Monday, August 17, 2015

ZIARAH KEMERDEKAAN

Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah pada Sekutu (dipimpin Amerika Serikat), setelah kota Hirosima dan Nagasaki dibom atom tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Perang Dunia (PD) II front Asia-Pasifik berakhir, yang sebelumnya didahului oleh berakhirnya PD II front Eropa setelah Berlin jatuh ke tangan Tentara Merah pada 1 Mei 1945. Pada saat PD II front Asia-Pasifik terjadi, sebagian besar wilayah di Asia Tenggara direbut dan dikuasai oleh Jepang, termasuk wilayah kekuasaan Hindia Belanda yang kelak menjadi negara Indonesia. Berakhirnya PD II diikuti oleh pernyataan kemerdekaan negara-negara yang sebelumnya terjajah, maupun pembentukan negara-negara baru dari berbagai penduduk daerah-daerah bekas jajahan.


Tiga hari setelah pernyataan kekalahan Jepang, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak hanya pernyataan tentang terbebasnya suatu masyarakat dari kolonisasi penjajahan. Proklamasi 17 Agustus 1945 juga menandai lahirnya sebuah negara baru, yakni Indonesia. Sebelum proklamasi tersebut, negara Indonesia belum ada dan masih berada pada fase cita-cita yang sedang diperjuangkan untuk diwujudkan oleh kaum pergerakan.

Sebelum pecahnya Perang Dunia II, kawasan Asia Tenggara terdiri dari berbagai negara-negara monarkhi dan komunitas-komunitas suku atau adat yang tunduk di bawah kekuasaan negara-negara imperialis. Wilayah Asia Tenggara (kecuali Thailand) telah habis dibagi-bagi menjadi daerah-daerah koloni di bawah kekuasaan negara-negara imperialis. Misal, Yogyakarta merupakan negara tersendiri, meski berstatus negara protektorat atau dependent yang berinduk pada negara Belanda. Wilayah yang sekarang disebut negara Indonesia belum merupakan sebuah kesatuan negara.

Sekitar abad 16, didorong kepentingan dagang, orang-orang Eropa bergelombang mencari “daerah baru”, termasuk upaya mencari India melalui jalur laut. Kepulauan Asia Tenggara mulai dibanjiri oleh para pedagang Eropa, yang pada perkembangannya kemudian dijadikan daerah koloni. Pedagang-pedagang Belanda, melalui VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), yakni perserikatan perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang dibentuk Maret 1602 dan merupakan perusahaan swasta trans-nasional pertama di dunia, berhasil menguasai sebagian besar kepulauan di Asia Tenggara. Ketika VOC bangkrut dan dibubarkan tanggal 1 Januari 1800, wilayah-wilayah yang semula dimiliki VOC kemudian diambil alih oleh negara (kerajaan) Belanda. Negara-negara yang berada di wilayah kepulauan yang dikuasai kerajaan Belanda selanjutnya dijadikan negara-negara dependent di bawah kekuasaan negara Belanda.

Sepanjang tahun 1914-1918, PD I berkecamuk di Eropa, Afrika, dan Asia Barat. Perang tersebut merupakan pernyataan akhir atas persaingan ekonomi antara negara-negara kapitalis monopoli, perang imperialisme, terutama di dalam rangka memperebutkan daerah-daerah koloni. Pada tahun 1939, PD II meletus di Eropa, disusul Afrika (1940), dan Asia-Pasifik (1941). PD II melibatkan dua kekuatan baru, yakni kekuatan fasis yang muncul sebagai hasil krisis ekonomi paska PD I dan blok sosialis yang muncul paska Revolusi Rusia 1917. Keterlibatan blok sosialis di dalam PD II lebih didorong oleh datangnya ancaman dari kekuatan fasis. Meski demikian, PD II, bagaimanapun juga, dipicu oleh persaingan ekonomi di antara negara-negara kapitalis maju. Fasisme merupakan kapitalisme tanpa laissez faire.

Indonesia, sebagai negara, lahir bersama momentum berakhirnya PD II. Namun, ide tentang bangsa dan negara Indonesia telah muncul sejak awal abad 20. Istilah “indonesia” (indunesian) itu sendiri diciptakan pertengahan abad 19 oleh akademisi-akademisi Inggris (Earl dan Logan).

Paska PD II, dan perang-perang kolonial, muncul bentuk baru penjajahan yang dilakukan negara-negara kapitalis maju. Berbagai istilah diciptakan, misal neo-kolonialisme, neo-imperialisme, dan imperialisme tanpa koloni-koloni. Pada intinya, penjajahan bentuk baru ini tidak merupakan pendudukan aparat politik dan militer secara langsung di daerah-daerah jajahan. Alat-alat utama penjajahan era ini adalah modal asing, hutang luar negeri, dan bantuan luar negeri, yang digunakan untuk mendikte arah kebijakan ekonomi-politik negara tertentu.

Di sisi lain, berakhirnya PD II diikuti kemunculan Perang Dingin antara blok sosialis dipimpin Uni Soviet dan blok kapitalis dipimpin Amerika Serikat. Di dalam suasana Perang Dingin ini pula Indonesia berusaha merombak struktur ekonomi-politik warisan era kolonial. Akan tetapi, peristiwa 30 September 1965 segera menghentikan upaya Soekarno merombak struktur ekonomi-politik warisan kolonial. Dengan naiknya rezim Orde Baru, modal luar negeri mulai lancar mengalir ke Indonesia, terutama difasilitasi oleh Undang-undang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Pada tahun 1967 itu pula, PT Freeport menandatangani Kontrak Karya pertama untuk eksplorasi tambang di Papua (Irian).

Lembaga-lembaga Bretton Woods (IMF dan World Bank/IBRD), yang terbentuk menjelang berakhirnya PD II, segera memasokkan resep-resep ekonomi-politik mereka ke Indonesia. Kecondongan ekonomi Indonesia mulai digeser dari sosialisme borjuis-kecil nasional menjadi kapitalisme-kroni pro modal asing.

Krisis ekonomi internasional era 1980-an menjadi momentum dipopulerkannya cara baru pergerakan kapital internasional, meski benih-benih ide tersebut sudah ditabur pada dekade-dekade sebelumnya. Globalisasi neoliberal adalah jawabannya. Rintangan-rintangan investasi luar negeri dan perdagangan internasional harus disingkirkan. Di paruh akhir dekade 1980-an, Washington Consenssus menjadi acuan standar.

Di Indonesia, berbagai paket kebijakan yang dibuat sepanjang era 1980-an menandai arah ekonomi menuju lebih liberal dan global. Misal, paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986 tentang deregulasi perdagangan, moneter, dan investasi, atau paket kebijaksanaan 20 Desember 1988 tentang keuangan dan pasar modal . Namun sebaliknya, politik Indonesia semakin tertutup dan represif dengan keluarnya paket 5 Undang-undang Politik tahun 1985.

Reformasi 1998 berhasil merebut kembali kemerdekaan (relatif) politik dari kekuasaan Orde Baru. Kemerdekaan politik yang dahulu direbut melalui Revolusi Agustus 1945 dari kekuasaan kolonial.

Akan tetapi, Reformasi 1998 juga memperlancar transformasi ekonomi menuju liberalisasi dan globalisasi. IMF dan World Bank terlibat lebih dalam lagi. Bukan hanya mendesakkan privatisasi dan pasar bebas dalam negeri, namun juga kebebasan modal internasional dan pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam berbagai kesepakatan perdagangan bebas internasional, terutama di bawah rezim World Trade Organization (WTO). Era globalisasi neoliberal seolah tidak terelakkan.

Pada panggung internasional, globalisasi neoliberal selain menghadirkan persaingan bebas internasional juga menghadirkan ketegangan-ketegangan baru yang tidak jarang berujung pada perang proxy. Misal, perang yang sedang berlangsung di Syria. Dasar utama dari berbagai perang proxy adalah sama: perebutan daerah investasi kapital, daerah sumber daya, dan daerah pasar. Dan itu adalah perang imperialisme. Dunia lagi-lagi dibagi-bagi di antara negara-negara kapitalis maju bagi beroperasinya kapital, daerah sumber daya, dan daerah pasar. Satu lagi, sebagai daerah strategi atau persiapan militer (stage areas), dan sebagai proxy.

Bagaimanapun juga, Revolusi Agustus 1945 dan Reformasi 1998 telah menghadirkan kemerdekaan politik, meski relatif dan belum ideal. Sementara itu, kesenjangan ekonomi antar penduduk masih tinggi, tergambar di dalam naiknya rasio gini sekitar satu dekade terakhir, dari 0,32 (2004) hingga 0,41 (2013). Alat-alat negara di bawah kendali dikte kapital swasta besar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tanpa kemerdekaan ekonomi, maka kemerdekaan politik hanya merupakan kemerdekaan formal yang tidak akan langgeng dan mungkin tidak dapat bertahan lama.***

17 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment