Sunday, August 9, 2015

FATWA, BPJS KESEHATAN, DAN SISTEM SOSIAL

Hari ini, Minggu 9 Agustus 2015, harian “Kedaulatan Rakyat” memuat surat dari pembaca yang berisi kecaman terhadap fatwa haram Majelis Ulama Indonesai (MUI) atas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Penulis surat, yang mengaku karyawan swasta, menyatakan kemanfaatan BPJS Kesehatan bagi dirinya, dengan membandingkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) pada Jamsostek (jaminan sosial tenaga kerja).


Beberapa hari yang lalu, Komisi Bahtsul Masail Muktamar NU ke-33 di Jombang membuat kesimpulan BPJS Kesehatan tidak haram karena berprinsip gotong-royong dan bukan asuransi swasta.[1] Dari arena Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, ketua umum MUI, Din Syamsuddin, yang saat itu juga merupakan ketua umum Muhammadiyah, mengatakan tidak ada fatwa haram MUI terkait BPJS Kesehatan.[2] Hasil pertemuan antara BPJS Kesehatan, MUI, Pemerintah, DJSN, dan OJK pada 4 Agustus 2015, disepahami tidak ada kosa kata haram di dalam keputusan dan rekomendasi ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tentang BPJS Kesehatan.[3]

BPJS Kesehatan adalah lembaga yang menyelenggarakan jaminan sosial di bidang kesehatan. Status BPJS Kesehatan adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan merupakan transformasi dari PT Askes Indonesia, yang ditetapkan melalui UU No. 24 tahun 2011. BPJS Kesehatan dapat disebut PT Askes versi perluasan. Jika PT Askes sebelumnya hanya beranggota pegawai negeri, maka BPJS Kesehatan akan memiliki anggota seluruh warga negara karena undang-undang BPJS Kesehatan mewajibkan seluruh warga negara untuk menjadi anggota BPJS Kesehatan, apapun profesi dan klas sosialnya. Dengan demikian, BPJS Kesehatan akan menghimpun dana yang besar dari masyarakat.

BPJS Kesehatan mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2014 di era pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono. Proses pemberlakuan BPJS Kesehatan diiringi dengan dihapuskannya berbagai jaminan kesehatan di daerah-daerah (atau dengan istilah: "diintegrasikan dengan BPJS Kesehatan"), seperti Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah), Jamkesta (Jaminan Kesehatan Kota), Jampersal (Jaminan Persalinan), dan sejenisnya, juga SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) untuk berobat ke Puskemas, yang sebelumnya disediakan oleh pemerintah daerah (provinsi, kabupatan, maupun kota madya). Dengan demikian, kehadiran BPJS Kesehatan berperan menghapus jaminan kesehatan yang disediakan secara gratis atau murah di daerah, yang sebagian besar diperuntukkan bagi masyarakat klas bawah dan klas menengah-bawah (lower-middle class).

BPJS Kesehatan merupakan implementasi dari UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN mulai dibahas dari era Presiden Abdurakhman Wakhid dan disahkan di era Presiden Megawati. Kemunculan UU SJSN itu sendiri perlu dilihat di dalam suasana Reformasi 1998. Krisis ekonomi 1997 dan Reformasi 1998 telah dijadikan pintu masuk bagi International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, serta World Trade Organization, untuk mendesakkan program-program reformasi struktural di Indonesia.

Pemerintah Indonesia melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan IMF yang dituangkan di dalam Letter of Intent (LoI), dimulai pertama kali tahun 1997 yang ditandatangani oleh Soeharto dan Michael Camdessus. Rezim-rezim paska Soeharto meneruskan kesepakatan-kesepakatan dan juga membuat LoI dengan IMF, dan bersama-sama dengan parlemen era Reformasi menghasilkan berbagai undang-undang yang didesain di dalam kerangka reformasi struktural desakan IMF.

Skema reformasi struktural -- disebut Structural Adjustment Program (SAP) -- model IMF itu sendiri berada di dalam paradigma Washington Consensus. Instrumen-instrumen reformasi Washington Consensus di antaranya adalah penataan prioritas pengeluaran publik dan privatisasi. Pemotongan subsidi layanan kesehatan merupakan bagian dari penataan prioritas pengeluaran publik tersebut, dengan dalih prinsip efisiensi, yang berujung pada pencabutan subsidi pemerintah di bidang kesehatan.

BPJS Kesehatan dikatakan bersifat “gotong royong”. Bagi seorang anggota BPJS Kesehatan yang tidak pernah mengalami sakit, maka uang premi yang ia dibayarkan akan digunakan untuk membantu membiayai anggota lain yang sakit. Hal ini terdengar mulia. Namun, perlu dilihat di dalam skala Indonesia yang lebih utuh. Perlu juga dilihat secara geografis dan ketersediaan fasilitas dan infrastruktur kesehatan antar daerah di Indonesia.

Semua anggota BPJS Kesehatan sama-sama membayar premi, misal anggota-anggota di desa-desa pedalaman Papua, Kalimantan, ataupun anggota BPJS Kesehatan yang berada di kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Namun, setiap anggota BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia, yang membayar premi yang sama, akan sulit, bahkan mungkin tidak akan mendapat pelayanan kesehatan yang sama.

Fasilitas dan infrastruktur kesehatan yang tersedia di desa-desa pedalaman Papua dan Kalimantan berbeda dengan yang tersedia di kota-kota besar di pulau Jawa. Anggota BPJS Kesehatan di pedalaman Papua dan Kalimatan mendapatkan fasilitas dan infrastruktur kesehatan yang lebih sedikit daripada anggota BPJS Kesehatan di kota-kota besar di Jawa. Apakah jika anggota BPJS Kesehatan di pedalaman Papua atau Kalimantan mengalami sakit yang harus disembuhkan dengan fasilitas dan ifrastruktur kesehatan modern dan canggih, maka orang tersebut akan dibawa berobat ke pulau Jawa di mana fasilitas dan infrastruktur kesehatan relatif lebih lengkap?

Jika para anggota BPJS Kesehatan di desa-desa pedalaman Papua dan Kalimantan tidak pernah mengajukan klaim asuransi kesehatan karena mereka tidak pernah sakit, atau tidak pernah berobat ke rumah sakit, atau kurangnya fasilitas dan infrastruktur kesehatan yang diperlukan di daerah mereka, maka para anggota BPJS Kesehatan di pedalaman Papua dan Kalimantan tersebut setiap bulan hanya akan menyubsidi orang-orang sakit di Jakarta, Surabaya, Semarang, atau kota-kota besar lainnya. Penduduk desa pedalaman menyubsidi penduduk kota. Orang miskin menyubsidi orang kaya.

MUI, pemerintah, dan masyarakat silahkan berdebat soal bagaimana BPJS Kesehatan dikelola. Apakah sesuai syariah atau tidak. Apakah perlu fatwa haram-halal atau tidak. Di sisi lain, masyarakat tidak bisa disalahkan jika memiliki kecurigaan adanya motif persaingan bisnis dunia finansial dibalik sikap MUI terhadap BPJS Kesehatan, misal terkait ceruk pasar perbankan syariah dan perbankan umum.

Masyarakat juga silahkan mengajukan protes terkait pengelolaan dana besar yang dihimpun oleh BPJS Kesehatan. Apakah akan dikelola untuk investasi, digunakan untuk membiayai pembangunan infrasutruktur negara, atau hanya diparkir di bank sebagai iddle money yang hanya digunakan untuk membiayai warga negara (anggota BPJS Kesehatan) yang sakit.

Namun satu hal yang perlu ditekankan, bahwa BPJS Kesehatan merupakan wujud dari tidak dibiayainya lagi jaminan kesehatan warga negara oleh negara. Biaya jaminan kesehatan warga negara bukan lagi berasal dari penghasilan negara, melainkan dihimpun dari premi asuransi BPJS Kesehatan. Model ini tidak jauh beda dengan perusahaan asuransi swasta dalam menghimpun dana, meski dikatakan non-laba. Pemerintah di dalam waktu yang bersamaan, di satu sisi mendapat dana tambahan di luar APBN yang dapat digunakan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan infrastruktur, dan di sisi lain mengorbankan (memotong dan menghilangkan) pengeluaran negara di sektor layanan sosial.

Selain telah mengganti PT Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan, UU 24/2011 juga akan mengganti PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan yang akan diberlakukan pada tahun 2016 mendatang. Pada tahun 2016 pula (dimulai akhir 2015) Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC), mulai diberlakukan. MEA adalah kesepakatan di antara negara-negara ASEAN untuk mengintegrasikan ekonomi negara-negara anggota ASEAN di dalam perdagangan pasar bebas. Jusuf Kalla menyatakan bahwa, dalam menyambut MEA, Indonesia perlu efisien.[4]

Negara secara bertahap melepaskan pembiayaan untuk publik di bidang sosial, dan pada saat yang sama melempar publik ke tengah pasar bebas internasional. Sistem sosial macam apa ini?

Yogyakarta, 09 Agustus 2015


Referensi:

No comments:

Post a Comment