Friday, November 1, 2019

ARISTOTELIAN DAN BOOLEAN: DUA INTERPRETASI PROPOSISI KATEGORIS

Berikut ini terdapat sebuah pernyataan yang mungkin bisa memunculkan lebih dari satu penafsiran, pemahaman, atau penyikapan.

“Semua bidadari adalah laki-laki.”

Salah satu persoalan yang pernah bertahan lama di dalam sejarah logika adalah tentang makna eksistensial (existential import) dari proposisi-proposisi kategoris.  Beberapa relasi proposisi di dalam sistem inferensi Aristotelian telah dirusak oleh kehadiran proposisi-proposisi yang tidak memiliki makna eksistensial. Beberapa bentuk inferensi yang semula valid dari kerangka Aristotelian kemudian bisa menjadi tidak valid karena terjadi beberapa pelanggaran ketentuan. Misal, pada relasi kontradiktoris, terjadi pelanggaran aturan “dua proposisi yang berkontradiksi tidak boleh memiliki nilai kebenaran yang sama.” Atau pada relasi subaltern terjadi pelanggaran ketentuan “kebenaran proposisi universal mengimplikasikan kebenaran proposisi partikular.”

Beberapa usaha telah dilakukan untuk menyelamatkan inferensi-inferensi oposisi tradisional tersebut, semisal dengan jalan membuat presuposisi adanya anggota pada klas yang ditunjuk oleh term subjek. Namun, para logikawan di era modern akhirnya mengambil keputusan menolak usaha-usaha penyelamatan tersebut, dan berusaha menyusun sistem baru. Bagi mereka, interpretasi Aristotelian harus ditinggalkan dan diganti dengan interpretasi baru terhadap proposisi kategoris. Para logikawan modern mengajukan sebuah interpretasi baru, yang kemudian dikenal dengan nama “interpretasi Boolean”, sesuai dengan nama George Boole (1815-1864), matematikawan Inggris. Selain interpretasi Boolean ini, usaha serupa juga diajukan oleh Bertrand Russell melalui tulisannya di jurnal MIND tahun 1905, berjudul “The Existential Import of Propotitions”. Russell mengadopsi “interpretasi Peano” terhadap proposisi-proposisi, sesuai dengan nama Guiseppe Peano, juga seorang matematikawan.

Makna eksistensial adalah suatu atribut yang menyatakan tentang eksistensi objek-objek tertentu. Suatu proposisi disebut memiliki makna eksistensial jika proposisi tersebut menyatakan keberadaan satu atau lebih hal yang didenotasikan oleh term subjek. Misal:

"Beberapa kucing memiliki ekor pendek.”

Sebaliknya, suatu proposisi disebut tidak memiliki makna eksistensial jika proposisi tersebut membuat pernyataan tentang hal yang tidak ada. Misal:

"Beberapa unicorn memiliki ekor pendek.”

Proposisi yang tidak memiliki makna eksistensial itu sendiri bisa jadi benar (disebut vacuosly true) jika dipandang berdasar definisi (by definition). Hanya saja, proposisi tersebut tidak menyatakan bahwa hal yang didenotasikan oleh term subjek adalah benar-benar ada. Misal:

“Semua unicorn memiliki tanduk.”

Selanjutnya, muncul persoalan: apakah proposisi-proposisi universal diinterpretasikan sebagai menyatakan bahwa hal-hal yang didenotasikan adalah benar-benar ada ataukah diinterpretasikan tidak ada?

Proposisi-proposisi universal bisa diinterpretasikan melalui dua cara yang berbeda, yakni Aristotelian dan Boolean. Perbedaan ini akan berpengaruh pada validitas suatu argumen. Dari satu sisi interpretasi, suatu argumen dengan proposisi universal bisa jadi valid. Di sisi lain, dengan interpretasi yang berbeda, argumen tersebut bisa jadi tidak valid.

Berdasar sudut-pandang interpretasi Aristotelian, proposisi-proposisi universal memiliki makna eksistensial. Namun, pengakuan ini memiliki syarat bahwa hal yang didenotasi atau diacu benar-benar ada. Proposisi-proposisi tersebut memiliki makna eksistensial secara bersyarat. Sedangkan menurut interpretasi Boolean, yang berbeda dari interpretasi Aristotelian, proposisi-proposisi universal tidak memiliki makna eksistensial. Proposisi-proposisi universal tidak menyatakan eksistensi hal-hal yang sedang dibicarakan. Apapun keadaannya. Misal:

“Semua kuda adalah hewan.”

Berdasar interpretasi Aristotelian, pernyataan tersebut memiliki makna eksistensial. Sedangkan berdasar interpretasi Boolean, pernyataan tersebut tidak memiliki makna eksistensial.

Interpretasi Aristotelian bersifat terbuka terhadap eksistensi. Ketika sesuatu ada, maka interpretasi Aristotelian mengakui eksistensi sesuatu tersebut. Pernyataan universal tentang hal-hal tersebut memiliki makna eksistensial. Sedangkan interpretasi Boolean bersifat tertutup  terhadap eksistensi. Ketika sesuatu ada, interpretasi Boolean tidak mengakui eksistensi sesuatu tersebut, dan pernyataan universal tentang sesuatu tersebut tidak memiliki makna eksistensial.

Untuk hal-hal yang tidak ada, maka interpretasi Aristotelian dan Boolean memiliki sikap yang sama, yakni tidak mengakui eksistensi apapun. Di sini, dua interpretasi tersebut bersepakat. Misal:

“Semua manusia-penghuni-matahari memiliki rambut pirang.”

Menurut interpretasi Aristotelian dan interpretasi Boolean, pernyataan tersebut tidak memiliki makna eksistensial.

Perlu dicatat bahwa perbedaan dua interpretasi ini hanya terjadi pada proposisi-proposisi universal, dan tidak berlaku bagi proposisi-proposisi partikular. Pada proposisi-proposisi partikular, keduanya berpandangan bahwa klas yang didenotasikan oleh term subjek memiliki minimal satu anggota, alias tidak kosong.

Lantas, apa pengaruh dua interpretasi tersebut bagi inferensi dan bentuk-bentuk inferensi?

Berdasar interpretasi Aristotelian, semua bentuk inferensi (dengan penerapan yang benar) dianggap belum memiliki kepastian tentang apakah term subjek pada premis argumen tersebut mendenotasikan hal-hal yang benar-benar ada. Oleh karena itu, semua bentuk inferensi tersebut berstatus “valid bersyarat”. Inferensi menjadi valid jika premis mendenotasikan hal yang benar-benar ada. Sebaliknya, inferensi tidak valid jika premis mendenotasikan hal yang tidak ada.

Sedangkan dari interpretasi Boolean, bentuk-bentuk inferensi, atau argumen, yang valid disebut “valid tanpa syarat”, karena argumen tersebut bersifat valid tanpa memandang apakah term subjek pada premis mendenotasikan hal-hal yang memiliki eksistensi. Misal:

(1)
Semua kuda adalah hewan.
Maka, beberapa kuda adalah hewan.

Bagi interpretasi Aristotelian, inferensi tersebut valid. Sedangkan bagi interpretasi Boolean, inferensi tersebut tidak-valid, terjadi existential fallacy.

(2)
Semua unicorn adalah hewan.
Maka, beberapa unicorn adalah hewan.

Berdasar sudut-pandang Aristotelian, inferensi tersebut tidak-valid, terjadi existential fallacy. Demikian pula, berdasar sudut-pandang Boolean, inferensi tersebut tidak-valid, terjadi existential fallacy.

Dari titik-pijak Aristotelian, existential fallacy (sesat-pikir eksistensial) terjadi ketika bentuk-bentuk inferensi yang semula valid digunakan (dengan cara yang benar) untuk menarik kesimpulan dari suatu premis tentang hal yang tidak ada. Dari titik-pijak Boolean, existential fallacy terjadi ketika suatu argumen bersifat tidak-valid dikarenakan premisnya tidak memiliki makna eksistensial. Fallacy ini terjadi karena berusaha mengasalkan suatu konklusi yang memiliki makna eksistensial dari suatu premis yang tidak memiliki makna eksistensial.

Interpretasi Boolean menanggalkan beberapa bentuk inferensi tradisional sembari mempertahankan beberapa inferensi lainnya. Setiap inferensi yang valid dari sudut Boolean juga valid dari sudut Aristotelian. Sedangkan setiap inferensi yang valid dari sudut Aristotelian belum tentu valid dari sudut Boolean. Kerangka Boolean, dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi universal, tidak memandang soal eksistensi.

Sekarang, kembali pada pernyataan di atas, soal “Semua bidadari adalah laki-laki”. Apakah ada kesimpulan yang bisa Anda tarik berdasar pernyataan tersebut?