Tuesday, October 22, 2019

LUKASIEWICZ: SILOGISME ARISTOTELES HINGGA LOGIKA FUZZY

Di dalam bukunya yang berjudul “Aristotles Syllogistic, From The Standpoint of Modern Formal Logic”, Jan Lukasiewicz mencoba melacak bentuk asli silogisme Aristoteles. Menurutnya, adalah tidak tepat menyebut bentuk silogisme yang selama ini populer sebagai Aristotelian. Lukasiewicz memulai dengan mengomentari contoh-contoh silogisme yang dianggap sebagai Aristotelian yang ada pada buku-buku yang ditulis Ernst Kapp, Frederick Copleston,  dan Bertrand Russell, yakni:


(1)
Semua manusia adalah mortal,
Sokrates adalah seorang manusia,
maka
Sokrates adalah mortal.

Bentuk silogisme ini cukup lama populer, dan setidaknya telah dikutip oleh Sextus Empirikus, yang disebut dengan istilah “silogisme Peripatetis”. Peripatetis adalah mazhab  para pengikut Aristoteles. Pada silogisme yang digunakan oleh Sextus Empirikus dan Peripatetis tersebut, tidak digunakan kata “mortal”, melainkan “hewan”. Namun, menurut Lukasiewicz, silogisme Peripatetis ini bukan silogisme Aristotelian, dan setidaknya terdapat dua perbedaan penting antara silogisme Peripatetis dengan silogisme Aristoteles.

Pertama, premis “Sokrates adalah seorang manusia” merupakan proposisi singular. Padahal, Aristoteles tidak mengintroduksi term singular atau premis-premis singular di dalam sistem yang ia ciptakan. Menurut Lukasiewicz, silogisme yang lebih mendekati Aristotelian, dibandingkan silogisme di atas, adalah berikut:

(2)
Semua manusia adalah mortal,
Semua orang Yunani adalah manusia,
maka [Yunani: ara]
Semua orang Yunani adalah mortal.

Lukasiewicz mengatakan bahwa silogisme nomor (2) ini merupakan sebuah inferensi. Dari dua premis-premis yang diterima sebagai benar, kemudian ditarik sebuah konklusi. Tanda khas dari suatu inferensi adalah kata “maka” (kata Yunani “ara” diterjemahkan ke Inggris dengan kata “therefore” di buku Lukasiewicz). Namun justru di sini letak perbedaan yang kedua. Aristoteles, tidak pernah merumuskan silogisme dalam bentuk inferensi. Silogisme yang disusun oleh Aristoteles berbentuk implikasi, yakni konjungsi dua premis-premis sebagai anteseden, dan konklusi sebagai konsekuen. Berdasar rumusan ini, maka silogisme akan berbentuk implikasi, sebagai berikut:

(3)
Jika semua manusia adalah mortal
dan semua orang Yunani adalah manusia,
kemudian [Inggris: then] semua orang Yunani adalah mortal.

Akan tetapi, bentuk implikasi nomor (3) ini adalah contoh silogisme Aristotelian yang muncul di era modern, dan justru tidak ada di dalam karya-karya Aristoteles sendiri. Lukasiewicz kemudian mengacu karya Aristoteles “Analytica Posteriora”. Ada beberapa contoh di dalam karya tersebut yang dapat digunakan, atau dirangkai, untuk menarik silogisme model ini. Lukasiewicz menyusunnya menjadi:

(4)
Jika semua tanaman berdaun-kasar adalah bersifat-berganti-daun
dan semua pohon anggur adalah tanaman berdaun-kasar,
kemudian [then] semua pohon anggur adalah bersifat-berganti-daun.

Menurut Lukasiewicz, semua contoh-contoh silogisme di atas memuat  berbagai term — misal “pohon anggur” atau “manusia” — yang bukan merupakan bagian dari logika. Logika bukan merupakan sains tentang pohon atau manusia. Logika semata dapat diterapkan pada objek-objek tersebut, ataupun objek lainnya. Silogisme-silogisme di atas hanya merupakan contoh-contoh beberapa bentuk logis. Oleh karena itu, perlu diketemukan silogisme dalam lingkup logika murni. Lukasiewicz kemudian menyingkirkan aspek material dari silogisme dan hanya mempertahankan aspek formalnya saja. Aristoteles sendiri telah melakukannya, yakni dengan mengintroduksi huruf-huruf ketimbang subjek konkret atau predikat konkret. Jika term-term pada silogisme (4) di atas diganti dengan huruf-huruf, maka akan didapatkan bentuk silogisme berikut:

(5)
Jika semua B adalah A
dan semua C adalah B,
kemudian [then] semua C adalah A.

Akan tetapi, silogisme nomor (4) ini sendiri berbeda dari silogisme asli Aristoteles. Aristoteles selalu menempatkan predikat terlebih dahulu dan subjek pada tempat selanjutnya. Silogisme Aristoteles, dengan demikian, berbentuk:

(6)
Jika A dipredikasikan atas semua B
dan B dipredikasikan atas semua C,
kemudian [then] A dipredikasikan atas semua C.

Dengan dirumuskannya bentuk silogisme (6) ini, Lukasiewicz mengklaim telah sampai pada apa yang disebutnya sebagai silogisme Aristotelian murni.

Lukasiewicz menjelaskan perbedaan antara silogisme Aristotelian dengan silogisme tradisional. Istilah “Aristotelian” dan “tradisional” yang digunakan Lukasiewicz ini mungkin agak membingungkan karena selama ini salah satu pembidangan populer di dalam logika adalah pembagian logika tradisional (ditandai dengan Aristoteles) dan logika modern (ditandai dengan George Boole). Di sini, Lukasiewicz membedakan Aristoteles dengan kalangan Peripatetis dan mazhab Stoa. Lukasiewicz sendiri menduga bahwa perubahan silogisme Aristotelian yang semula implikasi menjadi inferensi dikarenakan pengaruh kalangan Stoa.

Sebagaimana telah disebutkan di atas (nomer 2 dan 3), menurut Lukasiewicz, seluruh silogisme Aristotelian berbentuk implikasi. Sebagai implikasi, silogisme tersebut merupakan sebuah proposisi, dan tentunya memiliki nilai benar atau salah. Silogisme tradisional tidak berbentuk implikasi, melainkan sehimpunan proposisi-proposisi yang tidak disatukan hingga membentuk satu proposisi tunggal. Dua premis dinyatakan tanpa konjungsi, dan hubungan antara  dua premis longgar ini dengan konklusi dengan menggunakan kata “maka” (ara) tidak memberi sebuah proposisi majemuk yang baru.

Logika tradisional memformulasikan silogisme sebagai inferensi dengan kata “maka” (ara). Inferensi tidak bisa memiliki nilai benar atau salah sebagaimana pada proposisi. Inferensi hanya bisa memiliki status valid atau invalid. Oleh karena tidak berbentuk proposisi, maka silogisme tradisional tidak bernilai benar atau salah, tetapi valid atau tidak valid. Silogisme tradisional bisa berbentuk inferensi ataupun aturan inferensi.

Lukasiewicz (1897-1956) merupakan logikawan yang berasal dari Polandia. Ia adalah salah satu pionir logika banyak-nilai, atau logika multi-nilai, dengan menciptakan logika tiga-nilai. Sebelum kehadiran logika Lukasiewicz, atau sejak era Aristoteles hingga 1930an, karya-karya logika digolongkan di dalam apa yang disebut sebagai periode logika klasik.

Lukasiewicz mengemukakan persoalan lama logika yang telah ada sejak Aristoteles, yakni bahwa logika mengalami kesulitan menentukan nilai kebenaran ketika berhadapan dengan beberapa kata di dalam bahasa, seperti “mungkin”, “perlu”, serta pernyataan tentang waktu masa depan. Lukasiewicz berusaha membangun suatu sistem logika yang dapat mengatasi persoalan ini. Ia mendesain suatu logika yang memiliki tiga nilai kebenaran: salah, benar, dan mungkin. Di dalam sistem ini, setiap pernyataan bisa benar atau salah, atau memiliki nilai kebenaran ketiga. Oleh karena itu, diperlukan aturan-aturan baru bagi operator logika. Misal, pada pernyataan konjungsi p dan q, jika p bernilai benar dan q bernilai mungkin, maka apa nilai kebenaran pernyataan konjungsi tersebut?

Jika nilai kebenaran direpresentasikan ke dalam bentuk angka, yakni 1 (benar) dan 0 (salah), maka nilai kebenaran ketiga (mungkin) adalah ½. Pada pernyataan konjungsi p dan q tadi, p memiliki nilai 1, sedangkan q bernilai ½.

Pada logika Lukasiewicz ini, dua aturan dari logika klasik menjadi tidak berlaku, yakni hukum penyisihan-jalan-ketiga dan hukum non-kontradiksi. Pernyataan p bisa bernilai mungkin, sehingga adalah keliru jika menganggap p hanya bernilai benar atau salah. Demikian juga keliru jika menganggap bahwa p dan negatif p tidak dapat memiliki nilai kebenaran yang sama, karena negatif-negatif-p dan p memiliki nilai kebenaran yang sama.

Dari operator logika Lukasiewicz ini kemudian dapat diciptakan logika dengan beragam jumlah nilai kebenaran, dari tiga hingga tidak terbatas. Logika tiga-nilai Lukasiewcz ini kemudian berkembang ke dalam berbagai logika banyak-nilai, yang selanjutnya juga dikenal dengan nama logika fuzzy, dengan salah satu tokohnya adalah Lotfi Zadeh.

Pada logika fuzzy, kebenaran dipikirkan sebagai suatu skala kontinyu, misal “sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju”. Suatu pernyataan tidak lagi hanya memiliki satu di antara dua kemungkinan nilai kebenaran sebagaimana logika klasik yang bersifat biner. Namun, logika fuzzy tidak lepas dari paradoks. Kebenaran kontinyu akan mengarahkan pada semacam paradoks Sorites, yang juga berkaitan dengan persoalan validitas.

Bagaimanapun, logika fuzzy memiliki kemampuan penting yang banyak digunakan di bidang Artificial Intelligence (AI). Misalnya pada pengenalan pola. Facebook, secara relatif, dapat mengenali identitas seseorang pada sebuah foto, yang dilakukan melalui teknologi facial recognition. Mesin pencari (search engine) Google melakukan pencarian dengan berbagai variasi. Cara kerja berdasar logika fuzzy ini berbeda dengan cara kerja logika klasik yang bekerja hanya untuk mengenali apa yang cocok 100%, menyingkirkan apa yang tidak cocok dan tidak mengijinkan variasi. Logika fuzzy merupakan alat yang lebih baik dibanding logika klasik dalam hal pengenalan pola.

No comments:

Post a Comment