kiri, Seperti Tindakan Komunis”, 10 Mei 2001, http://news.liputan6.com/read/12668/asvi-warman-pembakaran-buku-kiri-seperti-tindakan-komunis
[5] “Saudi Arabia: New Terrorism Regulations Assault Rights”, March 20, 2014, http://www.hrw.org/news/2014/03/20/saudi-arabia-new-terrorism-regulations-assault-rights

No comments:

Post a Comment