Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah pada Sekutu
(dipimpin Amerika Serikat), setelah kota Hirosima dan Nagasaki dibom atom
tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Perang Dunia (PD) II front Asia-Pasifik berakhir,
yang sebelumnya didahului oleh berakhirnya PD II front Eropa setelah Berlin
jatuh ke tangan Tentara Merah pada 1 Mei 1945. Pada saat PD II front Asia-Pasifik terjadi, sebagian besar wilayah di Asia Tenggara direbut dan dikuasai oleh Jepang, termasuk wilayah kekuasaan Hindia Belanda yang kelak menjadi negara Indonesia. Berakhirnya
PD II diikuti oleh pernyataan kemerdekaan negara-negara yang sebelumnya
terjajah, maupun pembentukan negara-negara baru dari berbagai penduduk daerah-daerah
bekas jajahan.
Tiga hari setelah pernyataan
kekalahan Jepang, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi
kemerdekaan Indonesia tidak hanya pernyataan tentang terbebasnya suatu
masyarakat dari kolonisasi penjajahan. Proklamasi 17 Agustus 1945 juga menandai
lahirnya sebuah negara baru, yakni Indonesia. Sebelum proklamasi tersebut,
negara Indonesia belum ada dan masih berada pada fase cita-cita yang sedang
diperjuangkan untuk diwujudkan oleh kaum pergerakan.
Sebelum pecahnya Perang
Dunia II, kawasan Asia Tenggara terdiri dari berbagai negara-negara monarkhi
dan komunitas-komunitas suku atau adat yang tunduk di bawah kekuasaan
negara-negara imperialis. Wilayah Asia Tenggara (kecuali Thailand) telah habis
dibagi-bagi menjadi daerah-daerah koloni di bawah kekuasaan negara-negara imperialis.
Misal, Yogyakarta merupakan negara tersendiri, meski berstatus negara
protektorat atau dependent yang berinduk pada negara Belanda. Wilayah yang
sekarang disebut negara Indonesia belum merupakan sebuah kesatuan negara.
Sekitar abad 16, didorong kepentingan
dagang, orang-orang Eropa bergelombang mencari “daerah baru”, termasuk upaya
mencari India melalui jalur laut. Kepulauan Asia Tenggara mulai dibanjiri oleh
para pedagang Eropa, yang pada perkembangannya kemudian dijadikan daerah
koloni. Pedagang-pedagang Belanda, melalui VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie), yakni perserikatan perusahaan-perusahaan swasta
Belanda yang dibentuk Maret 1602 dan merupakan perusahaan swasta trans-nasional
pertama di dunia, berhasil menguasai sebagian besar kepulauan di Asia Tenggara. Ketika VOC bangkrut dan dibubarkan
tanggal 1 Januari 1800, wilayah-wilayah yang semula dimiliki VOC kemudian
diambil alih oleh negara (kerajaan) Belanda. Negara-negara yang berada di
wilayah kepulauan yang dikuasai kerajaan Belanda selanjutnya dijadikan negara-negara
dependent di bawah kekuasaan negara Belanda.
Sepanjang tahun 1914-1918, PD I berkecamuk
di Eropa, Afrika, dan Asia Barat. Perang tersebut merupakan pernyataan akhir
atas persaingan ekonomi antara negara-negara kapitalis monopoli, perang
imperialisme, terutama di dalam rangka memperebutkan daerah-daerah koloni. Pada
tahun 1939, PD II meletus di Eropa, disusul
Afrika (1940), dan Asia-Pasifik (1941). PD II melibatkan dua kekuatan baru,
yakni kekuatan fasis yang muncul sebagai hasil krisis ekonomi paska PD I dan
blok sosialis yang muncul paska Revolusi Rusia 1917. Keterlibatan blok sosialis
di dalam PD II lebih didorong oleh datangnya ancaman dari kekuatan fasis. Meski
demikian, PD II, bagaimanapun juga, dipicu oleh persaingan ekonomi di antara
negara-negara kapitalis maju. Fasisme merupakan kapitalisme tanpa laissez faire.
Indonesia, sebagai negara,
lahir bersama momentum berakhirnya PD II. Namun,
ide tentang bangsa dan negara Indonesia telah muncul sejak awal abad 20.
Istilah “indonesia” (indunesian) itu sendiri diciptakan pertengahan abad 19 oleh akademisi-akademisi Inggris (Earl dan Logan).
Paska PD II, dan perang-perang kolonial, muncul bentuk
baru penjajahan yang dilakukan negara-negara kapitalis maju. Berbagai istilah
diciptakan, misal neo-kolonialisme, neo-imperialisme, dan imperialisme tanpa
koloni-koloni. Pada intinya, penjajahan bentuk baru ini tidak merupakan pendudukan
aparat politik dan militer secara langsung di daerah-daerah jajahan. Alat-alat
utama penjajahan era ini adalah modal asing, hutang luar negeri, dan bantuan
luar negeri, yang digunakan untuk mendikte arah kebijakan ekonomi-politik negara
tertentu.
Di sisi lain, berakhirnya PD
II diikuti kemunculan Perang Dingin antara blok sosialis dipimpin Uni Soviet
dan blok kapitalis dipimpin Amerika Serikat. Di dalam suasana Perang Dingin ini
pula Indonesia berusaha merombak struktur ekonomi-politik warisan era kolonial.
Akan tetapi, peristiwa 30 September 1965 segera menghentikan upaya Soekarno merombak
struktur ekonomi-politik warisan kolonial. Dengan naiknya rezim Orde Baru, modal luar
negeri mulai lancar mengalir ke Indonesia,
terutama difasilitasi oleh Undang-undang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Pada tahun 1967 itu pula, PT Freeport
menandatangani Kontrak Karya pertama untuk eksplorasi tambang di Papua (Irian).
Lembaga-lembaga Bretton Woods
(IMF dan World Bank/IBRD), yang terbentuk menjelang berakhirnya PD II, segera memasokkan
resep-resep ekonomi-politik mereka ke Indonesia. Kecondongan ekonomi Indonesia mulai
digeser dari sosialisme borjuis-kecil nasional menjadi kapitalisme-kroni pro
modal asing.
Krisis ekonomi internasional era
1980-an menjadi momentum dipopulerkannya cara baru pergerakan kapital
internasional, meski benih-benih ide tersebut sudah ditabur pada dekade-dekade
sebelumnya. Globalisasi neoliberal adalah jawabannya. Rintangan-rintangan
investasi luar negeri dan perdagangan internasional harus disingkirkan. Di paruh
akhir dekade 1980-an, Washington Consenssus menjadi acuan standar.
Di Indonesia, berbagai paket
kebijakan yang dibuat sepanjang era 1980-an menandai arah ekonomi menuju lebih
liberal dan global. Misal, paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986 tentang
deregulasi
perdagangan, moneter, dan investasi, atau paket kebijaksanaan 20 Desember 1988
tentang keuangan dan pasar modal . Namun sebaliknya,
politik Indonesia semakin tertutup dan represif dengan keluarnya paket 5 Undang-undang
Politik tahun 1985.
Reformasi 1998 berhasil
merebut kembali kemerdekaan (relatif) politik dari kekuasaan Orde Baru.
Kemerdekaan politik yang dahulu direbut melalui Revolusi Agustus 1945 dari
kekuasaan kolonial.
Akan tetapi, Reformasi 1998 juga
memperlancar transformasi ekonomi menuju liberalisasi dan globalisasi. IMF dan
World Bank terlibat lebih dalam lagi. Bukan hanya mendesakkan privatisasi dan
pasar bebas dalam negeri, namun juga kebebasan modal internasional dan pengintegrasian
ekonomi nasional ke dalam berbagai kesepakatan perdagangan bebas internasional,
terutama di bawah rezim World Trade Organization (WTO). Era globalisasi
neoliberal seolah tidak terelakkan.
Pada panggung internasional,
globalisasi neoliberal selain menghadirkan persaingan bebas internasional juga
menghadirkan ketegangan-ketegangan baru yang tidak
jarang berujung
pada perang proxy. Misal, perang yang sedang berlangsung di Syria. Dasar utama
dari berbagai perang proxy adalah
sama: perebutan daerah investasi kapital, daerah sumber daya, dan daerah pasar.
Dan itu adalah perang imperialisme. Dunia lagi-lagi dibagi-bagi di antara
negara-negara kapitalis maju bagi beroperasinya kapital, daerah sumber daya, dan daerah pasar. Satu lagi, sebagai
daerah strategi atau persiapan militer (stage areas), dan sebagai proxy.
Bagaimanapun juga, Revolusi
Agustus 1945 dan Reformasi 1998 telah menghadirkan kemerdekaan politik, meski relatif
dan belum ideal. Sementara itu, kesenjangan ekonomi
antar penduduk masih tinggi, tergambar di dalam naiknya rasio gini sekitar satu dekade
terakhir, dari 0,32 (2004) hingga 0,41 (2013). Alat-alat
negara di bawah kendali dikte kapital swasta besar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tanpa kemerdekaan ekonomi, maka kemerdekaan politik hanya merupakan
kemerdekaan formal yang tidak akan
langgeng dan mungkin tidak dapat bertahan lama.***
17 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment